Berita

Chevron

X-Files

Dirdik Ngaku Kasus Chevron Ke Penuntutan 2 Minggu Lagi

Surat Penyidikan Dikeluarkan Kejagung Maret 2012
SELASA, 04 SEPTEMBER 2012 | 09:47 WIB

Surat perintah penyidikan tujuh tersangka kasus Chevron dikeluarkan Kejaksaan Agung pada 1 Maret 2012. Tapi, setelah setengah tahun berlalu, Kejagung belum membawa para tersangka itu ke Pengadilan Tipikor. Padahal, awal penanganan kasus ini cukup heboh lantaran Kejagung menaksir kerugian negaranya sekitar Rp 200 miliar.

Makanya, banyak yang kha­watir, perkara korupsi itu akan hilang ditelan waktu. Tapi, ke­marin, Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus Arnold Angkouw memberikan isyarat bahwa kasus korupsi proyek pemulihan tanah (bioremediasi) bekas lahan eks­plorasi minyak PT Chevron Pa­sific Indonesia (CPI) itu, pada pertengahan September nanti akan naik ke proses penuntutan.

“Pada September ini kami ke­but ke penuntutan. Jadi, dua ming­­gu ke depan akan ada kabar baik dalam penanganan perkara ini,” ujar Arnold di Gedung Ke­jak­saan Agung, Jalan Sultan Ha­sanuddin, Jakarta Selatan, kemarin.

Supaya para tersangka kasus ini bisa segera dibawa ke pe­nun­tutan, lanjut dia, pihaknya sedang berupaya keras melengkapi se­mua bukti dan berkas. Karena itu, Arnold mengaku, hari demi hari pada September ini, dia langsung memantau kerja penyidik agar mencapai kemajuan dalam melengkapi berkas para ter­sangka.  “Tiap hari kami kumpul dan ke­but. Ikan sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus,” ujarnya.

Menurut Arnold, selama Agus­tus lalu, jajarannya memang ba­nyak beraktivitas pada penyi­di­kan sejumlah perkara lain. “Se­karang kami fokus dulu untuk se­gera naikkan kasus Chevron ke penuntutan,” ujarnya.

Dia menambahkan, penangan­an kasus ini harus betul-betul optimal. “Sehingga, kecil ke­mung­kinan akan mengalami ke­ga­galan pada penuntutan,” alasan bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini. Selain itu, katanya, proses penguatan alat bukti terus dilakukan. “Kami per­tajam terus,” ujarnya.

Penanganan kasus Chevron ini cukup mendapat sorotan dari ka­langan Komisi III DPR, LSM, pengamat dan praktisi hukum. Soal­nya, tersangka kasus ini be­lum juga dibawa ke pengadilan dan tak kunjung ditahan. Padahal, melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, Kejagung telah melansir bahwa perkiraan awal kerugian negara dalam perkara ini sekitar Rp 200 miliar.

Kalangan Komisi III, LSM, pengamat dan praktisi hukum juga curiga karena tersangka ka­sus ini hanya dari pihak swasta. Tak seperti kasus korupsi lainnya, dimana tersangkanya dari pihak pemerintah dan swasta. Bahkan, kasus korupsi yang angka keru­gian keuangan negaranya “ha­nya” di bawah Rp 10 miliar pun, tersangkanya berasal dari pihak pemerintah dan swasta.

Apalagi, menurut Arnold, salah satu sampel dalam kasus ini (Tph) tidak bisa diuji pihak Ke­menterian Lingkungan Hidup ka­rena tidak ada alat labo­ra­toriumnya. Tapi, lanjut dia, pihak KLH tetap memberikan reko­men­dasi kepada BP Migas untuk membayar proyek bioremediasi yang dikerjakan CPI dan dua per­usahaan kerjasama operasional­nya. Akibatnya, menurut perkira­an awal Kejagung, negara diru­gikan sekitar Rp 200 miliar.

Kendati begitu, kasus yang mulai diselidiki Kejaksaan Agung pada Oktober 2011 ini, tersangkanya masih itu-itu saja.

Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka kasus ini. Lima ter­sangka berasal dari PT CPI, yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua ter­sangka lainnya dari per­usahaan swasta kelompok kerjasama (KKS) yakni, Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (Direktur PT Sumigita Jaya). Semua ter­sang­ka itu telah dicegah ke luar negeri, kecuali Alexiat yang keburu pergi ke Amerika Serikat dengan alasan mengurus sua­minya yang sakit di negeri Paman Sam.

