Dialog Indonesia-Australia II/ist
Pada hari kedua Dialog Indonesia-Australia II di Sydney, Australia yang jatuh pada hari Senin (4/3), acara digelar lebih pagi. Pukul 08:45 para peserta telah hadir. Menteri Luar Negeri Australia Senator Bob Carr juga ada. Dia hadir menyampaikan pidato yang dalam daftar acara disebut keynote speech.
Ucapannya sama saja seperti yang selalu didengungkan di televisi. Dia menyebutkan, hubungan negaranya dengan Indonesia kini berada dalam tahap yang paling erat. Namun dia menekankan perlu melibatkan lagi hubungan antarkomunitas dan antarpebisnis dari kedua negara. Carr yang mengenakan setelan jas hitam menilai, kalangan publik kedua negara masih kurang komunikasi. Padahal, komunikasi antarwarga, lanjut Carr, mewakili situasi yang nyata bagi perkembangan hubungan Indonesia-Australia. Dia mendorong program pertukaran mahasiswa dan kalangan akademisi.
Kontak antarpebisnis juga perlu terus digalakkan untuk mengatasi berbagai kesalahpahaman. Tak lupa, Carr menekankan tiga isu hubungan bilateral yang bisa diselesaikan lewat komunikasi. Yakni, masalah ekspor hewan ternak, penahanan warga Australia di Bali, dan perdagangan manusia.
Usai Carr pidato, semua peserta IAD kembali berdiskusi. Berbeda dengan hari pertama, pada hari kedua semua peserta digabung di satu ruangan. Mereka duduk di meja persegi panjangnya sekitar lima meter dengan lebar satu meter. Masing-masing peserta dilengkapi
microphone yang bentuknya sama dengan yang ada di meja anggota dewan ketika ada
hearing yang bisa disaksikan di televisi.
Pembahasan kali ini lebih berat dari hari pertama. Digelar selama satu jam 30 menit, merambah dunia politik dan ekonomi. Tujuan sesi ini untuk meningkatkan pemahaman atas isu yang ada di masing-masing negara.
Pada kesempatan ini, Uni Lubis mempertanyakan kok Australia selalu mengatakan bahwa Indonesia itu penting tapi di media tidak terlihat. Pemberitaan Indonesia sangat kurang di media Australia. Lalu, dilanjut dengan Dekan Australian National University, College of Asia and the Pacific, Andrew MacIntyre yang mengangkat isu demokrasi dan Papua. Dia mempertanyatakan apa yang terjadi dengan demokrasi Indonesia pada lima tahun mendatang. MacIntyre juga menyatakan, muncul kekuatiran bahwa Indonesia tidak akan berhasil mengelola Papua seperti yang Australia inginkan.
John McCharty menambahkan, Papua hanya menjadi perhatian dari orang-orang yang mengikuti isunya. Menurut dia, masalah ini sangat berbeda dengan Timor Timur. Sesi kedua juga digelar selama satu jam 30 menit. Merambah ke isu ASEAN, Laut China Selatan, Iran dan Korea Utara. Acara diakhiri pukul satu siang dengan
working lunch.
Dalam makan siang ini, Julie Bishop didaulat berpidato. Dia memaparkan programnya yang membidik Indonesia jika nanti partainya, partai oposisi, kubu Nasional-Liberal memenangi pemilu. Salah satunya menjadikan Indonesia sebagai percontohan pertama pertukaran pelajar antara kedua negara yang mencapai ribuan orang. Dia juga mengungkapkan jika pemimpin oposisi Tony Abbott juga akan lebih memilih banyak berinteraksi dengan Jakarta.
Dalam makan siang ini, peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Saya duduk dekat Eva K Sundari dan David Reeve. Pria Australia yang fasih bahasa Jawa Timuran ini bercerita mengenai penurunan minat pemuda Australia mengambil studi tentang Indonesia. Semula ada 27 universitas negeri di Australia yang mengajarkan bahasa Indonesia. Namun saat ini tinggal 13 universitas saja. Apa penyebabnya? Menurut Reeve, sejak bom Bali satu dan dua para orangtua enggan mendorong anak-anaknya belajar bahasa Indonesia. Alasannya faktor keamanan jika kelak si anak harus kuliah praktek di Indonesia.
Bagi para orang Australia, adalah tidak masuk akal ada 80 warga Australia yg menjadi korban bom Bali, jauh lebih banyak daripada jumlah prajurit Australia yang gugur di Afghanistan yang sedang dalam situasi perang. Ada pengalaman yang lucu dari para mahasiswa Australia yang ke Indonesia, kenang pria berjanggut putih ini. Para mahasiswa harus dibujuk-bujuk untuk mau berangkat kuliah setahun di Universitas Gajah Mada dan setahun Universitas Muhamadiyah Malang.
Tapi setelah mereka tiba di Indonesia, pada akhirnya banyak yang harus dibujuk-bujuk lagi untuk mau pulang ke Australia. Para mahasiswa tersebut kerasan tinggal di Jawa dan banyak yang akhirnya menikah dengan WNI setempat.***
*
wartawan Harian Rakyat Merdeka