ilustrasi, Chevron Pasific Indonesia
ilustrasi, Chevron Pasific Indonesia
Maka, persidangan berlanjut ke agenda pemeriksaan saksi. Yang dihadirkan antara lain I Ketut Suradi sebagai saksi bagi terÂdakÂwa Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia pada Kamis lalu (17/1).
Ketut adalah Karyawan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang juga merupakan Panitia PeÂngadaan Tender Proyek BioÂreÂmeÂdiasi tersebut. “Tanggung jawab saya hanya administratif. Tugas panitia lelang hanya menerima doÂkumen, menempel dan meÂngevaluasi administrasi para peÂserta lelang,†kata Ketut saat diÂtaÂnya hakim mengenai tugasnya.
Hakim mempertanyakan, meÂngapa panitia lelang meloloskan PT Green Planet Indonesia (GPI) sebagai salah satu pemenang tenÂder proyek bioremediasi itu. SeÂperti diketahui, Kejaksaan Agung yang membawa kasus ini ke Pengadilan Tipikor menyangka, PT GPI tak memiliki kemampuan menangani pemulihan tanah beÂkas lahan eksplorasi minyak. “SeÂmua ada standar dan kuaÂlifiÂkaÂsiÂnya,†ucap Ketut.
Mengenai penyusunan tim panitia lelang, ada sejumlah nama yang ditunjuk Ketut dan kawan-kawannya. Selanjutnya, panitia itu mendapat persetujuan dari BP Migas. “Saya bersertifikat sebaÂgai panitia lelang. Tapi, saya tidak tahu apakah anggota panitia lainÂnya bersertifikat atau tidak,†jaÂwab Ketut saat ditanya hakim mengenai kapasitas dan kapaÂbilitasnya sebagai panitia lelang.
Panitia lelang itu dibentuk pada 27 April 2007, kemudian peÂnguÂmuman lelangnya tanggal 26 Juni 2007. Sedangkan masa penÂdafÂtaran lelangnya berlaku dari 13 Juli-20 Juli 2007. “BP Migas memÂberikan waktu untuk melaÂkuÂkan revisi-revisi dokumen dan perÂsyaratan pendaftaran,†ujarnya.
Dalam sidang hari itu, Ketut yang merupakan satu-satunya saksi yang dihadirkan, tidak bisa menjelaskan proyek bioremediasi di Duri, Riau itu. Alasannya, dia keburu dipindah ke bidang kerja yang lain.
“Saya tahu proyek itu dilakuÂkan di Duri, tapi persisnya saya tiÂdak tahu. Kelanjutannya saya suÂdah tidak tahu,†ucapnya.
Persidangan berlanjut lantaran majelis hakim menolak eksepsi (keberatan) para terdakwa perÂkara yang menurut Kejagung meÂrugikan negara sekitar Rp 100 miliar ini. Dalam sidang peÂmÂbaÂcaÂan putusan sela pada Jumat lalu (11/1), majelis hakim menolak keberatan para terdakwa.
“Intinya, majelis hakim meÂnyatakan tidak dapat menerima secara keseluruhan eksepsi yang diajukan para terdakwa maupun penasehat hukum terdakwa,†kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Setia Untung Ari Muladi.
Menurut Untung, karena ekÂsepsi para terdakwa ditolak, maka persidangan dilanjutkan pada agenda-agenda berikutnya seperti pemeriksaan saksi dan terdakwa. “Hakim memerintahkan jaksa peÂnuntut umum melanjutkan peÂmeÂriksaan perkara dengan mengÂhaÂdirkan saksi-saksi,†ujarnya.
Proyek bioremediasi ini berÂlangsung sejak 2003 sampai 2011 dan sudah dibayar negara meÂlalui BP Migas. Namun, KÂeÂjakÂsaan Agung menyangka proyek terÂseÂbut fiktif. Soalnya, masih diÂteÂmuÂkan zat limbah di atas tanah yang dinormalisasi itu.
Semula, Kejagung menaksir kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 200 miliar. BeÂlaÂkaÂngan, Direktur Penyidikan KeÂjaÂgung Adi Toegarisman menyebut keÂrugian negara dalam kasus ini sekitar Rp 100 miliar versi hasil audit Badan Pengawasan KeÂuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Karena cost recovery-nya diÂbaÂyarkan pemerintah, maka itu uang negara. Itu kerugian nÂeÂgaÂra,†tegas Adi.
Tapi, hingga BP Migas dibuÂbarÂkan melalui keputusan MahÂkamah Konstitusi (MK), tak ada satu pun tersangka kasus ini yang berasal dari BP Migas. Tujuh terÂsangka kasus ini, semuanya dari PT ChevÂron dan dua perusahaan peÂmenang lelang proyek bioreÂmeÂdiasi itu, yakni PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet IndoÂnesia.
