Berita

Batavia Air

On The Spot

Pintu Gedung Tak Digembok, Ada Aktivitas Main Internet

Nasib Eks Karyawan Batavia Air Setelah Pailit
JUMAT, 17 MEI 2013 | 08:56 WIB

Empat bulan sejak Batavia Air pailit, nasib bekas karyawan maskapai itu masih terkatung-katung. Banyak yang belum dapat kerja. Pesangon baru diberikan jika aset-aset perusahaan sudah dilelang.

Bekas kantor pusat Batavia Air di Jalan Juanda Nomor 15, Pecenongan, Jakarta Pusat terlihat sepi. Pagar aluminium setinggi satu  setengah meter tertutup rapat dan terkunci slot, tanpa gembok.

Agus, tukang parkir memanfaatkan lahan kosong di depan pagar kantor itu sebagai tempat parkir. Tak banyak sepeda motor yang parkir. Sebab, kantor itu sudah dikosongkan.

Sejak diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat penghujung Januari lalu, Batavia Air memindahkan kantornya ke ruko di Kemayoran, Jakarta Pusat.

Menurut Agus, kantor ini memang sudah dikosongkan. Namun masih ada aktivitas di dalamnya. “Masuk aja ke dalam. Ada orang yang jagain gedung,” ujar Agus yang sedang duduk di atas motor yang dia jaga.

Lantaran hanya dislot, pagar bisa dibuka. Halaman parkir gedung berlantai tujuh itu kosong. Tanaman-tanaman di situ. Daunnya merangas kecoklatan, tanda tak pernah disiram air.

Pintu kaca di lobby yang membuka dan menutup secara otomatis jika ada orang, sudah tak berfungsi. Debu tebal menutupi kaca-kacanya. Lambang Batavia Air masih ada di pintu di pintu itu.

Melongok dari pintu kaca, samar terlihat ada aktivitas di dalam.  Di samping kanan gedung juga ada pintu masuk. Pintunya model terali besi yang dicat hitam. Di pintu itu masih terpasang papan bertuliskan “parkir khusus karyawan.”  Sama seperti gerbang, pintu itu hanya dislot, tidak digembok.

Melewati pagar terdapat tangga kayu. Menapaki anak tangga beberapa meter terdapat  ruangan berukuran 8x8 meter persegi. Di dalamnya dihamparkan sajadah-sajadah. Alas shalat itu diselimuti debu. Seperti kantor ditutup, ruangan ini adalah mushola.

Rakyat Merdeka turun dari lantai berlantaikan kayu itu. Menuju lobby lewat pintu kanan.  Berjalan sekitar 30 meter terdapat lorong di bagian tengah gedung.

Di sini parkir mobil Isuzu Panther berwarna gold. Tidak jauh dari mobil itu ada pintu kaca. Terbuka sedikit. Mendekati pintu itu, terdengar suara hentakan music rock dari dalam. Setengah berteriak kami mengucapkan salam. Namun, tidak ada orang yang menyahut dari dalam. Mungkin kerasnya alunan music rock, meredam suara yang dari luar.

Masuk ke dalam  ternyata ada sebuah pintu lagi di ruangan kosong berukuran sekitar 10 x 15 meter persegi itu. Pintu itu tertutup rapat, meski berbahan kaca. Dari luar pintu tak terlihat karena terhalang dinding kaca gelap.

Membuka pintu itu terlihat seorang laki-laki yang asyik selancar di dunia maya dengan komputer yang terkoneksi dengan internet. Kepalanya pun mengangguk-angguk menikmati musik rock yang keluar dari speaker komputer. Suaranya menggema musik cadas itu menggema di lantai dasar bekas kantor Batavia Air.

Reaksinya biasa saja ketika kami ke lobby kantor ini. Dia hanya melirik seorang temannya yang sedang tidur-tiduran sambil memainkan handphone di sebelah kanan ruangan. Pria bertubuh besar itu pun bangkit dari tidurnya.

Ia mengaku bernama Galih, bekas karyawan Batavia Air. Sebelum pailit, dia sempat bekerja dua tahun di maskapai itu. Posisinya di bagian pengadaan barang.

Begitu Batavia Air tutup, dia menganggur. Hingga kini belum mendapatkan pekerjaan lagi. Bersama seorang temannya, Galih memutuskan menumpang di bekas kantor tempatnya bekerja.

Galih tidak tahu status gedung bekas kantor Batavia Air ini. Menurut dia, setiap dua minggu sekali ada orang datang ke sini untuk mengecek kondisi gedung. “Orangnya ganti-ganti,” ujarnya.