REKA ULANG

Menanti Angka Kerugian Negara Dari BPKP

Sebelum Idul Fitri, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw menyatakan, kasus Chev­ron diupayakan segera ma­suk ke persidangan seusai Le­baran.

“Ada penambahan alat bukti. Kini tinggal mencocokkan yang satu dengan yang lainnya. Dalam waktu dekat ke penuntutan. Di­usahakan, sehabis Lebaran naik ke penuntutan,” ujar Arnold di Kompleks Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.

Penyidik, lanjut Arnold, masih mencocokkan alat bukti yang satu de­ngan alat bukti yang lain agar saling berkaitan. Soalnya, kata dia, Kejaksaan Agung ingin meng­antispasi kegagalan dalam me­nangani perkara-perkara korupsi besar.

“Selain itu, masih kami tam­bahkan alat buktinya supaya lebih kuat. Seperti, mencocokkan satu alat bukti dengan yang lain, mi­salnya transaksi dan surat yang diperlukan,” ujarnya.

Kendati begitu, bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini mengaku, jajarannya sudah mengantongi alat bukti yang kuat untuk masuk ke proses pe­nun­tutan. “Kami mau perkara ini se­cepatnya disidangkan, sembari me­lakukan pengusutan dan pe­ngem­bangan,” ujar Arnold.

Akan tetapi, dia mengatakan bahwa Kejaksaan Agung belum memastikan nilai kerugian negara dalam perkara korupsi ini. Ala­sannya, Kejaksaan Agung masih me­nunggu hasil audit Badan Pe­ngawasan Keuangan dan Pem­ba­ngunan. “Masih dalam proses audit oleh BPKP,” alasannya.

Kemarin, Arnold menyatakan bahwa BPKP tidak mem­per­lam­bat proses penuntasan kasus Chevron. “BPKP membantu pro­ses ini, dan penyidik punya we­we­nang untuk menyita, meng­ge­ledah dan mengumpulkan bukti,” kata dia.

Sepanjang mekanisme itu dija­lan­kan, menurut Arnold, sejauh ini tidak ada masalah yang di­hadapi penyidik. “Berkas kasus CPI, su­dah proses melengkapi semua kebutuhan untuk segera masuk ke penuntutan. Kami juga su­dah firm atas CPI dan BP Mi­gas. Selain ke BPKP, kami ke BP Migas, berkoordinasi mengenai kerugian keuangan negara,” kata­nya.

Kasus pemulihan lahan bekas eksplorasi minyak PT Chevron Pa­sific Indonesia ini diduga ter­jadi di Duri, Riau sejak 2003 sam­pai 2011. Proyek senilai 270 juta dolar AS ini, disangka Kejaksaan Agung fiktif.

Perkara ini bermula dari per­jan­jian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron. Salah satu poin perjanjian itu me­ngatur tentang biaya untuk me­lakukan pemulihan lingkungan (cost recovery) dengan cara bio­remediasi.

Tapi, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, ke­giat­an bio­remediasi yang seharusnya di­lakukan selama perjanjian ber­langsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang di­tunjuk Chevron, yaitu PT GPI dan PT SJ.

Padahal, anggaran untuk pro­yek bioremediasi itu sudah dicair­kan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miliar,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.

PT Chevron Pasific Indonesia yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, tidak tinggal diam menghadapi sangkaan yang dilon­tarkan Kejaksaan Agung. Pihak perusahaan ini, menampik pernyataan pihak Kejaksaan Agung bahwa anggaran proyek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triliun.

“Tidak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,” kata Vice President Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.

Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak Kejak­sa­an Agung dan angka kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar.

Sebuah Indikasi Ketidakseriusan

Frans Hendra Winarta, Dosen Hukum Pidana

Dosen ilmu hukum pidana Frans Hendra Winarta me­nyam­paikan, semakin lama dan ber­tele-tele pengusutan dan pe­nun­tasan sebuah kasus, akan mengindikasikan betapa tidak se­riusnya penegak hukum me­negakkan keadilan.

