Momentum peringatan 105 tahun Kebangkitan Nasional telah membuat Indonesia mengalami berbagai kemajuan sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Namun, sejumlah persoalan mendasar secara simultan masih menyandera berbagai perubahan yang ingin digapai sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Secara umum, Indonesia saat ini dilanda krisis budi pekerti.
"Pada momentum bersejarah ini kami mengajak segenap komponen bangsa untuk mengenakan budi pekerti dalam memaknai kembali Kebangkitan Nasional 1908," ujar Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Muliawan Margadana dalam pesan elektroniknya yang diterima redakasi, Senin (20/5).
Menurut dia ada empat fakta negara dan bangsa saat ini dilanda krisis dari nilai tertinggi norma Indonesia, yakni krisis budi pekerti, krisis akan pikiran yang baik dan jernih dari tiap-tiap komponen negara-bangsa Indonesia, yang pada akhirnya menyandera perubahan. Pertama, konflik pada berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik konfik pada tingkat penyelenggara negara dan konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Konflik antar kepolisian-KPK, kepolisian-kejaksaan, DPR-pemerintah, DPR-MK dan lain-lain.
Konflik dengan latar belakang agama antara lain tampak dari penutupan rumah ibadah dan kriminalisasi komunitas Ahmadiyah. Konflik antara kelompok masyarakat dengan latar belakang suku, sebagaimana muncul di Lampung. Konflik dengan latar belakang perebutan akses sumber daya lahan antara korporasi-kelompok masyarakat juga mengalami peningkatan frekwensi yang tinggi.
"Konflik sosial ini menunjukkan betapa kita tidak mampu menjaga solidaritas yang terbangun dalam momentum kebangkitan nasional 1908. Terjadinya konflik cenderung disebabkan oleh absennya keteladanan dari para penyelenggara dan tokoh nasional dalam hidup berbangsa dan bernegara. Rakyat selalu mendapatkan tontonan konflik sebagai berita utama acara televisi ataupun laporan media, yang menonjolkan kekuatan kelompok, merendahkan martabat orang yang kalah, menjadikan orang lain sebagai musuh bagi yang tidak sesuai dengan pandangannya, serta rendahnya moralitas dan etika," ungkapnya.
Kedua, kasus korupsi yang melibatkan para penyelenggara negara, politisi, pengusaha bahkan tokoh masyarakat atau agama turut terseret dalam berbagai kasus korupsi di negara ini semakin memperparah keterpurukan kita sebagai Negara bangsa merdeka.
Ketiga, permasalahan kedaulatan bangsa belum mampu dijaga secara utuh. Hal ini, menurut dia, tampak dari persoalan yang mengemuka dan tak kunjung dapat diselesaikan, antara lain, keterpurukan sosial ekonomi masyarakat di daerah perbatasan acapkali memercikkan keinginan untuk lebih memilih keluar dari entitas ke-Indonesia-an. Persoalan Aceh dan Papua yang tak kunjung terselesaikan bahkan cenderung pada situasi menggerogoti integritas NKRI. Penggelontoran dana otonomi khusus di Tanah Papua, kekerasan demi kekerasan acapkali terjadi, dalam hal ini rakyat menjadi korban. MoU Helsinky yang disepakati belum mampu meredam kekerasan yang terjadi di Aceh, bahkan memumculkan persoalan baru yang turut menggerogoti eksistensi NKRI.
Keempat, kepemimpinan nasional belum mampu menjaga solidaritas nasional sebagaimana yang diwariskan oleh momentum Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945. Demi alasan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, rakyat dengan setianya masih menerima "stempel miskin" dari Negara. Entah itu program bantuan langsung tunai, bantuan langsung swadaya mandiri, jaminan kesehatan masyarakat, program keluarga harapan, dan segudang embel-embel program lainnya. Indonesia, kian menghawatirkan.
Mirisnya, kata Muliawan, sikap pemerintahan Indonesia terhadap kebijakan minyak dunia amatlah tergantung. Tak ada kepastian tegas melindungi rakyat dari serangan pasar bebas. Berpura-pura khawatir terhadap penetapan harga BBM, padahal jelas kita hanya dituntun mengikuti harga internasional.
"Dengan memperhatikan hal ini kami melihat ada sebuah krisis dari nilai tertinggi norma Indonesia, yakni, krisis budi pekerti, krisis akan pikiran yang baik dan jernih dari tiap-tiap komponen negara-bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai kejuangan pada momentum historis Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945 serta kesetiaan rakyat Indonesia. Adalah penting bagi generasi muda untuk terus mengingat ketiga sindrom alzheimer bangsa ini, yaitu menjadi "pelupa, munafik dan amok", agar situasi yang sama tidak terjadi pada mereka ketika memimpin nanti," imbuh Muliawan.
Sekjen ISKA Prasetyo Nurhardjanto menambahkan, khususnya dalam menghadapi arus globalisasi AFTA 2015 dan semakin terbukanya ASEAN Community yang berarti akan terjadi lintas arus budaya yang deras dan menerjang setiap individu, sudah seharusnya dalam tataran negara diperlukan mekanisme yang sistematis untuk penananaman dan pengembangan nilai-nilai Pancasila. Sedang dalam tataran individual perlu menguatkan kembali solidaritas tanpa sekat sebagai rakyat dari sebuah negara-bangsa yang pernah mengalami penjajahan merupakan upaya yang harus dilakukan. Proses berkesinambungan dalam upaya memunculkan manusia Indonesia dengan budi pekerti yang luhur. Rela berkorban demi nusa dan bangsa bukan untuk diri sendiri atau kelompok.
"Dalam budi pekerti yang luhur kita kembali membangun solidaritas dengan pemaknaan bahwa suatu kehendak baik datang dari siapa saja tanpa pembedaan entitas yang melekat," katanya.
Dikatakan, solidaritas merupakan wujud keberpihakan terhadap mereka yang mengalami ketidakadilan, miskin, lemah, dan teraniaya. Mengurai masalah secara bersama, mencari jalan keluar secara bersama dan melakukannya secara bersama dengan setara. Dengan demikian mengenakan budi pekerti yang luhur, seruan solidaritas tanpa sekat menjadi suatu semangat bersama dalam upaya merevitalisasi kembali kebangkitan nasional.
"Dalam tataran praksis harus ditunjukkan dengan berada langsung dalam pergumulan masalah yang dihadapi, tidak menjaga jarak, terbuka, solider dan ditujukan bagi kepentingan atau kesejahteraan umum. Sebagai langkah awal dimulai dari diri sendiri dengan mulai mengenakan budi pekerti untuk kebangkitan bangsa," demikian Prasetyo.
[dem]