Dhana Widyatmika (DW)
Dhana Widyatmika (DW)
Dalam dakwaan mereka terÂgambar upaya pemerasan yang diÂlakukan Salman, Firman dan Dhana Widyatmika (DW) terhaÂdap PT Kornet Trans Utama (KTU). Upaya pemerasan itu, diawali renÂcana pemeriksaan khusus terÂhadap PT KTU deÂngan cara mengÂgunakan data eksternal.
Padahal, menurut dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), data eksternal itu semestinya divaliÂdasi (dicek kebenarannya) terÂleÂbih dahulu oleh Seksi Pengolahan Data Informasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Kemudian, pada Desember 2005, Salman meminta staf akuÂnÂting PT KTU Riana Juliarti daÂtang ke KPP Pancoran, Jakarta. PerÂmintaan itu diikuti anjuran agar Riana membawa dokumen laÂporan keuangan PT KTU tahun 2002.
Saat itu, Salman menyerahkan nomor telepon genggamnya keÂpada Riana dan berpesan agar bos KTU segera menemuinya di StarÂbucks Tebet Indraya Square (TIS), Jakarta Selatan. Singkat ceÂrita, pertemuan akhirnya diÂgeÂlar di tempat yang diminta SalÂman. Tiga orang dari pihak PT KTU, yakni Direktur Utama PT KTU Lee Jung Ho, Direktur PT KTU Rudi Agustianda dan Riana menemui Salman yang diÂdamÂpingi Dhana.
Dalam pertemuan itu, Salman meÂnyebutkan, telaah pajak meÂnunÂjukkan ada perbedaan data eksternal dengan laporan keÂuangan KTU yang digunakan seÂbaÂgai dasar pengajuan Surat PaÂjak Terhutang (SPT). Namun piÂhak KTU menanyakan, kenapa data eksternal yang diajukan seÂbagai rujukan itu tidak divalidasi KPP Pancoran.
Salman dan Dhana beralasan, sebagai petugas pajak, mereka bisa menggunakan data eksternal sebagai dasar penghitungan. Nah, berdasarkan data eksternal itu, keduanya menyatakan bahwa kewajiban pajak PT KTU Rp 3 miliar. Lalu, Salman dan Dhana menawarkan bantuan untuk mengurangi nilai pajak PT KTU. Untuk urusan pengurangan pajak itu, keduanya mengajukan imÂbalan Rp 1 miliar.
Menanggapi hal itu, pihak PT KTU meminta waktu untuk mengÂhitung ulang. Soalnya, berÂdaÂsarÂkan hasil hitungan konsultan paÂjak PT KTU Petrus Bernardus, PPn yang harus dibayar hanya Rp 209,913 juta. Sedangkan PPh Badan dan PPh 21 nihil.
Tak kalah gesit, KPP Pratama Pancoran pun menerbitkan tiga SuÂrat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPBK). Pajak kurang bayar itu meliputi PPh Badan tahun 2002 Rp 1,468 miliar, PPh 21 Rp 89,97 juta, dan PPn Rp 787,54 juta.
PT KTU kemudian memilih banding ke Pengadilan Pajak. Hasilnya, banding tersebut meÂngunÂtungkan KTU. PengadiÂlan Pajak memutuskan, mengaÂbuÂlÂkan permohonan banding PT KTU dan menetapkan pajak PT KTU sesuai penghitungan konÂsultan pajak itu.
Akibatnya, menurut dakwaan JPU, negara mengalami kerugian Rp 1,2 miliar. Kerugian negara itu, terkait dengan penggunaan data eksternal yang tidak diÂvaÂliÂdasi kantor pelayanan pajak.
Dalam dakwaan tersebut, SalÂman dan Firman terancam huÂkuÂman maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara. Kendati begitu, belum tentu JPU menuntut kedua terdakwa setinggi itu dalam siÂdang pembacaan tuntutan nanti.
Firman yang menjabat sebagai supervisor, didakwa melanggar dua pasal sekaligus. Pertama, PaÂsal 2 Ayat 1 Undang Undang TiÂpikor. Pasal ini menyoal tenÂtang upaya terdakwa memÂperÂkaya diri sendiri dan orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Firman juga bisa dikenai denda minimal Rp 200 juta. “Paling banyak Rp 1 miÂliar,†kata jaksa Novel.
Kedua, jaksa mendakwa FirÂman melanggar Pasal 2 Huruf e UU Tipikor yang mengatur tenÂtang tindak pidana pemerasan. PeÂmerasan ini terkait dengan proÂfesi terdakwa sebagai peÂnyeÂlenggara negara atau Pegawai NeÂgeri Sipil (PNS).
