Berita

Rosida Endang

X-Files

Adik Siti Fadilah Supari Diancam Jadi Tersangka

Soal Cek Rp 1,2 Miliar Dalam Kasus Alkes
RABU, 26 SEPTEMBER 2012 | 09:57 WIB

Kasus pengadaan alat kesehatan untuk Pusat Penanggulangan Krisis Depkes tahun anggaran 2007, kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin. Adik bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Rosida Endang menjadi saksi perkara korupsi yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp 22 miliar ini.   

Tapi, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (JPU KPK) malah meminta majelis hakim me­netapkan bah­wa Rosida memberikan ketera­ngan palsu, sehingga dapat di­ja­dikan tersangka. Soalnya, JPU Kiki A Yani dkk menilai, kesak­sian Rosida tidak konsisten.

Majelis hakim yang diketuai Pangeran Napitupulu pun mem­pertimbangkan permintaan JPU tersebut. “Saksi, beri kesaksian yang benar. Penuntut umum su­dah memohon, dan kami me­m­per­timbangkannya,” tegas Pange­ran. “Siap yang mulia,” balas Rosida.

Majelis hakim pun melihat, Rosida yang hadir sebagai saksi bagi terdakwa bekas Kepala Pu­sat Penanggulangan Krisis De­partemen Kesehatan Rustam Sya­rifuddin Pakaya, kete­ra­ngannya memang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan apa yang telah diberkas dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Menurut JPU Yani, dugaan ke­saksian palsu itu mencuat lewat pernyataan Rosida yang berubah-ubah mengenai pemberian cek perjalanan dari Siti kepada adik­nya itu. Dalam BAP, Rosida me­ngaku menerima cek perjalanan Rp 1,2 miliar dalam amplop.   Am­plop itu kemudian diserahkan Rosida ke tangan Jeffry Nedi, manajer investasi. Namun, saat hakim menanyakan isi amplop, Rosida mengaku tidak tahu.

Dalam BAP, Rosida me­nye­but­kan, pernah menerima amplop putih dari Siti di kediaman dinas Menteri Kesehatan di Jalan Den­pasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Tapi, saat dimintai kesaksiannya kemarin, Rosida bersikukuh tidak me­ngetahui isi amplop itu. Ala­san­nya, dia sama sekali tidak mem­buka amplop tersebut.

Padahal, merujuk pada BAP Ro­sida, cecar anggota majelis ha­kim I Made Hendra,  waktu pe­nyerahan amplop, Siti menya­ta­kan secara jelas bahwa isinya ada­lah travellers cheque. “Ini tra­veller’s cheque sejumlah Rp 1,2 miliar,” kata Made menirukan keterangan Rosida di dalam BAP.

Penyerahan amplop berisi cek perjalanan itu, sambung Hendra, di­ikuti bukti tandatangan pe­nye­ra­han cek perjalanan. Tan­da­ta­ngan itu pun diakui Rosida adalah tanda tangannya. Tapi, Rosida tetap ngotot. “Saya nggak pernah bi­lang ada TC,” ujarnya.

Hakim kemudian menun­juk­kan tanda tangan Rosida dalam BAP yang memaparkan perihal amplop berisi TC Rp 1,2 miliar itu. Lagi-lagi, Rosida berkelit. Dia mengaku kepepet, sehingga me­nandatangani BAP itu. “Mungkin saya lagi kacau,” ucapnya.

Jawaban Rosida itu, bikin ha­kim Hendra geregetan. “Bila se­dang kacau, idealnya tidak me­neken paraf atau tandatangan. Apa­lagi, tandatangan itu terkait do­kumen penting,” tandas Hendra.  

Mendengar ucapan hakim itu, Rosida mohon dimaklumi. Soal­nya, dia mengaku awam me­na­ngani masalah seperti ini. “Saya orang awam,” katanya.

Alih-alih dimaklumi, per­nya­taan Rosida itu malah membuat hakim Pangeran bereaksi keras. Dia mengancam, penjelasan Ro­sida akan dikroscek dengan ke­te­rangan saksi lain. Jika kete­ra­ngannya tidak benar, palsu atau bohong, Rosida bisa ditetapkan telah memberi kesaksian palsu. “Jangan macam-macam, nanti bisa dikroscek, kena sumpah pal­su,” ancam Pangeran.

Bekas Kepala Pusat Penang­gu­la­ngan Krisis Departemen Kese­hatan Rustam Syarifuddin Paka­ya menjalani sidang perdana di Pe­ngadilan Tindak Pidana Ko­rup­si Jakarta pada Kamis, 9 Agustus.

Rustam antara lain didakwa memperkaya diri sendiri Rp 2,47 mi­liar, Menkes Siti Fadilah Su­pari Rp 1,275 miliar, PT In­do­­far­ma Global Medika Rp 1,763 mi­liar dan PT Graha Ismaya Rp 15,226 miliar.

Saat dikonfirmasi, Siti menga­ku tidak pernah menerima uang ter­kait kasus itu. “JPU men­dakwa Rustam dengan me­nye­but mem­beri uang ke saya se­jum­lah itu. Saya tidak mengerti itu. Saya ti­dak pernah terima uang,” ujarnya ke­tika dihubungi Rakyat Merdeka.

Selanjutnya, Siti meminta agar dakwaan yang dialamatkan ke­pada Rustam tidak dikait-kaitkan ke­pada dirinya. “Saya memban­tah dakwaan bahwa saya me­ne­rima uang itu. Saya tidak tahu me­nahu soal aliran dana itu,” ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.

REKA ULANG

Mengatur Siasat Di Rasuna

Bekas Kepala Pusat Pe­nang­gulangan Krisis Departemen Ke­se­hatan Rustam Syarifuddin Pa­ka­ya didakwa merugikan ke­uangan negara sekitar Rp 22 mi­liar. Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Rustam secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama

Direktur Utama PT Graha Is­maya Masrizal Achmad Syarief, sekitar Maret 2007 sampai De­sember 2008 di Kantor Pusat Pe­nanggulangan Krisis Depkes, Jalan Rasuna Said, Jakarta, me­lakukan pengaturan proses pe­nga­daan alat kesehatan 1 untuk kebutuhan Pusat Penanggulangan Krisis dari dana Daftar Isian Pe­laksanaan Anggaran (DIPA) Re­visi APBN 2007.

Cara pengaturan itu, yakni me­ngarahkan penyusunan spe­si­fikasi teknis untuk pengadaan al­kes 1 pada merek tertentu, me­nyetujui pengadaan tanpa pe­ngu­muman di media cetak nasional, mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS) yang disusun tidak berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak mengendalikan pelaksanaan kon­trak sebagaimana mestinya. “Yak­ni, menandatangani Berita Acara Penerimaan Barang yang me­nya­takan telah diterima secara lengkap, padahal kenyataannya belum lengkap,” kata JPU Agus Salim.    

Pada September 2007, Rustam melakukan pertemuan dengan Masrizal di ruang kerjanya, Kan­tor Pusat Penanggulangan Krisis Depkes. Dalam pertemuan itu, Masrizal mempromosikan pro­duk yang dimiliki PT Graha Is­maya. Masrizal mengatakan,

“Saya punya banyak barang. Kalau ada pengadaan alat ke­se­hatan, mohon dipertimbangkan.” Masrizal pun menyorongkan pro­fil perusahaan dan brosur alat ke­sehatan kepada Rustam. “Nanti kita pelajari dulu,” jawab Rustam dalam dakwaan.

Pertemuan Rustam dengan Mas­rizal merupakan kelanjutan dari kedatangan staf marketing PT Graha Ismaya Nugroho Budi Raharjo sekitar April 2007 yang memberikan company profile, ka­talog alat kesehatan, setingan alat untuk kamar operasi dan in­tensive care unit (ICU), daftar harga alat kesehatan, serta lam­piran spesifikasinya kepada Rus­tam yang dititipkan melalui se­k­retaris Rustam.

Menindaklanjuti pertemuan de­ngan Masrizal, Rustam me­mang­gil Ketua Tim Teknis Yus Rizal ke ruang kerjanya.  “Tolong di­pelajari dan diikuti, jangan sam­p­ai keluar dari doku­men ini untuk menyusun spesi­fikasi pengadaan alat kesehatan,” kata Rustam ke­pada Yus dalam dakwaan.

