Berita

Githok

KAMIS, 02 MEI 2013 | 09:20 WIB | OLEH: ANAS URBANINGRUM

KETIKA masa kecil, saya sering mendengar nasihat dari orang-orang tua di kampung saya. Salah satu yang masih saya ingat berbunyi begini: "Deloken githokmu dewe."

Githok adalah nama untuk leher bagian belakang. Kalau diartikan sederhana, nasihat itu berbunyi: "Lihatlah diri sendiri, sebelum bicara tentang orang lain."

Memang, nasihat ini memakai bahasa ibarat. Tidak ada orang akan mampu, secara fisik, melihat githok-nya sendiri.


Nasihat ini, meskipun dari kampung, rasanya masih relevan. Bahkan akan terus relevan. Malah pada masa kini, nasehat ini makin dipadatkan dengan kata tegas: Instrospeksi.

Introspeksi atau berkaca adalah kebutuhan penting. Teutama bagi para tokoh, baik yang sedang memimpin, calon-calon pemimpin, dan lebih utama lagi bagi calon mantan pemimpin. Kemampuan berkaca diri adalah modal yang sangat penting untuk berpikir, bersikap, dan berlaku arif lagi bijak.

Tanpa kesediaan untuk mengaca diri, kita akan selalu gagal untuk melihat githok. Selebihnya terlalu ringan untuk menilai orang lain dengan melupakan githok kita sendiri.

Selintas, kalau prinsip githok ini kita kedepankan, terkesan akan mematikan budaya kritik. Juga tidak kondusif terhadap berkembangnya tradisi oposisi. Bahkan akan menyerimpung transaksi ide, gagasan, pemikiran, dan solusi secara terbuka dan tajam.

Anggapan seperti itu jelas keliru. Semangat melihat githok sendiri atau tradisi untuk sanggup berkaca justru mendorong munculnya saling kritik secara tajam, tetapi terjamin niat, metode dan substansi yang berkualitas.

Tradisi mengaca diri juga akan mendorong lahirnya oposisi yang benar-benar oposisi. Bukan oposisi yang memaksakan diri menjadi oposisi, termasuk dengan cara oposisionalisme. Kemampuan mengaca diri akan menjauhkan oposisi dari sikap waton sulaya atau asal beda.

Saya pernah menjadi pemain bola voli kelas kampung, dengan posisi sebagai pengumpan. Kadangkala saya memberikan umpan yang kurang "layak smash." Senior yang dalam posisi pelatih, dan dulu sempat menjadi pemain, tidak pernah marah-marah. Saya tahu alasannya. Karena dia pernah menjadi pemain, dan tidak selalu benar pukulannya. Bahkan dulu tidak pernah juara kampung.

Senior saya itu pasti tahu dan paham persis nilai moralitas githok. Kebalikan dari suka mengeluh, suka berpura-pura, atau melakukan segala cara untuk kepentingan diri sendiri. Senior saya di pertandingan bola voli kampung itu justru selalu menghibur dan memberikan motivasi. Saya menyebutnya sebagai pelatih yang arif lagi bijak.

Ada juga mantan pemain sepak bola di kampung saya yang terkena sindrom senioritas dan kekuasaan. Setiap kali menonton pertandingan, selalu rajin menyalahkan para pemain. Dia memang gila bola. Kalau menonton, kakinya pun bergoyang kesana-kemari mengikuti arah bola. Seolah-olah dia terlibat di lapangan.

Kalau ada pemain yang salah umpan atau gagal menjaringkan bola, dengan ringan terlontar umpatan dan keluhan. Bukan hanya pemain kelas kampung yang terkena umpatan dan jadi sasaran keluhannya. Bahkan kalau menonton pertandingan kelas nasional pun, pemain nasional pun bisa terkena sasaran umpatan dan keluhannya.

Secara alamiah, teman-teman mulai menjadi kurang respek terhadapnya. Soalnya, komunitas sepak bola tahu persis bahwa ketika menjadi pemain dulu, kualitas teknis, stamina dan percaya dirinya di lapangan agak payah.

Karena tidak berani bicara langsung, teman-teman hanya berguman: Ora iso ndelok githoke dewe. Tidak mampu mengaca diri. Wallahu a'lam. [***]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

12 Orang Tewas dalam Serangan Teroris di Pantai Bondi Australia

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:39

Gereja Terdampak Bencana Harus Segera Diperbaiki Jelang Natal

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:16

Ida Fauziyah Ajak Relawan Bangkit Berdaya Amalkan Empat Pilar Kebangsaan

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:07

Menkop Ferry: Koperasi Membuat Potensi Ekonomi Kalteng Lebih Adil dan Inklusif

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:24

Salurkan 5 Ribu Sembako, Ketua MPR: Intinya Fokus Membantu Masyarakat

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:07

Uang Rp5,25 Miliar Dipakai Bupati Lamteng Ardito untuk Lunasi Utang Kampanye Baru Temuan Awal

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:34

Thailand Berlakukan Jam Malam Imbas Konflik Perbatasan Kamboja

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:10

Teknokrat dalam Jerat Patronase

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:09

BNI Dukung Sean Gelael Awali Musim Balap 2026 di Asian Le Mans Series

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:12

Prabowo Berharap Listrik di Lokasi Bencana Sumatera Pulih dalam Seminggu

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:10

Selengkapnya