Dakwaan terhadap Salman nyaÂris tak berbeda dengan FirÂman. Sebagai anggota tim pemeÂriksa pajak PT KTU, Salman diÂtuduh melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18, Pasal 3 juncto Pasal 18, atau Pasal 12 Huruf e tenÂtang pemerasan juncto Pasal 18 subsidair Pasal 12 huruf g juncto Pasal 18 UU Tipikor. DakÂwaÂan pasal berlapis itu membuat Salman juga terancam hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup, kendati tuntutan JPU nanti belum tentu seperti itu.
REKA ULANG
Kenapa Cuma 1 Miliar Sampai 2 Miliar
Upaya pemerasan terhadap wajib pajak juga tampak dalam surat dakwaan terhadap Dhana Widyatmika (DW). Aksi itu tidak dilakukan DW sendirian, tapi berÂsama rekan satu timnya, Salman Maghfiroh dan diketahui atasÂanÂnya, Firman.
Lantaran permintaan mereka sebesar satu miliar rupiah tidak diÂpenuhi PT Kornet Trans Utama (KTU), Tim Pemeriksa Pajak yang diketuai DW mengusulkan angka pajak terutang yang harus dibayar perusahaan itu.
Selanjutnya, atas surat usulan tim yang dipimpin DW, Kantor PeÂlayanan Pajak (KPP) Pratama Pancoran, Jakarta mengeluarkan Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan rincian; PPN Januari-Desember 2002, jumlah yang masih harus dibayar seÂbeÂsar Rp 787.540.398,00. April 2006, jumÂlah yang harus dibayar Rp 1.468.721.600,00. Kemudian, untuk PPh Badan Tahun Pajak 2002, jumlah yang masih harus diÂbayar sebesar Rp 1.468.721.600,00. PPh 21 tahun Pajak 2002, jumlah yang harus dibayar Rp 89.970.888,00.
Atas ketetapan KPP Pancoran itu, PT KTU melalui jasa konÂsulÂtan pajak Petrus Bernadus mengÂhitung kembali tiga SKPKB itu dan diperoleh jumlah yang harus dibayarkan adalah PPn sebesar Rp 209.913.020,00. Sedangkan untuk PPh Badan dan PPh 21 nihil. Selanjutnya PT KTU meÂngajukan banding.
Untuk mengajukan banding, sesuai ketentuan Pasal 36 Ayat 4 Undang Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, PT KTU diwajibkan membayar 50 persen dari jumlah pajak terÂutang sebagaimana SKPKB. RinÂciannya; 50 persen dari PPn-JumÂlah Pajak Terutang Rp 787.540.389, yakni Rp 397.770.199,00.
KemuÂdian, 50 persen dari PPh Badan-Jumlah Pajak TerÂhutang Rp 1.468.721.600, yakni Rp 734.360.800,00. SeÂlanÂjutÂnya, 50 persen dari PPh Pasal 21-Jumlah Pajak terutang Rp 89.970.888,00, yakni Rp 44.985.444. Totalnya Rp 1.177.116.443.
Singkat cerita, banding PT KTU dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sehingga, jumlah yang harus dibayarkan PT KTU adalah, untuk PPh 21 nihil, untuk PPh Badan Rp 1.274.460, untuk PPn Rp 209.913.020.
Menurut dakwaan jaksa peÂnunÂtut umum (JPU), akibat ulah DhaÂna dkk menggunakan data eksÂterÂnal, negara yang seharusnya memÂperoleh pendapatan dari sekÂtor pajak yakni dari PPn, PPh Badan dan PPh Pasal 21 khÂuÂsusÂnya dari PT KTU, justru harus memÂbayar kompensasi Rp 920.843.519 kepada PT KTU. Sehingga, terjadi kerugian negara sebesar Rp 967.116.443, ditambah bunga sebesar Rp 241.677.040.
Secara keseluruhan, pada dakÂwaan kedua, Dhana dkk meruÂgiÂkan keuangan negara sebesar Rp 1.208.783.483, atau setidak-tidaknya sebesar Rp 241.677.047. \Setelah pembacaan dakwaan, KeÂtua Majelis Hakim Herdy AguÂstin bertanya kepada DW, apaÂkah mengerti dakwaan yang dibacaÂkan JPU. “Saya cukup meÂngerti yang mulia,†jawab DW.
Hukuman Maksimal Untuk Efek Jera
Boyamin Saiman, Koordinator LSM MAKI
Koordinator LSM MaÂsyaÂrakat Anti Korupsi IndoÂnesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan, persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Dhana Widyatmika atau DW Cs hendaknya diselesaikan secara cermat. Dia mengharapkan, para pihak yang terbukti terlibat, divonis hukuman maksimal.