Atas arahan Rustam, se­lan­jut­nya Yus Rizal menyusun spe­si­fi­kasi teknis dan jumlah unit ke­bu­tuhan alat kesehatan yang akan di­adakan tanpa menggunakan sumber data lainnya, dan hanya berdasarkan spesifikasi alkes se­bagaimana doku­men yang di­be­ri­kan terdakwa.

Mesti Jelas Pemberian Uang Untuk Apa

Sandi Ebeneser Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI

Anggota Majelis Pertim­ba­ngan Perhimpunan Bantuan Hu­kum Indonesia (PBHI) Sandi Ebeneser Situngkir menyam­pai­kan, jika memang ada fakta persidangan yang membuktikan bahwa seseorang menerima cek atau uang dari kegiatan tindak pidana korupsi, maka hakim mes­tinya segera meme­rin­tah­kan untuk segera dilakukan pe­ngenaan status tersangka ke­pada yang bersangkutan.

“Penerima uang dari tindak pi­da­na korupsi, semestinya jadi tersangka juga. Pasal 55 KUHP me­nyebutkan, siapa yang ter­kait dan turut serta, ya harus ditetap­kan sebagai tersangka,” ujarnya.

Sandi mengingatkan, apalagi bila seseorang itu tahu bahwa uang tersebut berasal dari ke­jahatan, namun tidak me­ngem­balikannya. “Seharusnya, jaksa menetapkan yang bersangkutan se­bagai tersangka,” katanya.

Sandi menyampaikan, kalau uang atau cek itu diterima dari Siti Fadilah Supari, maka itu mempertegas perkaranya Siti ha­r­­us dipercepat penanga­nan­nya untuk dilimpahkan ke pe­nga­dilan. “Supaya semua jelas, un­tuk apa uang tersebut di­be­ri­kan. Tapi kalau uang itu di­te­rima langsung, seharusnya d­a­pat ditetapkan sebagi te­r­sangka,” ujarnya.

Ketua Majelis Organisasi In­donesia Public Services Wacth itu mengatakan, dalam pengu­su­tan perkara seperti ini, pene­rapan pasal Tindak Pidana Pen­cucian Uang (TPPU) efektif di­lakukan.

“Kelemahan penyidik, tidak berani menggunakan TPPU. Ka­sus ini seharusnya meng­gu­na­kan TPPU, supaya kelihatan motivasi pemberian uang ke adiknya Siti Fadilah dan orang lain, untuk apa,” ujar dia.

Bisa Didalami Dari Tindak Pidana Pencucian Uang

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menyam­pai­kan, setiap fakta persidangan yang menunjukkan adanya te­muan baru, harus segera dit­in­dak­lanjuti oleh jaksa dan hakim.

Bermodalkan fakta-fakta itu, akan bisa diungkap secara me­nyeluruh kasus tindak pidana korupsi yang tengah disi­dang­kan. “Menurut saya, fakta yang terungkap di persidangan perlu didalami terus, dan temukan pelaku-pelaku lain serta ke­terkaitan-keterkaitannya,” ujar Taslim.

Politisi PAN itu menilai, p­e­nerapan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pun per­lu segera dilakukan dalam pe­nelusuran, agar semakin te­rang benderang pengusutan per­karanya. “TPPU perlu. Kalau memang adiknya Siti ikut me­ne­rima cek itu, tentu diduga ka­rena persekongkolan. Wajar ka­lau jaksa dan hakim me­ngan­camnya jadi tersangka,” ujar Taslim.

Dia meminta agar jaksa mau­pun hakim mendalami perkara ini dengan menerapkan pasal TPPU. “Saya kira TTPU mesti men­dalam lebih dulu keter­kai­tan­nya dengan kasus ini,” katanya.

Dengan demikian, pem­buk­tiannya nantinya akan kon­pren­hensif. “Apakah ini kasus pen­cucian uang atau bukan, nanti akan terlihat,” ujar Taslim.

Jika jaksa menemukan ada­nya aliran dana ke pihak lain, maka semestinya jaksa juga mengusut pihak-pihak itu. Jus­tru akan menjadi aneh, bila jak­sa sudah mengetahui aliran dana, namun tidak mem­per­gu­na­kan TPPU dalam pe­ngu­sutannya.

“Apakah jaksa hanya me­ngejar Siti? Sebab, kalau dia (adiknya Siti) bagian dari per­sekongkolan, tentu itu akan jadi lain dan mestinya diusut juga,” kata Taslim. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya