Berita

Antonius Z Tonbeng

X-Files

Tonbeng Diduga Minta James Ngambil Jatah Lebih Besar

Kasus Suap Penanganan Pajak Bhakti Investama
RABU, 19 DESEMBER 2012 | 10:07 WIB

Jaksa memutar rekaman telepon antara Komisaris Independen PT Bhakti Investama Antonius Z Tonbeng dengan konsultan pajak James Gunaryo. Jaksa juga menunjukkan bukti dugaan keterlibatan Tonbeng, saat mengurus pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Surabaya cabang Wonocolo, Jawa Timur.

Rekaman sadapan telepon ini di­putar dalam sidang perkara suap pengurusan pajak PT Bhakti de­ngan terdakwa petugas Ditjen Pajak Tommy Hindratno. Tommy adalah pegawai KPP Sidoardjo, Jawa Timur. Tommy didakwa me­­nerima suap Rp 280 juta dari ter­­pidana James Gunaryo.

Guna memperoleh kepastian penerimaan suap berikut asal-usul uang suap, jaksa penuntut umum (JPU) Medi Iskandar dkk menghadirkan saksi Antonius Tonbeng. Kehadirannya dinilai pen­ting dalam mengungkap d­u­gaa­n keterlibatan orang dalam PT Bhakti.  Apalagi, selama ini Ton­beng mengaku tidak kenal de­ngan terpidana James.

Substansi rekaman ini berisi ren­cana penyerahan komisi Rp 340 juta kepada Tommy. Percakapan via telepon itu terjadi pada 24 Mei 2012. Dalam rekaman, ter­de­ngar terpidana James menya­ta­kan, “Itu kan 10 persen, Pak. Kita kan selama ini minta Rp 330 juta. Kalau 10 persen naik jadi Rp 340 juta. Nanti saya ngomong ke sana Rp 330 juta. Yang 10 kita ba­gi dua, mau nggak, Pak?”

Tonbeng menimpali, “Itu keba­nyakan Rp 330 juta.” Namun Ja­mes balik mengatakan, “Justru me­reka sudah ngomong begitu.” Maksudnya, sudah ada kese­pa­katan fee untuk pengurusan pajak PT Bhakti dengan Tommy.

Tonbeng pun mengatakan ke­pada James agar dirinya tak perlu diberi jatah komisi.  “Kalau saya ti­dak usah.” Namun, James me­nya­­takan, “Nggak apa-apa, kan Ba­­pak juga perlu.” Mendengar pernyataan tersebut, Tonbeng me­­­ngatakan, “Harusnya Lu ngam­­bil lebih besaran.” James me­­nimpali “Nggak apa-apa sih.”

 Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin siang (17/9), Tonbeng membantah kenal dengan James dan Tommy. Dia juga menyebutkan, selama ini biasa dipanggil Tonbeng.

Jadi, ka­tanya membela diri, aneh bila da­lam rekaman telepon, James me­manggilnya dengan sebutan Anton.

Kurang puas dengan paparan rekaman tersebut, jaksa pun me­nunjukkan tandatangan Tonbeng dalam pengurusan pajak perusa­haan Mobile 8 dan Smartfren di KPP Wonocolo, Surabaya, Jawa Ti­mur kepada majelis hakim.

Lalu, jaksa Medi bertanya ke­pada Tonbeng ikhwal pemba­ya­ran bea konseling bersama mitra bisnisnya PT Jaya Nusantara (JN) di KPP Surabaya cabang Wono­colo. “Apa benar dalam dokumen bea konseling dengan petugas KPP Surabaya Wonocolo Nina Juniarsih itu, adalah tandatangan saudara?”

Tonbeng menjawab, “Ya, itu tan­datangan saya.” Padahal sebe­lumnya, Tonbeng mengaku tidak pernah mengurus pajak Mobile 8 di KPP Surabaya Wonocolo, tapi dalam dokumen ada tandata­ngan­nya. Tonbeng juga membantah pernah bertemu Nina Juniarsih, se­la­ku petugas pajak yang mem­berikan konseling kepada Ton­beng saat penjualan barang Mo­bile 8 ke PT JN.

“Saya enggak ketemu dengan Nina. Kalau tandatangan itu kan bisa dititipkan. Saya lupa tan­da­tangannya kapan,” tepisnya.

Dia berulangkali mengatakan tak pernah mengurusi pajak Mo­bile 8 dan Smartfren di KPP Sura­baya Wonocolo, karena provider telekomunikasi itu sudah dijual kepada pihak lain. Dia mengakui, Mobile 8 pernah di bawah ke­mu­di Global Mediacom, anak usaha PT Bhakti.

Namun Medi tidak mau kalah. Ia mengungkapkan, saksi Ton­beng pernah ke KPP Surabaya Wo­nocolo. Karena setelah kon­sel­ing dengan petugas pajak, sak­si me­nandatangan bea konseling. “Tandatangannya tidak bisa di­wa­kili pihak lain,” tegasnya.

REKA ULNG

Cerita Tentang Tonbeng Di Wonocolo

Kesaksian Nina Juniarsih, petugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Surabaya Wonocolo, Jawa Timur pada pekan lalu di Pe­nga­dilan Tipikor Jakarta, lagi-lagi me­nyeret nama petugas Ditjen Pajak Tommy Hindratno.

Nina menceritakan, Tommy da­tang ke KPP Wonocolo Sura­baya pada 21 Maret 2012. Dia da­tang bersama petugas KPP Mul­yorejo, Hamsah yang sudah me­ngenal Nina. Hamsah me­nge­nal­kan Tommy ke Nina, dan bawa­han­nya Rizal Rahmat Hidayat.

Saat menemui Nina dan Rizal, Tommy menerangkan, keda­ta­ngan­nya untuk mengurus pajak tra­nsaksi penjualan antara Mobile 8 dan PT Jaya Nusantara (JN) se­nilai Rp 298 miliar. Soalnya, PT JN merupakan wajib pajak di ba­wah KPP Surabaya Wonocolo.

“Dia menjelaskan akan me­nyelesaikan transaksi PT Jaya Nu­santara dengan Mobile 8. Dia tidak membawa surat tugas, tidak membawa surat kuasa,” katanya.

Setelah pencarian informasi soal pajak PT JN ditolak Nina, Tommy datang untuk kedua kalinya ke KPP Wonocolo pada 24 Mei 2012. Saat itu Nina lang­sung menanyakan surat kuasa kepada Tommy. Ia bahkan ter­kejut, kenapa Tommy tahu soal pajak PT JN.

Karena tak membawa surat kuasa, Tommy pulang dan tak kembali lagi mencari informasi ke KPP Surabaya Wonocolo. Na­mun dari pertemuan itu, Nina tahu bahwa di belakang Mobile 8, yang berurusan pajak dengan PT JN, adalah MNC.

Saksi Rizal pun menjelaskan, ada transaksi antara Mobile 8 dan PT JN. Mobile 8 menjual barang kepada PT JN, dan mengaku telah membayar pajak pertambahan nilai pembelian barang. Namun da­lam laporan pajak, PT JN tidak menyebutkan hal itu. Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan KPP Surabaya Wonocolo.

Nina, lalu meminta kepada Is­wati, utusan PT JN untuk me­nun­jukkan faktur retour barang jika memang tidak membeli barang dari Mobile 8. Ia mengancam, jika PT JN tak bisa menunjukkan fak­tur retour, KPP Surabaya Wo­n­o­colo menganggap transaksi de­ngan Mobile 8 memang benar ada.

Nina pun menjanjikan akan me­manggil Antonius Z Tonbeng dari Mobile 8 untuk di­per­te­mu­kan dengan Iswati dari PT JN. Ia mengaku tidak tahu menahu po­sisi Antonius di Mobile 8. Tapi ke­mudian, keduanya datang ke KPP Surabaya Wonocolo meng­hadap Nina pada 4 Juni 2012, di­te­mani Rizal dan atasannya.

“Selama ini Pak Anton, yang me­ngurus masalah perpajakan (Mobile 8). Saya bilang terus te­rang ke dia, Pak, Anda tidak bo­leh menyuruh orang pajak se­ba­gai konsultan,” katanya. Dia me­nerangkan, konsultan yang di­mak­sud adalah Tommy.

Anton yang belakangan dike­tahui sebagai Komisaris In­de­pen­den PT Bhakti Investama, mem­beri alasan kenapa minta tolong Tommy yang bertugas di bagian pengawasan dan konsultasi KPP Sidoarjo Selatan. “Selama ini ka­lau di Jakarta saya turun sendiri, Bu. Tapi ini di Surabaya,” kata Nina menirukan pernyataan Tonbeng saat itu.

Saksi Dharma Putrawati, salah satu Direktur PT Bhakti In­ves­tama pun membenarkan bahwa Mobile 8 merupakan anak peru­sa­haan Bhakti. Namun peru­sa­ha­an tersebut sudah dijual tiga sam­pai empat tahun lalu. Ia me­nya­ta­kan, Antonius adalah Komisaris Independen PT Bhakti, tapi tak mengurusi pajak.

