Berita

Wa Ode Nurhayati (WON)

X-Files

Rusak Citra DPR, Wa Ode Dituntut 14 Tahun Penjara

Didakwa Korupsi Dan Cuci Uang
RABU, 03 OKTOBER 2012 | 09:59 WIB

Jaksa bersikukuh, terdakwa Wa Ode Nurhayati (WON) terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Akibatnya, jaksa menuntut terdakwa hukuman 14 tahun penjara.

Jaksa Kadek Wiradana me­nge­mukakan, tuduhan bahwa WON melakukan korupsi cukup jelas. Du­gaan korupsi ini terkait dengan tin­dakan penyuapan saat pem­ba­ha­san anggaran dana penyesuaian infrastruktut daerah (DPID).

“Menuntut supaya majelis ha­kim menyatakan terdakwa Wa Ode Nurhayati terbukti secara  sah dan meyakinkan bersalah me­la­ku­kan tindakan pidana ko­rupsi,” katanya saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Ja­karta, kemarin.

Akibatnya, politisi PAN terse­but dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider tiga bulan kurungan. Dalam ber­kas tuntutan, jaksa menyatakan, WON terbukti menerima uang suap secara bertahap. Peneri­ma­an uang dilakukan melalui staf­nya, Sefa Yolanda sebesar Rp 6,25 miliar.

Jaksa juga menjelaskan, uang itu diterima dari Fahd A Rafiq, Paul Nelwan dan Abraham Mam­­bu. Uang diduga untuk pe­ngu­ru­san alokasi DPID. Uang itu di­tem­patkan  di rekening ter­dakwa di Bank Mandiri cabang DPR. “Se­lain menempatkan Rp 6,25 mi­liar, terdakwa pernah me­nem­pat­kan harta kekayaan secara ber­ulang Rp 44,345 mi­liar,” jelasnya.

WON, sebut jaksa, menga­lih­kan uang dalam bentuk deposito berjangka, membayar fasilitas bunga utang, termasuk mem­ba­yar angsuran rumah. Tindakan ini dikategorikan jaksa memenuhi unsur yang diatur Pasal 12 huruf a Undang Undang Nomor 31 jo UU Nomor 20 tahun 2001 ten­tang Tindak Pidana Korupsi.

“Terdakwa menerima uang itu untuk kepentingannya selaku anggota DPR, karena telah me­ngurus Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah dan Ka­bupaten Minahasa sebagai daerah penerima alokasi DPID.”

Sementara pada tuntutan ke­dua yang terkait kasus pencucian uang, terdakwa dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta sub­­sider tiga bulan penjara. Ter­dakwa disebut jaksa melanggar Pasal  3 UU nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pen­cucian Uang.

Tuntutan hukuman ini dilatari tindakan terdakwa menempatkan uang melalui setoran tunai dan transfer ke rekening Mandiri mi­liknya, mengalihkan uang serta  membelanjakan dan mentransfer uang. “Patut diduga uang itu diperoleh terkait dari hasil kor­upsi. Karena terdakwa tidak me­miliki penghasilan lain selain anggota DPR,” beber Kadek.

Dalam pertimbangannya, jaksa me­nilai, WON bisa diberi keri­nga­nan lantaran telah mengem­balikan uang pada Haris Surah­man. Per­timbangan meringankan lain­nya adalah, terdakwa belum pernah dihukum serta mem­pu­nyai tang­gungan keluarga. Na­mun pada tun­tutan ini, jaksa juga punya pertimbangan yang di­per­gunakan untuk memper­berat tuntutan.

Pertimbangan yang mem­berat­kan meliputi, anggapan bahwa perbuatan terdakwa telah m­e­ru­sak sistem perencanaan anggaran di DPR. Jaksa juga menilai, hal yang memberatkan adalah, ter­dakwa sejauh ini masih me­nun­jukkan rasa tidak bersalah dan sering berbelit-belit dalam mem­berikan keterangan.

Menanggapi tuntutan huku­man pen­jara 14 tahun itu, kuasa hu­kum terdakwa, Wa Ode Nur Zai­nab geregetan. Usai sidang, dia menyatakan, kliennya tidak me­lakukan korupsi terkait pem­bahasan alokasi anggaran dana penyesuaian infrastruktur dae­rah (DPID).

Dia bilang, jaksa tidak bisa mem­buktikan uang yang di­simpan di rekening Mandiri ter­kait pencucian uang karena be­r­asal dari tindak pidana ko­rup­si. Soalnya, jaksa sama sekali ti­dak pernah memeriksa asal usul harta kliennya.

Semestinya, lanjut dia, jaksa menguraikan apa-apa bukti yang bisa dijadikan dasar untuk me­ne­rapkan keterkaitan pasal pidana korupsi itu dengan pasal pen­cu­cian uang. “Hakim belum pernah memerintahkan terdakwa mem­buk­tikan asal-usul harta. Bagai­­mana mungkin logika penuntut umum mengkualifikasi tindak pidana pencucian uang? Karena pentingnya tindak pidana asal, maka harus dibuktikan lebih dulu oleh jaksa,” belanya.

Zainab pun menyayangkan si­kap jaksa yang membacakan dua tuntutan sekaligus. “Tidak pe­r­nah ada hukum acara begitu, ka­lau mau bikin, 14 tahun ak­u­mu­lasi,” tegasnya.

REKA ULANG

Sejak Awal Disangka Cuci Uang Juga

Penetapan status tersangka ka­sus tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Wa Ode Nurhayati (WON) didasari te­mu­an transaksi keuangan men­cu­ri­ga­kan. Data itu diperoleh KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Dari info yang disampaikan pe­nyidik, ada transaksi men­cu­ri­gakan Rp 10 miliar lebih, yang di­duga hasil dari TPPU dari pe­ngembangan kasus suap DPID,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo pada awal kasus ini bergulir.

Untuk membuktikan sang­ka­an­­nya, KPK memeriksa saksi Haris Surahman pada Jumat (27/4).  “Haris Surahman diperiksa se­bagai saksi,” kata Kabag Pem­beritaan KPK Priharsa Nugraha, Jumat (27/4). Haris pernah di­periksa KPK pada 10 April.

WON disangka menerima suap Rp 6,9 miliar. Uang itu dari ter­sang­ka Fadh A Rafiq, yang dib­e­rikan Haris kepada Wa Ode me­lalui staf Wa Ode, Sefa Yolanda, serta seorang lagi bernama Syarif Achmad. Uang tersebut dikirim ke rekening Bank Mandiri se­ba­nyak sembilan kali transfer pada 13 Oktober sampai 1 No­vem­ber 2010.

Uang ditransfer sekali sebesar Rp 1,5 miliar, dua kali sebanyak Rp 1 miliar, empat kali transfer Rp 500 juta, dan dua kali sebesar Rp 250 juta. Pemberian uang ter­sebut dimaksudkan agar Fadh dan Haris mendapat proyek di Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Be­ner Meriah, serta Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara.

Deal yang terbangun, Wa Ode akan memperjuangkan daerah itu agar masing-masing mendap­at­kan alokasi anggaran DPID se­be­sar Rp 40 miliar.

Namun bela­ka­ngan, pada pe­netapan daerah pe­nerima DPID, hanya dua ka­bu­paten yang di­akomodasi, Aceh Besar Rp 19,8 mi­liar dan Bener Meriah Rp 24,75 miliar. Fadh dan Haris kemudian menagih Wa Ode agar mengem­balikan uang itu.

Johan mengatakan, selain ditu­duh korupsi, Wa Ode juga dijerat Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.  Dalam kaitan tersebut, pe­nyidik menduga WON telah me­nempatkan, mentransfer, me­ngalihkan, membelanjakan, mem­­bayarkan, menghibahkan, me­ni­tipkan, membawa ke luar ne­geri, mengubah bentuk, menu­karkan de­ngan mata uang atau surat ber­harga harta yang diduga hasil korupsi. Penyidik juga men­duga WON menyembunyikan atau me­nyamarkan asal-usul harta ke­ka­yaannya yang berasal dari korupsi.

KPK juga membekukan dana Rp 10 miliar milik bekas anggota Banggar DPR itu. Pembekuan itu dijalankan lantaran ada sangkaan, uang tersebut hasil korupsi yang kemudian berbau tindak pidana pencucian uang.

“Bukan hanya ditemukan, tapi itu sudah dibekukan. Sudah di bawah kendali KPK,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat awal kasus ini bergulir.  

Semula, KPK menemukan ke­janggalan transaksi keuangan di rekening tersangka, yakni sekitar Rp 10 miliar. Menurut Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sap­to Prabowo, uang itu diduga terkait kasus suap DPID.

Berdasarkan rekening tak wa­jar itulah, KPK menetapkan Wa Ode sebagai tersangka kasus TPPU. Apalagi, dalam pe­mer­ik­saan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK per tanggal 30 November 2009, total harta kekayaan bekas anggota Badan Anggaran DPR itu hanya Rp 5,542 miliar.

Dalam kasus ini KPK juga te­lah menetapkan pengusaha se­ka­ligus Ketua Gema MKGR, Fahd A Rafiq sebagai tersangka. Putra pedangdut A Rafiq itu disangka sebagai orang  yang memberikan suap. Selain itu, KPK juga telah mencekal Haris Surachman dan staf WON bernama Sefa Yolanda.

Model Tuntutan Yang Baru Untuk Terdakwa

M Nurdin, Anggota Komisi III DPR

Politisi PDIP M Nurdin me­nyatakan, substansi perkara ko­rupsi dan pencucian uang oleh terdakwa Wa Ode Nur­ha­yati men­jadi kewenangan penegak h­ukum. Karena itu, dia meminta agar kasus ini diselesaikan se­ca­ra proporsional dan profesional.

Dia meyakini, tuntutan huku­man yang begitu tinggi pasti di­landasi aturan hukum yang ada. Di lain hal, terdakwa hen­dak­nya juga memiliki bukti-bukti pen­dukung dalam mematahkan ar­gumen jaksa. “Para pihak pas­ti punya bukti-bukti,” katanya.

Menurut dia, tuntutan jaksa ter­kait kasus korupsi empat ta­hun penjara serta kasus pen­cu­cian uang 10 tahun penjara, me­rupakan hal yang baru. Menurut pensiunan jenderal bintang dua kepolisian ini, model penun­tu­tan yang menyertakan kasus pencucian uang dalam kasus korupsi baru terjadi kali ini. “Kalau saya tidak salah ingat, ini hal baru,” katanya.

Karena itu, dia merasa wajar bila tim kuasa hukum terdakwa mempertanyakan hal tersebut. Intinya, dia meminta, jaksa pe­nuntut umum harus bisa me­ya­kin­kan hakim bahwa tuntutan ter­sebut sudah tepat.

“Tentunya dengan alat bukti yang cukup dan saksi-saksi yang m­enguat­kan bahwa telah terjadi pe­lang­garan hukum oleh terdakwa,” ujarnya. Sehingga pada akhirnya, ma­jelis hakim bisa yakin akan ke­sahihan tun­tutan jaksa maupun pembelaan terdakwa.

Jadi, lanjut dia, bukti-bukti dan dalih hukum itulah yang idealnya diuji hakim sebelum memutus perkara. Apakah nan­tinya sejalan dengan tuntutan jaksa atau mempertimbangkan pembelaan terdakwa, hal itu menjadi kewenangan hakim ka­sus ini. “Kita berharap per­si­dangan kasus ini berjalan secara proporsional dan profesional,” ucapnya.

Minta Wa Ode Bongkar Semua Yang Terlibat

Anhar Nasution, Koordinator LBH Fakta

Bekas Anggota Komisi III DPR Anhar Nasution prihatin dengan ancaman hukuman pada Wa Ode Nurhayati. Dia pun me­minta, kubu terdakwa optimal melakukan pembelaan.

“Buktikan bahwa tuntutan jaksa itu tidak benar. Sampaikan semua bukti-bukti yang ada un­tuk menghadapi hal tersebut,” katanya.

Dia menilai, kasus dugaan ko­rupsi dan pencucian uang ini sa­ngat konspiratif. Nuansa po­litis di balik kasus ini pun begitu kental. Karena itu, jika tidak ingin dijadikan korban per­mai­nan para elit yang nota bene ada­lah koleganya di DPR, ter­dakwa harus mampu mem­buk­ti­kan semua fakta yang ada. Dia mengatakan, untuk keperluan ter­sebut sangat diperlukan ke­cer­matan, keuletan dan ke­sabaran.

Apabila mampu mematahkan argumen jaksa, menurut Anhar, terdakwa bisa dianggap mem­bantu penegak hukum mem­bon­gk­ar konspirasi, korupsi dan sejenisnya di lingkungan elit po­litisi DPR. Hal itu akan men­jadi pertimbangan dan masukan hakim dalam memutus perkara. “Tinggal bagaimana langkah terdakwa membuktikan bahwa dia tidak bersalah,” ujarnya.

Upaya itu, kata Anhar, akan dinilai bukan oleh hakim yang mengadili perkara ini. Melain­kan oleh seluruh masyarakat yang menginginkan kasus ko­rupsi di lingkungan DPR tuntas secara maksimal.

Dia menggarisbawahi, per­soalan ini sangat rumit. Karena, nilai dia, kasus hukum ini sa­ngat berkaitan dengan per­soa­lan elit politik. Namun de­mi­kian, dia tetap mengharap hu­kum menempati garda ter­d­e­pan. “Siapa pun yang bersalah harus ditindak tanpa pandang bulu,” tegasnya.

Digarisbawahi, kasus ini hen­daknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak dalam me­ngambil maupun memutuskan persoalan. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya