Wa Ode Nurhayati (WON)
Wa Ode Nurhayati (WON)
Jaksa Kadek Wiradana meÂngeÂmukakan, tuduhan bahwa WON melakukan korupsi cukup jelas. DuÂgaan korupsi ini terkait dengan tinÂdakan penyuapan saat pemÂbaÂhaÂsan anggaran dana penyesuaian infrastruktut daerah (DPID).
“Menuntut supaya majelis haÂkim menyatakan terdakwa Wa Ode Nurhayati terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah meÂlaÂkuÂkan tindakan pidana koÂrupsi,†katanya saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor JaÂkarta, kemarin.
Akibatnya, politisi PAN terseÂbut dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider tiga bulan kurungan. Dalam berÂkas tuntutan, jaksa menyatakan, WON terbukti menerima uang suap secara bertahap. PeneriÂmaÂan uang dilakukan melalui stafÂnya, Sefa Yolanda sebesar Rp 6,25 miliar.
Jaksa juga menjelaskan, uang itu diterima dari Fahd A Rafiq, Paul Nelwan dan Abraham MamÂÂbu. Uang diduga untuk peÂnguÂruÂsan alokasi DPID. Uang itu diÂtemÂpatkan di rekening terÂdakwa di Bank Mandiri cabang DPR. “SeÂlain menempatkan Rp 6,25 miÂliar, terdakwa pernah meÂnemÂpatÂkan harta kekayaan secara berÂulang Rp 44,345 miÂliar,†jelasnya.
WON, sebut jaksa, mengaÂlihÂkan uang dalam bentuk deposito berjangka, membayar fasilitas bunga utang, termasuk memÂbaÂyar angsuran rumah. Tindakan ini dikategorikan jaksa memenuhi unsur yang diatur Pasal 12 huruf a Undang Undang Nomor 31 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tenÂtang Tindak Pidana Korupsi.
“Terdakwa menerima uang itu untuk kepentingannya selaku anggota DPR, karena telah meÂngurus Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah dan KaÂbupaten Minahasa sebagai daerah penerima alokasi DPID.â€
Sementara pada tuntutan keÂdua yang terkait kasus pencucian uang, terdakwa dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subÂÂsider tiga bulan penjara. TerÂdakwa disebut jaksa melanggar Pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana PenÂcucian Uang.
Tuntutan hukuman ini dilatari tindakan terdakwa menempatkan uang melalui setoran tunai dan transfer ke rekening Mandiri miÂliknya, mengalihkan uang serta membelanjakan dan mentransfer uang. “Patut diduga uang itu diperoleh terkait dari hasil korÂupsi. Karena terdakwa tidak meÂmiliki penghasilan lain selain anggota DPR,†beber Kadek.
Dalam pertimbangannya, jaksa meÂnilai, WON bisa diberi keriÂngaÂnan lantaran telah mengemÂbalikan uang pada Haris SurahÂman. PerÂtimbangan meringankan lainÂnya adalah, terdakwa belum pernah dihukum serta memÂpuÂnyai tangÂgungan keluarga. NaÂmun pada tunÂtutan ini, jaksa juga punya pertimbangan yang diÂperÂgunakan untuk memperÂberat tuntutan.
Pertimbangan yang memÂberatÂkan meliputi, anggapan bahwa perbuatan terdakwa telah mÂeÂruÂsak sistem perencanaan anggaran di DPR. Jaksa juga menilai, hal yang memberatkan adalah, terÂdakwa sejauh ini masih meÂnunÂjukkan rasa tidak bersalah dan sering berbelit-belit dalam memÂberikan keterangan.
Menanggapi tuntutan hukuÂman penÂjara 14 tahun itu, kuasa huÂkum terdakwa, Wa Ode Nur ZaiÂnab geregetan. Usai sidang, dia menyatakan, kliennya tidak meÂlakukan korupsi terkait pemÂbahasan alokasi anggaran dana penyesuaian infrastruktur daeÂrah (DPID).
Dia bilang, jaksa tidak bisa memÂbuktikan uang yang diÂsimpan di rekening Mandiri terÂkait pencucian uang karena beÂrÂasal dari tindak pidana koÂrupÂsi. Soalnya, jaksa sama sekali tiÂdak pernah memeriksa asal usul harta kliennya.
Semestinya, lanjut dia, jaksa menguraikan apa-apa bukti yang bisa dijadikan dasar untuk meÂneÂrapkan keterkaitan pasal pidana korupsi itu dengan pasal penÂcuÂcian uang. “Hakim belum pernah memerintahkan terdakwa memÂbukÂtikan asal-usul harta. BagaiÂÂmana mungkin logika penuntut umum mengkualifikasi tindak pidana pencucian uang? Karena pentingnya tindak pidana asal, maka harus dibuktikan lebih dulu oleh jaksa,†belanya.
Zainab pun menyayangkan siÂkap jaksa yang membacakan dua tuntutan sekaligus. “Tidak peÂrÂnah ada hukum acara begitu, kaÂlau mau bikin, 14 tahun akÂuÂmuÂlasi,†tegasnya.
REKA ULANG
Sejak Awal Disangka Cuci Uang Juga
Penetapan status tersangka kaÂsus tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Wa Ode Nurhayati (WON) didasari teÂmuÂan transaksi keuangan menÂcuÂriÂgaÂkan. Data itu diperoleh KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Dari info yang disampaikan peÂnyidik, ada transaksi menÂcuÂriÂgakan Rp 10 miliar lebih, yang diÂduga hasil dari TPPU dari peÂngembangan kasus suap DPID,†kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo pada awal kasus ini bergulir.
Untuk membuktikan sangÂkaÂanÂÂnya, KPK memeriksa saksi Haris Surahman pada Jumat (27/4). “Haris Surahman diperiksa seÂbagai saksi,†kata Kabag PemÂberitaan KPK Priharsa Nugraha, Jumat (27/4). Haris pernah diÂperiksa KPK pada 10 April.
WON disangka menerima suap Rp 6,9 miliar. Uang itu dari terÂsangÂka Fadh A Rafiq, yang dibÂeÂrikan Haris kepada Wa Ode meÂlalui staf Wa Ode, Sefa Yolanda, serta seorang lagi bernama Syarif Achmad. Uang tersebut dikirim ke rekening Bank Mandiri seÂbaÂnyak sembilan kali transfer pada 13 Oktober sampai 1 NoÂvemÂber 2010.
Uang ditransfer sekali sebesar Rp 1,5 miliar, dua kali sebanyak Rp 1 miliar, empat kali transfer Rp 500 juta, dan dua kali sebesar Rp 250 juta. Pemberian uang terÂsebut dimaksudkan agar Fadh dan Haris mendapat proyek di Aceh Besar, Pidie Jaya, dan BeÂner Meriah, serta Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara.
Deal yang terbangun, Wa Ode akan memperjuangkan daerah itu agar masing-masing mendapÂatÂkan alokasi anggaran DPID seÂbeÂsar Rp 40 miliar.
Namun belaÂkaÂngan, pada peÂnetapan daerah peÂnerima DPID, hanya dua kaÂbuÂpaten yang diÂakomodasi, Aceh Besar Rp 19,8 miÂliar dan Bener Meriah Rp 24,75 miliar. Fadh dan Haris kemudian menagih Wa Ode agar mengemÂbalikan uang itu.
Johan mengatakan, selain dituÂduh korupsi, Wa Ode juga dijerat Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Dalam kaitan tersebut, peÂnyidik menduga WON telah meÂnempatkan, mentransfer, meÂngalihkan, membelanjakan, memÂÂbayarkan, menghibahkan, meÂniÂtipkan, membawa ke luar neÂgeri, mengubah bentuk, menuÂkarkan deÂngan mata uang atau surat berÂharga harta yang diduga hasil korupsi. Penyidik juga menÂduga WON menyembunyikan atau meÂnyamarkan asal-usul harta keÂkaÂyaannya yang berasal dari korupsi.
KPK juga membekukan dana Rp 10 miliar milik bekas anggota Banggar DPR itu. Pembekuan itu dijalankan lantaran ada sangkaan, uang tersebut hasil korupsi yang kemudian berbau tindak pidana pencucian uang.
“Bukan hanya ditemukan, tapi itu sudah dibekukan. Sudah di bawah kendali KPK,†kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat awal kasus ini bergulir.
Semula, KPK menemukan keÂjanggalan transaksi keuangan di rekening tersangka, yakni sekitar Rp 10 miliar. Menurut Kepala Biro Humas KPK Johan Budi SapÂto Prabowo, uang itu diduga terkait kasus suap DPID.
Berdasarkan rekening tak waÂjar itulah, KPK menetapkan Wa Ode sebagai tersangka kasus TPPU. Apalagi, dalam peÂmerÂikÂsaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK per tanggal 30 November 2009, total harta kekayaan bekas anggota Badan Anggaran DPR itu hanya Rp 5,542 miliar.
Dalam kasus ini KPK juga teÂlah menetapkan pengusaha seÂkaÂligus Ketua Gema MKGR, Fahd A Rafiq sebagai tersangka. Putra pedangdut A Rafiq itu disangka sebagai orang yang memberikan suap. Selain itu, KPK juga telah mencekal Haris Surachman dan staf WON bernama Sefa Yolanda.
Model Tuntutan Yang Baru Untuk Terdakwa
M Nurdin, Anggota Komisi III DPR
Politisi PDIP M Nurdin meÂnyatakan, substansi perkara koÂrupsi dan pencucian uang oleh terdakwa Wa Ode NurÂhaÂyati menÂjadi kewenangan penegak hÂukum. Karena itu, dia meminta agar kasus ini diselesaikan seÂcaÂra proporsional dan profesional.
Dia meyakini, tuntutan hukuÂman yang begitu tinggi pasti diÂlandasi aturan hukum yang ada. Di lain hal, terdakwa henÂdakÂnya juga memiliki bukti-bukti penÂdukung dalam mematahkan arÂgumen jaksa. “Para pihak pasÂti punya bukti-bukti,†katanya.
Menurut dia, tuntutan jaksa terÂkait kasus korupsi empat taÂhun penjara serta kasus penÂcuÂcian uang 10 tahun penjara, meÂrupakan hal yang baru. Menurut pensiunan jenderal bintang dua kepolisian ini, model penunÂtuÂtan yang menyertakan kasus pencucian uang dalam kasus korupsi baru terjadi kali ini. “Kalau saya tidak salah ingat, ini hal baru,†katanya.
Karena itu, dia merasa wajar bila tim kuasa hukum terdakwa mempertanyakan hal tersebut. Intinya, dia meminta, jaksa peÂnuntut umum harus bisa meÂyaÂkinÂkan hakim bahwa tuntutan terÂsebut sudah tepat.
“Tentunya dengan alat bukti yang cukup dan saksi-saksi yang mÂenguatÂkan bahwa telah terjadi peÂlangÂgaran hukum oleh terdakwa,†ujarnya. Sehingga pada akhirnya, maÂjelis hakim bisa yakin akan keÂsahihan tunÂtutan jaksa maupun pembelaan terdakwa.
Jadi, lanjut dia, bukti-bukti dan dalih hukum itulah yang idealnya diuji hakim sebelum memutus perkara. Apakah nanÂtinya sejalan dengan tuntutan jaksa atau mempertimbangkan pembelaan terdakwa, hal itu menjadi kewenangan hakim kaÂsus ini. “Kita berharap perÂsiÂdangan kasus ini berjalan secara proporsional dan profesional,†ucapnya.
Minta Wa Ode Bongkar Semua Yang Terlibat
Anhar Nasution, Koordinator LBH Fakta
Bekas Anggota Komisi III DPR Anhar Nasution prihatin dengan ancaman hukuman pada Wa Ode Nurhayati. Dia pun meÂminta, kubu terdakwa optimal melakukan pembelaan.
“Buktikan bahwa tuntutan jaksa itu tidak benar. Sampaikan semua bukti-bukti yang ada unÂtuk menghadapi hal tersebut,†katanya.
Dia menilai, kasus dugaan koÂrupsi dan pencucian uang ini saÂngat konspiratif. Nuansa poÂlitis di balik kasus ini pun begitu kental. Karena itu, jika tidak ingin dijadikan korban perÂmaiÂnan para elit yang nota bene adaÂlah koleganya di DPR, terÂdakwa harus mampu memÂbukÂtiÂkan semua fakta yang ada. Dia mengatakan, untuk keperluan terÂsebut sangat diperlukan keÂcerÂmatan, keuletan dan keÂsabaran.
Apabila mampu mematahkan argumen jaksa, menurut Anhar, terdakwa bisa dianggap memÂbantu penegak hukum memÂbonÂgkÂar konspirasi, korupsi dan sejenisnya di lingkungan elit poÂlitisi DPR. Hal itu akan menÂjadi pertimbangan dan masukan hakim dalam memutus perkara. “Tinggal bagaimana langkah terdakwa membuktikan bahwa dia tidak bersalah,†ujarnya.
Upaya itu, kata Anhar, akan dinilai bukan oleh hakim yang mengadili perkara ini. MelainÂkan oleh seluruh masyarakat yang menginginkan kasus koÂrupsi di lingkungan DPR tuntas secara maksimal.
Dia menggarisbawahi, perÂsoalan ini sangat rumit. Karena, nilai dia, kasus hukum ini saÂngat berkaitan dengan perÂsoaÂlan elit politik. Namun deÂmiÂkian, dia tetap mengharap huÂkum menempati garda terÂdÂeÂpan. “Siapa pun yang bersalah harus ditindak tanpa pandang bulu,†tegasnya.
Digarisbawahi, kasus ini henÂdaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak dalam meÂngambil maupun memutuskan persoalan. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52