Yahmin, 29 tahun, karyawan salah satu TV swasta nasional, suatu malam ditodong komplotan rampok di halte bus di kawasan Cawang, Jakarta. Jam tangan, ponsel dan dompetnya dirampas. Setelah mengambil uang gajinya sebulan dan menyisakan Rp 20 ribu, dompet dan surat-surat yang ada di dalamnya dikembalikan.
Keesokan harinya, kepada teman-teman kantornya Yamin menceritakan kejadian ini, dan memuji komplotan rampok yang dianggapnya "baik" dan memiliki "rasa kemanusiaan yang tinggi" karena masih sisakan uang Rp 20 ribu untuk ongkos pulang.
Cerita ini dituturkan pengamat politik Adhie Massardi kepada wartawan (Sabtu, 8/12) untuk menggambarkan sikap sebagian anggota masyarakat terhadap mundurnya Andi Alifian Mallarangeng dari jabatan Menpora, setelah KPK memastikan keterlibatannya dalam skandal mega korupsi sarana olahraga di bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Menurutnya, mundurnya Andi Mallarangeng dari kabinet setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi, tidak memiliki nilai moral yang layak diapresiasi. Akan punya nilai kalau Andi mundur saat megakorupsi proyek Hambalang mulai ditangani KPK.
"Dia kan doktor. Seharusnya tingkat pendidikannya bisa mencerminkan juga tingkat sensitivitas, dan tingginya standar etika serta moralitas pejabat publik," kata Adhie.
Para pejabat publik memang telah kehilangan etika dan moralitasnya. Tapi sikap sebagian masyarakat yang memuji pengunduran diri Andi Mallarangeng juga cermin jungkir baliknya tata nilai bangsa sehingga bisa menghormati perampok yang mengambil uang hasil kerja sebulan hanya karena menyisakan beberapa ribu rupiah untuk ongkos pulang.
Menurut koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) itu, Andi punya tanggung jawab besar dalam menjadikan sektor olahraga sebagai lahan korupsi gila-gilaan sejak tiga tahun terakhir ini. Akibatnya, prestasi dunia olahraga kita terseok-seok nyaris di semua cabang, karena kehilangan prinsip dasarnya yang menjunjung tinggi kerja keras dan sportivitas.
Sebab itu, aktivis antikorupsi ini menyarankan kepada sejumlah menteri lain yang terindikasi korupsi, termasuk tiga menteri yang diadukan Sekretaris Kabinet Dipo Alam ke KPK, agar segera mundur sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Dia pun berharap kepada Wakil Presiden, Profesor Doktor H Boediono M.Ec, yang pendidikannya lebih tinggi dari Andi Mallarangeng, bersikap lebih negarawan.
"Artinya, bila yang doktor menunggu jadi tersangka korupsi dulu baru mundur, maka profesor doktor seharusnya cukup setelah melihat hasil pemeriksaan BPK dan DPR yang mengindikasikan kesalahannya. Masa harus menunggu jadi tersangka dulu seperti yang hanya bergelar doktor?" demikian Adhie Massardi.
[ald]