Reka Ulang
Dari PN Jaksel Hingga Pengadilan Tipikor
Menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Adi ToegaÂrisÂman, penyidik sedang meÂnyiaÂpÂkan langkah lanjutan untuk meÂnuntaskan kasus Chevron. “SÂeÂteÂlah putusan sela di Pengadilan TiÂpikor keluar, kami mengambil langkah lanjutan, terutama untuk meÂnaikkan dua tersangka yang beÂlum naik ke persidangan,†ujarnya.
Tujuh tersangka kasus ini adaÂlah Manajer Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pasific InÂdonesia (CPI) Endah RumÂbiÂyanti, Team Leader SLN KaÂbuÂpaten Duri Provinsi Riau PT CPI Widodo, Team Leader SLS MiÂgas PT CPI Kukuh Kertasafari, General Manajer SLS Operation PT CPI Bachtiar Abdul Fatah, Direktur Utama PT Sumigita Jaya Herlan, Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri dan General Manager SLN Operation PT CPI Alexiat Tirtawidjaja. KeÂcuali Alexiat, semua tersangka itu ditahan. Alexiat keburu pergi ke Amerika Serikat dengan alasan mengurus suaminya yang sakit di negeri paman sam itu.
Belakangan, empat tersangka dari pihak Chevron yang tak teÂrima ditahan, mengajukan gÂuÂgaÂtan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Empat haÂkim tunggal yang menangani praÂperadilan ini, yakni M SaÂmiaÂdji menangani permohonan terÂsangka Widodo, Suko Harsono meÂnangani permohonan tersangÂka Bachtiar Abdul Fatah, HarÂyoÂno menangani permohonan terÂsangÂka Kukuh Restafari, dan Ari JiÂwantara menangani perÂmÂoÂhoÂnan tersangka Endah Rumbiyanti.
Dalam putusan yang dibacakan serentak di empat ruang sidang pada Selasa, 27 November 2012, empat hakim tersebut menyaÂtaÂkan, penahanan terhadap empat terÂsangka itu tak sah, karena tak diÂdasari bukti yang cukup sebÂaÂgaimana Pasal 183 KUHAP.
Setelah empat hakim meÂngeÂluarÂkan putusan itu, pengacara empat tersangka yang mengaÂjuÂkan praperadilan, Maqdir Ismail meminta Kejagung mengÂhenÂtiÂkan penyidikan. “Karena alasan peÂnetapan tersangka itu tidak ada,†kata Maqdir.
Maqdir mengakui, hakim tidak menerima permohonan empat karÂyawan Chevron agar KejaÂgung menghentikan penyidikan kasus ini. Namun, katanya, hakim menyatakan penetapan dan penahanan empat tersangka itu tiÂdak sah, sehingga penyidikan harus digugurkan.
“Kalau tidak sah jadi tersangÂka, penyidikannya juga tidak sah. Kasus ini semestinya ditutup, keÂcuali kejaksaan punya tersangka baru. Menurut hakim, penetapan terÂsangka pada empat orang ini tidak sah. Karena tidak ada terÂsangka, tidak ada perkara piÂdÂaÂna,†tandasnya.
Jaksa Agung Basrief Arief meÂnilai, salah satu ketetapan hakim PN Jaksel itu bermasalah. “Ada satu tersangka, diantara empat tersangka itu, yang putusan haÂkimÂnya mengenai penetapan terÂsangka yang tidak sah,†katanya, Jumat, 30 November lalu.
Kejaksaan Agung menilai, yang bermasalah itu adalah putuÂsan hakim Sukoharsono atas praÂperadilan yang diajukan terÂsangÂka Bachtiar Abdul Fatah. Yang menimbulkan keberatan KejaÂgung, Sukoharsono juga meÂngaÂbulkan permohonan Bachtiar agar penetapan tersangka itu diÂnyatakan tidak sah. Bukan sekÂaÂdar penahanannya yang tidak sah.
Menurut Kejagung, sah atau tidaknya penetapan tersangka, bukan ranah praperadilan. MeÂlainÂkan, sudah menyangkut maÂteri perkara yang harus diÂbukÂtiÂkan di persidangan.
Kendati proÂtes, Kejagung belum membawa Bachtiar ke Pengadilan Tipikor. TerÂsangka Alexiat juga belum diÂbaÂwa ke Pengadilan Tipikor, kaÂreÂna masih berada di Amerika.
Sedangkan tiga hakim yang meÂnangani permohonan praÂpeÂraÂdilan tiga tersangka lain, hanya meÂnyatakan bahwa penahanan oleh penyidik yang tak sah. BuÂkan penetapan tersangkanya yang tak sah.
