Berita

Hakim Tipikor

X-Files

Hakim Tipikor Dilaporkan Ke KY Karena Bebaskan 71 Terdakwa

Aktivis ICW: Ada Indikasi Pelanggaran Kode Etik
JUMAT, 31 AGUSTUS 2012 | 09:50 WIB

Komisi Yudisial menerima laporan LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai dugaan pelanggaran kode etik 84 hakim pengadilan tipikor di 14 provinsi.

Menurut aktivis ICW Donald Fa­ridz, 84 hakim, baik karir mau­pun ad hoc itu antara lain berasal dari Pengadilan Tipikor Jambi, Bengkulu, Semarang, Manado, Padang, Mataram, Kendari, Su­rabaya, Serang, Medan, Makasar dan Yogyakarta.

“ICW juga sedang dan akan menyelesaikan riset mengenai evaluasi hakim tipikor, persoalan serius ketika MA melakukan pro­ses seleksi hakim ad hoc, dan trac­king calon hakim yang tidak ber­jalan maksimal,” katanya.

Dari hasil riset itu, menurut Do­nald, setidaknya ada 71 ter­dak­wa kasus korupsi yang di­vo­nis bebas. “Putusan tersebut, ter­kait dengan kompetensi, in­de­pen­densi, dan kemampuan hakim itu sendiri,” ujarnya.

ICW juga melakukan eksa­minasi putusan kasus korupsi di 10 pengadilan tipikor. Ketika ada putusan-putusan yang kon­tro­versial, ICW menelisik bagai­ma­na sosok hakimnya, punya in­tegritas atau tidak. “Hasil proses re­kam jejak itu sudah kami serah­kan ke KY, ada indikasi pelang­ga­ran kode etik. KY sudah meres­pon dan akan mempelajari serius la­p­oran itu,” katanya.

Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki me­nyam­pai­kan, pihaknya selalu terbuka me­nerima dan menindaklanjuti se­tiap laporan yang masuk ke Ko­misi Yudisial.

Menurut Ketua Bidang Penga­wasan dan Investigasi KY Supar­man Marzuki, laporan itu tentu men­jadi perhatian Komisi Yudi­sial. “Laporan itu tidak jauh ber­beda dengan investigasi yang di­lakukan KY. Meski begitu, kami tetap menindaklanjutinya,” kata­nya saat dihubungi Rakyat Mer­deka pada Rabu (29/8).

Suparman menjelaskan, lapo­ran ICW itu masih perlu di­t­e­lu­su­ri kebenarannya. “Kami mesti menginvestigasinya, perlu mela­ku­kan sejumlah tahapan atas la­poran itu. Butuh waktu untuk me­ne­laahnya,” ujarnya.

Akan tetapi, dia tidak mau me­nyebutkan identitas 84 hakim yang dilaporkan ICW ke KY itu. “Yang jelas, ada hakim karir dan ada hakim adhoc. Terkait masalah perilaku hakim, dan hakim yang memutus bebas perkara. Soal ko­rupsi tidak ada. Tak jauh berbeda dengan informasi yang sudah ber­kembang,” ucapnya.

Komisi Yudisial, lanjutnya, akan melakukan evaluasi dan me­nentukan sanksi apa yang bakal di­sarankan untuk diberikan. “Jadi, kami masih melakukan pe­nye­lidikan atas semua laporan. Bu­kan hanya dari ICW, kami sendiri turun ke lapangan,” ujarnya.

Menurut Suparman, pihaknya terus melakukan pemetaan ter­ha­dap persoalan hakim, baik hakim karir maupun hakim adhoc. “Tapi, metode kami dengan te­man-teman itu memang agak ber­beda. Kami melakukan inves­ti­gasi juga,” katanya.

Menurut Wakil Koordinator ICW Emerson Juntho, laporan ke KY itu menyangkut aspek integ­ritas, kualitas dan administratif. Untuk menyusun laporan itu, ICW bekerjasama dengan mitra­nya di berbagai daerah.

“Dari ca­ta­tan rangkuman kami, persoalan di 14 pengadilan tipi­kor daerah menyangkut integ­ri­tas, kualitas, dan administratif ha­kim,” katanya seusai me­nye­rahkan hasil tracking 84 hakim ti­pikor kepada KY,  Selasa (28/8).

Dari aspek persoalan admi­nis­tratif, kata Emerson, mayoritas ha­kim tipikor, baik karir maupun ad hoc, belum menyerahkan La­po­ran Harta Kekayaan Pejabat Ne­gara (LHKPN). “Ada pula ha­kim ad hoc yang masih kental hu­bungannya dengan partai politik, ada yang bekas anggota DPRD. Ditemukan juga ketidakjujuran, khususnya hakim ad hoc ketika me­nyampaikan data kepada MA.”