Galih dan temannya itu menumpang tinggal di sini karena alasan berhemat. Ia mengaku sudah meminta izin dari orang yang datang mengecek gedung dan diperbolehkan.

“Dari Januari kerjaan belum dapat, di sini lumayan bisa mandi. Listrik ada, komputer ada. Aktivitas ya kirim-kirim lamaran via email aja. Internetnya modal sendiri,” katanya.

Lobby gedung itu disulap Galih bersama temannya menjadi tempat tinggal. Ada sebuah meja lengkap dengan komputer di atasnya. Juga kapuk tanpa ranjang dan tikar untuk tidur. Ruangan berukuran 15x20 meter itu terlalu luas untuk hanya ditempati dua orang saja.

Untuk mandi cuci kakus memakai toilet yang ada di gedung ini. Toiletnya masihnya berfungsi baik. Tak terlihat ada peralatan untuk memasak. Untuk mengisi perut, Galih membeli makanan di luar.

Kadang dia merasa jenuh hanya tinggal berdua di gedung berlantai tujuh itu. Ia pun mengundang temannya ke sini. “Paling hanya empat orang. Itu juga teman-teman dekat saja. Takut ada apa-apa,” ujarnya. Galih takut disalahkan jika ada sesuatu di gedung tempatnya menumpang.

Menurut dia, banyak bekas karyawan Batavia Air yang bernasib seperti dirinya. “Banyak yang belum kerja. Kawan-kawan pada mencar,” ujarnya.

Galih akan tinggal di sini sampai dia mendapat pekerjaan dan punya uang untuk mengontrak rumah.

Saat berada di gedung itu, terdengar aktivitas di lantai atas. Menurut Galih, lantai empat disewa Indosat. “Lantai lainnya kosong,” ujarnya.

Indosat memasang parabola di lantai itu. “Lumayan gede ukurannya. Katanya buat sinyal,” terangnya. Beberapa karyawan perusahaan telekomunikasi itu hanya datang sekali seminggu untuk mengecek peralatan.

YLKI: Uang Penumpang Belum Dikembalikan


Ketua Harian YLKI, Sudaryatmo, menyatakan banyak penumpang Batavia yang belum mendapat ganti rugi. “Kurator mengumumkan pada publik mendaftar ke kantor cabang. Tapi tidak ada cabang yang buka, di kota yang dijanjikan. Tidak mungkin dong, penumpang harus ke Jakarta cuma untuk daftar ganti rugi, haknya hilang gara-gara kantor cabang tidak buka,” katanya.

YLKI mengaku geram lantaran surat permintaan agar proses pendaftaran ganti rugi diperpanjang dan bisa melalui internet tidak digubris majelis hakim dan kurator. Sudaryatmo pun menilai ada potensi hakim pengawas tidak profesional lantaran membiarkan begitu saja Batavia menghentikan operasi tanpa meminta izin pada otoritas pemerintah.

“Kalau di jasa keuangan, ketika perusahaan dipailitkan harus ada izin dari regulator untuk berhenti beroperasi. Airlines harusnya begitu juga. Tapi kan Batavia kemarin sepihak (berhenti terbang). Jadi hakim kepailitan lari dari tanggung jawab. Abaikan konsumen berlindung di hukum kepailitan dan tidak mengawasi kinerja kurator,” paparnya.

Atas dasar indikasi itu, YLKI mewakili sebagian penumpang Batavia yang gagal terbang akibat pailit 31 Januari lalu bakal mengirim surat ke Mahkamah Agung. Isinya melaporkan tindakan tak profesional majelis hakim kepailitan Batavia.

“Ada dugaan melakukan profesional missconduct, karena tidak memperhatikan konsumen, tidak memonitor kerja kurator,” tegasnya.

Dengan laporan ini, Sudaryatmo berharap MA bisa meresponsnya seperti pada kasus pailit Telkomsel. “Dulu sewaktu pertama kali diputus pailit, Telkomsel dan Bukit Sentul tidak langsung menghentikan layanan kepada konsumen,” ungkapnya.

Kantor Pusat Sudah Dijual Sebelum Pailit?

Bekas karyawan Batavia Air mencurigai kantor pusat maskapai itu sudah dijual sebelum pailit. “Patut dicurigai, kantor pusat yang di Jalan Juanda itu dijual tiga hari sebelum putusan pailit. Kalau disita sekitar Rp 40 miliar untuk sekitar 500-an karyawan,” ujar Odie Hudiyanto, kuasa hukum pekerja Batavia Air.

Odie menyebutkan, pihaknya mewakili 326 orang pekerja tetap dan 220 pekerja kontrak. Mulai dari pegawai kebersihan (cleaning service), pegawai keamanan (sekuriti) dan porter.

Dia mengatakan, karyawan berharap mendapat jaminan kepastian pembayaran dan hak-hak karyawan. Untuk itu, dia meminta semua aset Batavia dilaporkan. “Agar menjadi aset pailit, maka verifikasinya tidak boleh tumpang tindih,” kata Odie.

Menyikapi kecurigaan pihak karyawan itu, kurator akan menyelidiki jumlah total aset yang dimiliki oleh PT Metro Batavia atau Batavia Air.

“Kita juga akan menyelidiki dugaan penjualan kantor pusat Batavia di Jalan Juanda sebesar Rp 40 miliar. Khususnya 3 hari, kalau ada penjualan segera laporkan,” ujar Hakim Pengawas Kurator Nawawi Pamolango. “Ini seharusnya tidak boleh terjadi.”

Tim kurator mencatat utang PT Metro Batavia sudah mencapai Rp 2,5 triliun. Terdiri dari: utang komponen sebesar Rp 1,476 triliun, utang kreditur istimewa sebesar Rp 519,683 miliar, utang kreditur separatis sebesar Rp 466,644 miliar, komponen khusus agen sebesar Rp 84,599 miliar.

“Jadi yang harus dicoba adalah bagaimana kreditur mencoba kurator untuk mendongkrak Rp 500 milliar untuk naik. Hal ini tentu kita butuh peran aktif kreditur untuk mengetahui harta debitur yang diketahui. Jadi menurut debitur utangnya hanya Rp 900 miliar tetapi nyatanya Rp 2,5 triliun,” kata Nawawi.

Sementara, kurator Turman M Panggabean mengatakan telah mengindentifikasi dan menyita berbagai aset Batavia Air. Diantaranya 177 surat kepemilikan mobil (BPKB) yang sebagian besar telah dijaminkan ke PT Bank Muammalat, PT Bank Internasional Indonesia Tbk, dan PT Bank Capital.

Dari 177 BPKB, masih kata Turman, secara fisik kurator hanya menemukan 70 mobil yang tersebar di apron, hanggar, dan beberapa daerah lain. Kurator juga menghadapi pihak leasing terkait dengan upaya penyitaan.

Selain mobil, aset-aset itu di antaranya beberapa ruko dan mess di Surabaya, rumah dan bangunan di Bandara Mas, gedung simulator, pesawat dan mesin pesawat.

“Kami belum dapat angka Rp 800 miliar. Kami temukan 90 persen aset yang ada dijaminkan di bank,” kata Turman.

Oddie mengatakan akan mengerahkan para eks karyawan untuk menjaga aset Batavia Air agar tak dipindahtangankan. “Kami siap berkemah untuk menguasai dan menjaga aset,” katanya.

Galih, eks karyawan Batavia Air yang tinggal di bekas kantor pusat di Jalan Juanda, Pecenongan, Jakarta Pusat, membenarkan kepemilikan gedung ini sudah berpindahtangan. Namun dia tak tahu siapa pemiliknya.

Ia mengaku meminta izin tinggal di lobby, kepada seseorang yang mengaju ajudan pemilik baru gedung berlantai tujuh itu. [Harian Rakyat Merdeka]

Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

Jokowi Harus Minta Maaf kepada Try Sutrisno dan Keluarga

Senin, 07 Oktober 2024 | 16:58

UPDATE

Realisasi Belanja Produk Dalam Negeri Masih 41,7 Persen, Ini PR Buat Kemenperin

Rabu, 09 Oktober 2024 | 12:01

Gibran Puji Makan Bergizi Gratis di Jakarta Paling Mewah

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:56

Netanyahu: Israel Sukses Bunuh Dua Calon Penerus Hizbullah

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:50

Gibran Ngaku Ikut Nyusun Kabinet: Hampir 100 Persen Rampung

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:47

Jokowi Dipastikan Hadiri Acara Pisah Sambut di Istana

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:39

Mampu Merawat Kerukunan, Warga Kota Bekasi Puas dengan Kerja Tri Adhianto

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:33

Turki Kenakan Tarif Tambahan 40 Persen untuk Kendaraan Tiongkok, Beijing Ngadu ke WTO

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:33

Dasco Kasih Bocoran Maman Abdurrahman Calon Menteri UMKM

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:31

Maroko Dianugerahi World Book Capital UNESCO 2026

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:27

Heru Budi Bareng Gibran Tinjau Uji Coba Makan Bergizi Gratis di SMAN 70

Rabu, 09 Oktober 2024 | 11:20

Selengkapnya