Banjir yang melanda Jakarta disebabkan tingginya intensitas hujan. Tataruang yang tidak baik dan pemenuhan infrastruktur drainage yang tidak memadai berakibat pada akumulasi genangan dan meluapnya air sungai yang melintas kota Jakarta ke pemukiman.
Banjir makin dahsyat saja karena saluran-saluran air hujan tersendat akibat menumpuknya sampah. Tidak adanya pengolahan sampah yang terkoodinir dengan baik, ketidakdisiplinan masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, dan minimnya penglolaan sampah oleh masyarakat PR besar yang mesti dicari solusinya.
Namun, kata Assisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Erick Rizky, ada hal yang luput dari perhatian khalayak dan bahkan pemerintah tentang penyebab terjadinya banjir di Jakarta. Selain curah hujan yang tinggi dan kurang tersedianya ruang terbuka atau tanah resapan, banjir Jakarta juga disebabkan akibat penurunan muka tanah (land subsidence) wilayah Jakarta.
"Penurunan muka tanah ini bervariasi di setiap titik di seluruh Jakarta, antara 5 cm sampai 10 cm per tahun," kata Erick Rizky, Jumat (18/1).
Dia menjelaskan, penurunan muka tanah dapat dilihat seperti yang terjadi pada September 2011 di Jalan Pluit Indah Raya, tepat di depan Mega Mall Pluit, Jakarta Utara, yang membentuk lubang berdiameter sekitar 1 meter lebih dengan kedalaman hampir 2 meter. Pada Juli 2011 tanah di kawasan Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, 21 rumah penduduk di RW 4 Kelurahan Rawajati rusak berat.
Sebelumnya, pada 16 September 2010, Jalan Raya RE Martadinata yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara menuju arah Kota amblas sedalam 7 meter dengan panjang patahan sekitar 103 meter. Pada 2008, sejumlah bangunan di Jakarta juga mulai amblas. Sebut saja gedung Sarinah dan gedung Badan Pengkajian dan Penyerapan Teknologi (BPPT) di Jalan MH Thamrin.
"Penurunan muka tanah juga terjadi di wilayah segitiga Kuningan dan Sudirman Central Bussines District (SCBD) yang diakibatkan meningkatnya intensitas pembangunan properti di kawasan bisnis itu sejak 2007,"
Mengutip data Konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), kata Erick, pada periode 1974-1990 land subsidence di wilayah utara Jakarta sekitar 3-5 cm per tahun. Beberapa studi dan pengamatan belakangan menunjukkan angka yang lebih besar. Di Jakarta Utara diindikasikan terjadi land subsidence sekitar 5-10 cm per tahun.
Dalam kurun waktu 1974-2010, lanjut dia, telah terjadi penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta hingga 4,1 meter. Ini khususnya terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Penurunan serupa juga terjadi di sejumlah wilayah lain, seperti di Cengkareng Barat setinggi 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter, dan Cibubur 0,25 meter. Ada 7 jembatan ambles, yakni jembatan Kamal Muara, Mangga Dua, Ancol, Pluit, Pantai Mutiara, Gunung Sahari dan Mangga Besar.
Sementara itu, dari data 1982-1991 penurunan permukaan tanah terbesar terjadi di lokasi Cengkareng dengan laju penurunan 8,5 cm per tahun. Pada 1991- 1997 terjadi di Kwitang dengan laju penurunan 14,8 cm per tahun, 1997-1999 terjadi di Daan Mogot dengan laju penurunan 31,9 cm per tahun. Dari data tinggi hasil pengamatan GPS Desember 1997- Juni 1999, penurunan terbesar terjadi di Pantai Indah Kapuk dengan laju penurunan 11,5 cm per tahun. Juni 1999-Juni 2000, masih di Pantai Indah Kapuk dengan laju penurunan 10,4 cm per tahun.
Sementara Juni 2000-Juni 2001 terjadi di Daan Mogot dengan laju penurunan 34,2 cm per tahun, Juni 2001-Oktober 2001 terjadi di Rukindo-Ancol dengan laju penurunan 23,7 cm per tahun.
"Titik terbanyak rawan genangan dan penurunan muka tanah berada di wilayah Jakarta Utara sebanyak 26 lokasi. Dari periode 1982 hingga 1997 mencapai 20 centimeter dalam waktu 15 tahun. Periode 1997 sampai 2007 mencapai 18 hingga 26 centimeter dalam waktu 10 tahun," kata Erick.
[dem]