Maka, tiga tersangka ini akÂhirnÂÂya dibawa Kejagung ke PeÂngadilan Tipikor, bersama dua terÂÂÂdakwa lainnya dari pihak reÂkanan PT Chevron. Sehingga, dari tujuh tersangka, baru lima yang menjadi terdakwa kasus ini.
Biar Masyarakat Lihat Terbukti Atau Tidak
Dasrul Jabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Jabar menyampaikan, tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk tidak meneruskan penanganan kasus ini.
“Karena sudah menyatakan ada korupsi dalam kasus ini, maka Kejagung harus memÂbukÂtiÂkannya. Biar masyarakat meÂlihat, apakah sangkaan KÂeÂjaÂgung itu terbukti atau tidak. KaÂlau tidak diteruskan, justru menÂjadi preseden buruk,†katanya.
Dasrul pun mengingatkan, daÂlam setiap proses pengusutan perkara, hendaknya aparat peÂnegak hukum sangat yakin deÂngan bukti-bukti yang diÂmiÂlikiÂnya serta berhati-hati.
“Apalagi, kasus ini meÂnyangÂkut perusahaan asing. Kalau saÂlah, investor bisa kabur karena tidak ada kepastian hukum,†ujarnya.
Azas kehati-hatian dan keÂkuaÂtan bukti itu, menurutnya, haÂrus dipegang kuat oleh peÂnyidik dalam mengusut perkara. “Penegak hukum kita harus eksÂtra hati-hati,†ujarnya.
Dasrul menambahkan, seÂjumÂlah informasi yang diteÂriÂmanya menyebutkan, ada perÂsaingan bisnis di balik kasus duÂgaan korupsi bioremediasi PT Chevron ini.
“Saya dengar, ada upaya menjegal perusahaan yang satu agar masuk perusaÂhaÂan yang lain. Penyidik jangan sampai ikut bermain dalam kepeÂnÂtiÂngan seperti itu,†wanti-wantinya.
Dia pun mengingatkan, jaÂngan sampai persaingan bisnis menjadi latar belakang peÂnguÂsutan perkara, tapi karena beÂnar-benar adanya tindak pidana. “Law enforcement harus jelas, jaÂngan ikut-ikutan dalam uruÂsan interest bisnis dari pihak-pihak lain,†katanya.
Lantaran itu, Dasrul memÂpersilakan kejaksaan memÂbuktikan kasus ini di pengadilan yang terbuka bagi masyarakat. “Silakan diproses. Kalau teÂrÂbukti, ya dihukum. Tapi kalau tiÂdak, jangan dipaksakan,†ujarnya.
Sarankan KPK Dan Masyarakat Mengawasi
Sandi Ebenezer Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI
Anggota Majelis PertimbaÂngan Bantuan Hukum IndoÂneÂsia (PBHI) Sandi Ebenezer Situngkir menyampaikan, peÂrÂsiÂdangan menjadi salah satu paÂrameter pengusutan dan pemÂbuktian dugaan tindak pidana korupsi. Seperti halnya persidÂÂngan kasus Chevron di PeÂngaÂdilan Tipikor Jakarta.
Salah satu agenda persÂiÂdaÂngan adalah eksepsi atau keÂbeÂratan dari pihak terdakwa. EkÂsepsi itu terkait kompetensi peÂngadilan untuk mengadili terÂdakwa. “Dengan ditolaknya ekÂsepsi, maka hakim melihat bahÂwa pengadilan memiliki komÂpeÂtensi untuk mengadili perkara tersebut,†ujar Sandi.
Namun, masyarakat juga mesÂti melakukan pengawasan yang intens terhadap proses persidangan. Jangan sampai proses tersebut malah “masuk anginâ€. “KPK dan publik harus mengawasi persidangan terseÂbut. Apalagi, penanganan perÂkara ini begitu panjang dan berÂtele-tele, sehingga mÂeÂnimÂbulÂkan pertanyaan publik,†ujarnya.
Dia menegaskan, pengawaÂsan terhadap kinerja aparat peÂnegak hukum perlu terus dÂiÂlÂaÂkuÂkan, agar penanganan suatu kasus tidak berlarut-larut. ApaÂlagi perkara yang mengandung dugaan kerugian negara mÂiÂliaÂran rupiah.
Sandi mengingatkan, apa yang sudah disidik jaksa harus dibuktikan dan dipertaruhkan di hadapan persidangan yang terÂbuka bagi masyarakat. Jaksa haÂrus tampil dengan performa terÂbaiknya. “Jika perkara itu terÂbukti, kejaksaan memiliki inÂtegÂritas di mata asing. Jangan maÂlah melempem,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32
Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59