Dia menilai, peran jaksa daÂlam menyusun dakwaan pada atasan dan kolega Dhana sudah lumayan. Setidaknya, menunÂjukÂkan ada upaya untuk memÂberikan syok terapi kepada peÂgawai pajak lainnya. Boyamin pun berharap, jaksa mampu menghadirkan saksi-saksi seÂcara optimal.
Dengan begitu, usaha para terÂdakwa untuk lolos dari jerat huÂkum bisa diminimalisir. “Atau setidaknya diantisipasi sejak dini,†katanya.
Dakwaan yang mengancam terdakwa dengan hukuman maksimal tersebut, kata dia, idealnya ditindaklanjuti dengan langkah proporsional. Soalnya, dari situ akan terlihat, apa, siapa dan bagaimana peran para terÂdakwa dalam perkara tersebut.
“Langkah jaksa hendaknya disikapi dengan langkah konÂkret hakim. Kecermatan hakim dalam menimbang materi perÂkara, diharapkan mampu mengÂÂhasilkan putusan yang tepat,†ujarnya.
Dia sangat berharap, hakim tak menyia-nyiakan substansi dakwaan dan tuntutan jaksa. “Para hakim tinggal mendorong jaksa dan pengacara untuk menghadirkan saksi yang memÂberatkan dan meringankan terÂdakwa. Ini penting bagi keÂlanÂcaÂran proses persidangan,†ucapÂnya. Dengan begitu, sÂeÂmua tuduhan jaksa yang meÂnuntut terdakwa dengan huÂkuman berat nantinya dapat dibuktikan.
Boyamin menambahkan, rangÂkaian persidangan kasus ini hendaknya dimanfaatkan sebaÂgai ajang menggali fakta. Apa yang masih tersembunyi dapat digali dan dapat dicarikan alat buktinya. “Akurasi fakta, nanÂtinya mampu berdampak sigÂniÂfikan pada munculnya efek jera di jajaran pegawai pajak,†haÂrapnya.
Tidak Sebatas Vonis Hakim
Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR
Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul menyatakan, persoalan pokok dalam kasus korupsi pajak dengan terdakwa Dhana Widyatmika dkk, tidak sebatas pada vonis. Melainkan, mampu menyeret keterlibataan pihak lainnya.
“Rangkaian proses peninÂdaÂkan hukum itu harus signifiÂkan. Yang paling utama, baÂgaiÂmana mengungkap keterÂliÂbaÂtan pihak lain agar kinerja jaÂjaÂran pajak menÂjadi lebih proÂfesional,†ujarnya.
Hakim yang menangani kaÂsus ini, tambahnya, menjadi paÂlang pintu dalam menjatuhkan sanksi serta memproses teÂmuÂan-temuan dalam kasus terÂseÂbut. Dari temuan-temuan baru itu, kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat akan bisa digali.
Jadi, semestinya, hakim juga mengemban tugas menggali fakta-fakta atas kasus ini. BuÂkan malah membatasi atau meÂlokalisir persoalan. Persoalan bagaimana proses pengemÂbaÂnganÂnya, kata dia, nanti bisa dikoordinasikan dengan lemÂbaga penegak hukum lain, seÂperti keÂjaksaan atau kepolisian. “Itu bisa ditindaklanjuti dengan koordinasi dengan penyidik ataupun peÂnuntut kasus ini,†ucapnya.
Dengan kata lain, ia berharap, daÂlam persidangan muncul teÂmuan-temuan baru yang langÂsung atau tidak langsung memÂpunyai kaitan dengan pokok perkara.
Anggota Komisi III DPR ini juga mengingatkan, persoalan huÂkum yang melilit pegawai pajak hendaknya bisa dihentiÂkan. Pegawai pajak yang nota bene memiliki penghasilan beÂsar, idealnya telah mendapat beÂrÂagam pelajaran dari kasus-kaÂsus mafia pajak yang ada. “KaÂsus-kasus yang ada hendaknya jadi masukan. Bukan malah sebaliknya,†ucap dia.
Untuk meningkatkan intenÂsitas pengawasan, Ruhut meÂminta Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan lebih cermat dalam menindak dugaan penyelewengan pada Ditjen PaÂjak. “Jika terindikasi meÂlaÂkuÂkan tindak pidana, hendaknya seÂgera koordinasikan dengan peÂnegak hukum. Dengan beÂgitu, keÂmungÂkinan adanya peÂnyeÂleÂweÂngan yang lebih besar bisa diÂmiÂnimalisir sejak dini.†[Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30