Menurut jaksa Medi Iskandar, kesaksian Nina dan Rizal cukup membuktikan bahwa terdakwa Tommy mengurusi pajak di ba­nyak perusahaan, salah satunya Mobile 8, dan Antonius Tonbeng tahu hal ini. Tapi, Tonbeng mem­bantah mengenal Tommy.

KPK Sudah Tahu Siapa Lagi Yang Terlibat

Rindhoko Wahono, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Rindhoko Wahono meminta se­mua pi­hak menjunjung obyek­tifitas hu­kum. Artinya, apa dan bagai­mana peran seseorang dalam ka­sus hukum, hendaknya dita­nga­ni secara proporsional.

Dia menilai, kasus suap ter­ha­dap petugas Ditjen Pajak Tom­my Hindratno masuk ka­te­gori persoalan yang ko­m­pleks. Masalahnya, kasus ini diduga tak sebatas masalah suap Rp 280 juta. Melainkan, diduga ada konspirasi pajak yang lebih besar lagi.

Rindhoko mencermati, ber­da­sarkan fakta dan kesaksian yang ada, peran komisaris inde­penden di sini sangat tidak kre­dibel. Menurutnya, komisaris independen itu punya posisi memberi masukan pada direk­tur. Dia memiliki peran do­mi­nan saat rapat umum pemegang sa­ham atau rapat umum pe­me­gang saham luar biasa di­la­ku­kan. “Jadi, patut diduga ada kong­ka­li­kong di sini,” tandasnya.

Tapi, lanjut dia, permainan atau konspirasi seperti ini bukan hal yang aneh. Dia m­eng­in­for­masikan, banyak komisaris pe­rusahaan yang turun ke la­pa­ngan. Mereka mengambil peran sebagai lobiis. Bahkan, banyak juga komisaris yang bisa me­ngeluarkan surat perintah kerja. “Jadi perannya melebihi di­rek­tur,” katanya.

Hal seperti ini, papar dia, bisa terjadi dalam kasus korupsi. Dia yakin, KPK dan hakim yang menangani skandal ini sudah tahu apa yang harus dilakukan. Intinya, Rindhoko berharap KPK berani mengambil terobo­san dalam menentukan kelan­jutan pengusutan kasus ini.

Bukan sekadar menunggu fak­ta-fakta yang berkembang di persidangan. “Saya rasa KPK su­dah tahu, siapa lagi yang ter­libat dalam kasus ini. Karena itu, saya mendorong KPK agar mengambil tindakan hukum lebih tegas dalam menyikapi per­soalan tersebut,” tandas ang­­gota DPR dari Partai Ha­nura ini.

Yang Terpojok Biasanya Berikan Perlawanan

Alfons Leomau, Purnawirawan Polri

Kombes (Purn) Alfons Leo­mau mengingatkan, KPK perlu mencermati fakta persidangan kasus suap petugas Ditjen Pajak Tommy Hindratno. Jika sudah memiliki bukti-bukti yang cu­kup, dia yakin KPK akan me­ne­tapkan tersangka baru kasus ini.

“Penetapan status tersangka harus didasari dua alat bukti yang cukup. Tidak bisa sem­ba­rangan. Fak­ta-fakta per­si­da­ngan harus dikolaborasi dengan data dan bukti-bukti lainnya,” ujar dia, kemarin.

Menurut Alfons, penyidik KPK memiliki pedoman dalam melaksanakan tugas penyidi­kan tersebut. Dari pengala­man­nya se­lama ini, terdakwa, saksi atau orang yang terpojok ka­sus hu­kum, akan mem­beri­kan per­la­wanan.

“Itu sudah naluri dasar ma­nusia. Karena itu, menjadi ke­wajiban penyidik untuk meng­kombinasikan ke­te­ra­ngan, buk­ti-bukti dan fakta per­sida­ngan de­ngan pasal yang ada,” katanya.

Dari situ, lanjut Alfons, nan­tinya dapat ditentukan, apakah seseorang, atau saksi seperti da­lam kasus ini bisa diting­katkan statusnya menjadi tersangka atau tidak. “Di sinilah kepia­wai­an penyidik diuji,” ucapnya.

Dia menambahkan, naluri mempertahanan diri saksi, se­ringkali mengalahkan nurani­nya. Karenanya, dia mengi­ngat­kan, penegak hukum harus benar-benar mampu menelaah dan mencermati semua rang­kaian yang ada.

Hal ini penting, apalagi ditu­jukan untuk me­ngungkap duga­an keterlibatan pihak lain. Atau lebih dikenal dengan istilah be­king suatu per­kara. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya