LUHUT PAnjaitan dan presiden sby
Perang bintang memang sedang terjadi di kalangan pensiunan perwira tinggi TNI. Informasi yang beredar luas menyebutkan bahwa kehadiran Prabowo Subianto di Istana Negara hari Senin lalu (11/3) membuat panas telinga sejumlah jenderal purnawirawan yang selama ini berseberangan dengan Prabowo.
Sampai sekarang masih belum jelas pertemuan Prabowo dan SBY itu diinisiasi oleh siapa? Apakah oleh SBY, atau oleh Prabowo? Yang jelas menurut SBY, dia menerima permintaan dari Prabowo untuk bertemu. Sementara menurut orang dekat Prabowo, Fadli Zon, adalah SBY yang mengundang Prabowo ke Istana.
Perlu dicatat bahwa ini bukan pertemuan pertama SBY dan Prabowo di Istana. Menjelang Pilpres 2009 lalu Prabowo juga pernah mengunjungi SBY. Tahun lalu SBY dan Prabowo juga sempat bertemu di Istana Tampak Siring dalam rangka silaturahmi usai Idul Fitri dan reuni alumni AKABRI 1973. Namun demikian, baru kali inilah pertemuan SBY dan Prabowo ditanggapi dengan serius oleh kalangan purnawirawan jenderal lainnya.
Prabowo semakin populer. Lobi politiknya ke banyak kalangan di dalam negeri semakin canggih. Juga lobi politiknya di dunia internasional. Prabowo kini disebutkan memiliki hubungan yang jauh lebih baik dengan Amerika Serikat.
Bulan Oktober tahun lalu adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, mendirikan Pusat Kajian Sumitro Djojohadikusumo untuk Kebangkitan Ekonomi Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies (CSIS), salah satu lembaga
think thank kelas wahid AS di Washington DC.
Kemarin (Jumat, 15/3) Prabowo mengatakan dirinya tidak mau berpikiran negatif mengenai pertemuan tujuh purnawirawan jenderal yang dipimpin Luhut Panjaitan itu.
"Rakyat membutuhkan para elit politik yang bersahabat dan tukar menukar pikiran yang baik," kata Prabowo di Taman Mini, Jakarta Timur.
Sementara dalam kolom wawancara
Rakyat Merdeka hari ini Luhut Panjaitan mengatakan, Indonesia membutuhkan pemimpin yang
cool. Ia tidak mau Indonesia diserahkan kepada tokoh yang sebenarnya tidak kompeten untuk menjadi presiden tapi populer hanya karena sering tamÂpil di media.
"Kami tidak dalam kapasitas menilai mereka yang muncul. KaÂlau melihat capres, tentu meÂlihat
track record. Misalnya 30 tahun terakhir ini bagaimana. Kalau tentara, bagaimana waktu menjadi sipil, apa
success story-nya, bagaimana keluarganya, apaÂkah temperamental atau tidak," demikian Luhut Panjaitan.
[dem]