“Keadilan yang ditunda-tunda adalah sama dengan tidak ada keadilan. Dalam paham hukum pidana, proses penyi­dikan terhadap tersangka dan atau terdakwa harus cepat dan tuntas,” ujar dosen Universitas Pelita Harapan ini, kemarin.

Frans mengingatkan, bila penyidikan lemah dan buktinya tidak kuat, bisa jadi pihak ke­jaksaan tidak serius melakukan pengusutan. Akibatnya, para tersangka kasus ini tidak kun­jung dibawa ke persidangan. “Kalau salah, ya diproses hu­kum. Kalau tidak salah, tidak ad­a bukti alias tidak cukup bukti, ya dibebaskan,” ujarnya.

Dia pun menegaskan, proses yang lamban dalam pengusutan kasus korupsi proyek pemu­lih­an tanah bekas lahan eksplorasi PT Chevron, akan mengganggu upa­ya pemberantasan korupsi secara nasional. “Membiarkan kasus ini bertele-tele, akan meng­ganggu program pem­be­rantasan kejahatan korporasi yang marak akhir-akhir ini,” tandasnya.

Dengan pemikiran itu, lanjut Frans, seharusnya Kejaksaan Agung memecut diri untuk sa­ngat serius mengusut tuntas kasus ini. “Jadi, ketegasan Ke­ja­gung harus ada untuk men­jaga wibawa Kejaksaan Agung,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Ja­karta Poltak Agustinus Sinaga. Dia malah mempertanyakan, apakah ada upaya mengaburkan kasus Chevron, sehingga para tersangkanya belum juga dibawa ke pengadilan.

Poltak juga mewanti-wanti pimpinan Kejaksaan Agung dan para penyidik kasus ini, agar tidak mau dilobi pihak mana­pun untuk menghilangkan du­gaan keterlibatan oknum pe­me­rintah. Jangan pula ber­sepakat de­ngan pihak manapun untuk menghilangkan kasus ini de­ngan cara tak kunjung mem­bawa para tersangka ke peng­adilan. “Ini harus dipantau betul,” tandasnya.

Ia berharap, pemberantasan ko­rupsi menjadi salah satu prioritas Kejaksaan Agung. Caranya, dengan menangani kasus-kasus korupsi secara utuh dan sampai tuntas di penga­dilan. “Jangan omong doang alias omdo,” katanya.

Dalam perkara ini, lanjutnya, bila ada tekanan asing pun mes­ti dilawan. “Yang juga bisa jadi per­soalan, pihak penegak hu­kum membuka diri dan ruang untuk dilobi pihak-pihak yang ber­kepentingan,” katanya.

Apakah Kejaksaan Sudah Kebal Kritik Masyarakat

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa menilai, se­jumlah perkara korupsi, ter­ma­suk dugaan proyek bio­re­me­diasi fiktif PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) tidak getol diusut Kejaksaan Agung.

“Memang banyak perkara, terutama perkara korupsi yang saya lihat mandek pengu­sut­annya di kejaksaan,” kata ang­gota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini.

Sepanjang pengalamannya, menurut Desmon, banyak per­kara yang tidak kunjung selesai ditangani kejaksaan. “Nyatanya dari tahun ke tahun, seperti tidak ada perubahan signifikan yang mereka lakukan dalam penuntasan perkara,” ujarnya.

Akibatnya, tegas Desmon, publik kian apatis melihat ki­nerja kejaksaan dalam meng­usut perkara korupsi. “Saya melihat, kejaksaan sudah kebal mendengar berbagai kritik masyarakat atas kinerjanya yang lelet. Entah bagaimana lagi mendorong mereka supaya serius bekerja,” ucapnya.

Untuk mempercepat penun­tasan kasus, lanjut Desmon, kiranya Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berdiam diri. Ma­kanya, dia meminta KPK me­lakukan fungsi supervisinya kepada Kejaksaan Agung.

“Mau tidak mau, KPK harus melakukan fungsi supervisi kepada kejaksaan. Sehingga, kejaksaan masih bisa diha­rapkan bergerak menun­taskan korupsi,” ujarnya.

Akan tetapi, bila banyak per­kara mandeg, Desmon ber­harap KPK segera mengambilalihnya. “KPK harus turun tangan untuk menuntaskan perkara korupsi yang mandek di Kejaksaan Agung, termasuk kasus Chev­ron ini,” katanya.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya