Indar Atmanto
Indar Atmanto
Dalam sidang ini, Indar duduk sebagai terdakwa perkara koÂrupsi penggunaan jaringan frekuensi radio 2,1 GHz/3G generasi ketiga oleh PT Indosat dan anak perÂusaÂhaannya, PT Indosat Mega Media (IM2) yang diduga merugikan neÂgara sekitar Rp 1,3 triliun.
Sidang yang dimulai pukul 10 pagi ini, dipimpin Ketua Majelis Hakim Widijantono. Anggota maÂjelis hakim terdiri dari AvianÂtara, Annas Mustaqim, Anwas dan Ugo. Sedangkan jaksa peÂnunÂtut umum (JPU) diketuai IBM Wismantanu.
Dalam surat dakwaan, Indar berÂsama-sama bekas Wakil DiÂrektur Utama PT Indosat Kaizad B Heerjee dan dua bekas Direktur Utama PT Indosat, yakni Johnny Swandi Syam dan Harry SaÂsongÂko, disebut memperkaya diri senÂdiri, orang lain atau korporasi seÂcara melawan hukum. Soalnya, meÂreka menggunakan frekuensi radio tanpa mendapatkan peÂnetapan dari Menteri Komunikasi dan Informatika.
Hal itu, menurut JPU, bertenÂtangan dengan Pasal 14 Peraturan PeÂmerintah (PP) Nomor 53 tahun 2000 Tentang Penggunaan SpekÂtrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, juncto Pasal 30 PP Nomor 53 tahun 2000. Namun, Indar meÂnampik dakwaan JPU tersebut. “Apabila saya sebagai perÂorangÂan dituduh korupsi karena mengÂgunakan frekuensi 2,1 GHz milik Indosat, maka saat ini, seÂtiap orang yang menggunakan teleÂpon selulernya untuk BBM, SMS dan telepon juga korupsi karena mengÂgunakan frekuensi itu,†kata Indar.
PT Indosat dan PT IM2 diduga menyalahgunakan jaringan berÂgerak seluler pita frekuensi radio 2,1 Ghz atau 3G. Caranya, deÂngan menjual internet broadÂband jaÂringan bergerak seluler 3G miÂlik Indosat, tapi diklaim seÂbagai produk IM2, sebagaimana terÂtuang dalam perjanjian kerja sama dan tertulis pada kemasan inÂternet IM2 3G broadband. KeÂmudian, data pelanggan pengÂguÂnaan jaringan 3G itu dipisahkan dari data pelanggan Indosat.
Penandatanganan perjanjian anÂtara Direktur Utama IM2 Indar Atmanto dengan Wakil Direktur Utama Indosat Kaizad Bonnie Heerjee terjadi pada 2006. PerÂjanÂjian itu untuk melakukan peÂnyelenggaraan jaringan inÂternet 3G secara bersama dengan IM2. Maka, sejak 2006 hingga 2011, IM2 menggunakan jaringan 3G yang dimiliki Indosat.
Kejagung menyangka, langkah InÂdosat dan IM2 itu melanggar sejumlah ketentuan yang berlaku. Soalnya, yang mengantongi izin jaringan itu dari negara adalah InÂdosat, bukan IM2. Sehingga, meÂnurut Kejagung, kasus ini meÂnimÂbulkan kerugian negara Rp 1,3 triliun. Angka itu didapat KeÂjagung dari hasil audit Badan PengÂawasan Keuangan dan PemÂbangunan (BPKP).
Kejagung berpandangan, peÂnyeÂlenggara jasa penggunaan jaÂringan seluler 3G harus memiliki izin sendiri. Bukan seperti IM2 yang menggunakan jaringan InÂdosat, induk perusahaannya. PanÂdangan Kejagung, jaringan telekomunikasi yang dapat diÂseÂwakan kepada pihak lain, haÂnyalah jaringan tetap tertutup, sesuai Pasal 9 Undang Undang TeÂlekomunikasi.
Menurut JPU, Indar mengÂgunakan frekuensi 2,1 Ghz tanpa meÂlalui proses lelang. Hal itu, berÂtentangan dengan Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 tahun 2006. Selain itu, berdasarkan PaÂsal 25 ayat 1 PP Nomor 53 tahun 2000, Indosat tidak dapat menÂgÂalihkan penyelenggaraan freÂkuensi radio 2,1 GHz kepada piÂhak lain tanpa izin menteri.
Sidang akan dilanjutkan paÂda Senin 21 Januari 2013 untuk pengÂajuan eksepsi terdakwa yang didampingi penasehat hukum Luhut Pangaribuan dkk.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Ari Muladi menyampaikan, untuk tersangka Jhonny Swandy Sjam, PT Indosat dan PT IM2, penyidik memeriksa tiga saksi yang merupakan karÂyawan PT Indosat di Gedung BunÂdar Kejagung, kemarin. Tiga saksi itu yakni Benny Hamid HuÂtagalung, Budi Dartono dan TiurÂma Elisabeth Novita. “Para saksi itu hadir pukul 10 pagi,†kaÂta Untung.
REKA ULANG
Menggugat Sebelum Jadi Terdakwa
Sebelum menjadi terdakwa, bekas Direktur Utama Indosat MeÂga Media (IM2) Indar AtÂmanto mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan itu diÂtujukan kepada Badan PengaÂwasan Keuangan dan PemÂbaÂngunan (BPKP).
Soalnya, hasil penghitungan BPKP digunakan penyidik KeÂjaksaan Agung untuk memÂbukÂtikan unsur kerugian negara daÂlam perkara korupsi pengÂgunaan jaringan frekuensi radio 2,1 GHz/3G oleh PT Indosat dan anak perusahaannya, PT IM2.
Dalam gugatan Nomor 231/G/2012/PTUN-JKT tanggal 9 JaÂnuari 2013, Indar memÂperÂmaÂsaÂlahÂkan Surat Deputi Kepala BPKP tangal 9 November 2012 meÂngenai hasil audit kerugian neÂgara dalam kasus Indosat.
Pengacara Indar, Erick S Paat menguraikan, salah satu hal yang paling mudah untuk melihat keÂkeliruan BPKP adalah ketika surat BPKP menyatakan pengÂhiÂtungan itu sebagai hasil audit. Untuk melakukan audit, seorang auditor harus memenuhi standar, seperti mengklarifikasi dan meÂmanggil pihak yang diaudit, serta Menkominfo selaku regulator. Persoalannya, pihak Indosat dan IM2 tak pernah dipanggil auditor. PengÂhitungan itu hanya berÂdasarkan BAP yang diberikan peÂnyidik kepada auditor.
“Penghitungan kerugian neÂgara ini tidak dilakukan secara obÂyektif. Sebagai auditor yang proÂfesional, seharusnya mereka meÂmanggil ahli untuk meÂnenÂtuÂkan, apakah benar Indosat dan IM2 menggunakan frekuensi berÂsama-sama seperti yang dikaÂtakan penyidik,†katanya.
Apalagi, menurut Erick, berÂdaÂsarkan Peraturan Pemerintah NoÂmor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan NeÂgara Bukan Pajak dan UnÂdang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang berhak meÂlakukan penghitungan keruÂgiÂan negara adalah Badan PeÂmeÂriksa Keuangan (BPK), bukan BPKP.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto, guÂgatan tersebut tidak memÂpeÂngaruhi upaya penyidik meÂnangani kasus ini. “Itu dua hal yang berbeda. Dari dulu, perkara koÂrupsi menggunakan pengÂhitungan BPKP. Jangankan BPKP, jaksa saja bisa mengÂhitung sendiri,†katanya.
Andhi menegaskan, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tenÂtang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diÂubah dengan UU Nomor 20 TaÂhun 2001, tidak melarang BPKP menghitung kerugian negara.
Dia menambahkan, pengÂhiÂtungÂan oleh akuntan publik juga diperbolehkan dalam UU Tipikor. Berdasarkan penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, yang dimakÂsud dengan “secara nyata telah ada kerugian negara†adalah keÂrugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil teÂmuan instansi berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Yang pasti, perdebatan itu tidak menghentikan bergulirnya kasus ini ke Pengadilan Tipikor. KemaÂrin, Indar menjalani sidang perÂdaÂna sebagai terdakwa. Dia didakÂwa pasal berlapis, dan terÂancam hukuman pidana makÂsiÂmal 20 tahun penjara.
Ada pun dakwaan yang dibacaÂÂkan JPU, yakni dakwaan primer, yaitu Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemÂberÂanÂtasan Tindak Pidana Korupsi, seÂbagaimana diubah dengan UnÂdang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UnÂdang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TinÂdak Pidana Korupsi, junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Kemudian dakwaan subsidair, yakni Pasal 3 junto Pasal 18 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 TaÂhun 1999 tentang PemÂberanÂtasan Tindak Pidana Korupsi, sebaÂgaiÂmana diubah dengan Undang UnÂdang Nomor 20 Tahun 2001 TenÂtang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PiÂdana Korupsi, junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Perkara Dugaan Korupsi Korporasi Mesti Detail
Alvon Kurnia Palma, Direktur YLBHI
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengingatkan Kejagung agar mampu membuktikan bahwa PT Indosat dan PT Indosat MeÂga Media (IM2) sebagai korÂpoÂrasi, mesti bertanggung jawab dalam kasus yang diduga meÂruÂgikan negara Rp 1,3 triliun ini. Soalnya, Kejagung telah meÂlontarkan sangkaan tersebut.
Seperti diketahui, bukan haÂnya bekas Direktur Utama PT IM2 Indar Atmanto dan bekas Direktur PT Indosat Johny SwanÂdi Sjam yang ditetapkan seÂbagai tersangka. PT Indosat dan PT IM2 sebagai korporasi, juga ditetapkan sebagai terÂsangka. Kejagung mengambil langÂkah itu agar Indosat dan IM2 membayar kerugian neÂgara dalam kasus ini.
Karena sudah menetapkan korÂporasi sebagai tersangka kaÂsus korupsi, lanjut Alvon, KeÂjakÂsaan Agung semestinya suÂdah mengantongi bukti yang kuat.
“Bagus berani menetapkan korporasi sebagai tersangka. Tapi, harus mendetail dan jelas, apa peranan perusahaan itu sebagai aktor tindak pidana korupsi,†katanya.
Dia menambahkan, dalam perÂkara dugaan korupsi korÂporasi, maka pertangÂgungÂjaÂwabÂannya dilakukan pihak-pihak yang menjadi pengurus daÂlam korporasi itu. “PeÂnaÂnganÂÂan tindak pidana korupsi korÂporasi merupakan mandat UniÂted Nation Covenant AgaÂinst Corruption,†ujarnya.
Alvon menduga, korupsi yang terjadi pada perkara ini berkaitan erat dengan persoalan pengadaan barang dan jasa daÂlam perjanjian kerja sama deÂngan pemerintah.
Karena itu, lanjutnya, peÂnyidik juga harus mendalami peÂran dan posisi PT Indosat dalam persoalan ini. “Sebab, dia yang ada kontrak perjanjian dengan pemerintah,†ujarnya.
Menurut Alvon, celah-celah peran dan perbuatan masing-maÂsing korporasi itulah yang harus diteliti betul oleh peÂnyidik, terkait peran dan fungÂsinya, sehingga maksimal upaÂya pengusutan sangkaan koÂrupsinya.
“Artinya di sini ada sangÂkaan tindak pidana, tapi harus diperÂjelas siapa pelaÂkuÂnya dan relasi tindakannya seperti apa. Perlu diÂperjelas soal siap yang berÂtangÂgung jawab,†ucapnya.
Sangkaan Itu Mesti Dibuktikan
Paskalis Kosay, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Paskalis Kosay mengingatkan Kejaksaan Agung agar mampu membuktikan korupsi pengÂguÂnaan jaringan 3G oleh PT InÂdosat dan PT Indosat Mega Media (IM2).
Soalnya, Kejaksaan Agung telah membawa salah seorang terÂsangka kasus ini ke PengaÂdilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Kejagung telah mendudukkan tersangka itu sebagai terdakwa dalam perÂsidangan yang terbuka untuk maÂsyarakat.
“Kasus ini pun mesti diusut tuntas, tak bisa berhenti pada satu terdakwa itu saja. Apalagi, Kejagung telah melontarkan sangkaan bahwa Indosat dan IM2 sebagai korporasi mesti bertanggung jawab membayar kerugian negara,†kata dia.
Kejagung, lanjut Paskalis, harus memperÂtanggungÂjawabÂkan sangkaan-sangkaan yang telah dilontarkannya itu melalui meÂlalui pembuktian di pengaÂdilan. Jika tidak mampu memÂbukÂtikannya, masyarakat akan meÂnilai rendah kinerja KeÂjakÂsaan Agung dalam meÂnangani kasus ini.
Dia juga mewanti-wanti KeÂjaksaan Agung agar tidak memÂperlemah diri sendiri bila berÂhadapan dengan korporasi asing. “Korporasi itu kan berÂoperasi di wilayah hukum IndoÂnesia, maka wajib tunduk keÂpada hukum yang berlaku di sini,†kata politisi Partai Golkar ini.
Setiap tindakan melanggar hukum di wilayah Indonesia, lanjut dia, maka harus diproses dengan hukum pidana yang berlaku di negeri ini. “Kalau dia memÂbuat tindak pidana koÂrupsi, harus dikenakan sesuai huÂkum yang berlaku di IndoÂnesia,†ujar pria asal Papua ini.
Dia pun mewanti-wanti apaÂrat kejaksaan tidak menjadi lemÂbek bila berhadapan dengan kasus-kasus korupsi yang meliÂbatkan korporasi, apalagi korÂporasi asing. Jika itu terjadi, maÂka Jaksa Agung mesti meÂlakukan evaÂluasi. “Kalau itu yang terjadi, JakÂsa Agung mesti menunjuk jaksa yang integÂritasnya teruji untuk meÂnangani kaÂsus ini agar tuntas,†ujar PasÂkalis. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32
Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59