Dari aspek kualitas, lanjutnya, ditemukan ketidakcermatan ha­kim tipikor dalam mempelajari per­kara. “Kalau hakim tidak ber­kualitas, mudah kita lihat. Jika ha­kim tidak berintegritas, putu­san­nya tidak wajar. Indikasinya, hakim pasif di persidangan, tapi aktif di luar persidangan. Me­mang beda tipis antara faktor kua­litas dan integritas,” ucapnya.

Berdasarkan aspek Integritas, menurut Emerson, ada beberapa hakim tipikor yang diduga me­l­a­ku­kan kode etik dan pernah dil­a­por­kan ke KY dan Mahkamah Agung (MA). Misalnya, hakim ti­pi­kor yang masih membuka prak­tek kepengacaraan, hakim karir yang bertemu pihak berperkara at­au pengacara.

“Ini membuka peluang mafia peradilan masuk ke Pengadilan Tipikor daerah, dimana hakim mas­ih bertemu pengacara, kong­ka­li­kong untuk membebaskan terdakwa kasus korupsi atau menjatuhkan vo­nis ringan,” ujarnya.

REKA ULANG

Menyangkut Integritas Dan Kualitas Hakim

Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar menyam­pai­kan, laporan yang masuk ke KY tidak bisa begitu saja disam­pai­kan kepada masyarakat secara de­tail. Sebab, setiap laporan yang ma­suk, harus melewati tahapan pe­nelaahan dan pemeriksaan dahulu.

“Sebab, selain rahasia, kalau di­­publikasikan secara detail, sama saja memberitahu hakim-hakim yang dilaporkan itu bahwa KY se­dang melakukan inves­tigasi ter­hadap mereka,” alasan Asep.

Kendati demikian, lanjut Asep, Komisi Yudisial menyambut baik laporan LSM Indonesia Corrup­tion Watch (ICW) yang sudah ma­suk itu. “Tentunya akan ditin­daklanjuti sesuai kewenangan yang ada pada KY. Laporan itu ber­manfaat, karena akan me­leng­kapi hasil pemantauan dan in­ves­tigasi khusus terhadap beberapa PN tipikor yang saat ini dilakukan KY,” ujarnya.

Untuk tindak lanjut, menurut Asep, laporan ICW tersebut dapat di­klasifikasikan ke dalam tiga je­nis. Pertama, mengenai integritas hakim. “KY akan men­in­dak­lan­juti­nya dengan cara penanganan laporan sebagaimana mekanisme yang ada,” katanya.

Kedua, mengenai kualitas ha­kim. KY, kata Asep, akan men­in­daklanjutinya dengan cara pel­a­ti­han-pelatihan peningkatan ka­pa­sitas. Ketiga, terkait admi­nis­trasi perkara. KY akan me­nin­dak­lanjutinya dengan cara ber­ko­mu­ni­kasi ke Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang dalam hal administrasi pengadilan.

“Dari ICW itu kan baru lapo­ran, belum ada keputusan terbukti atau tidak ada pelanggaran ringan atau berat. Jadi, masih harus ditindak­lanjuti dengan investigasi dan taha­pan lainnya dulu oleh KY,” ucapnya.

Asep menambahkan, setiap la­poran yang diterima Komisi Yu­disial akan diteliti dan di­in­ves­tigasi terlebih dahulu. “Dengan batasan waktu, sesuai SOP yang ada di KY, penanganan laporan ku­rang lebih 90 hari kerja,” ujarnya.

Jika KY menangani kasus ha­kim dari sisi pelanggaran kode etik, KPK saat ini juga m­e­na­ngani perkara hakim dari sisi pe­langgaran pidananya. Pada Jumat (17/8) lalu, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) ter­­hadap hakim ad hoc Penga­di­lan Ti­pikor Semarang Kartini Mar­paung. Menurut Wakil Ketua KPK Muhammad Busyro Mu­qoddas, penangkapan itu mer­u­pa­kan hasil kerjasama KPK dengan KY.

Kartini ditetapkan KPK seba­gai tersangka karena diduga me­ne­rima suap Rp 150 juta ter­kait pe­nanganan perkara korupsi pe­me­liharaan mobil dinas DPRD Ka­bupaten Grobogan, Jawa Te­ngah di Pengadilan Tipikor Se­ma­­rang. Salah seorang terdakwa kasus ini adalah Ketua DPRD Grobogan Muhammad Yaeni. Da­lam perkara ini, Kartini ber­tindak sebagai salah satu hakim anggota.

Kartini ditangkap petugas KPK di halaman Pengadilan Negeri Se­marang seusai upacara peri­nga­tan HUT Kemerdekaan RI. KPK juga menangkap rekan Kartini, hakim Pengadilan Tipi­kor Pontianak Heru Kisbandono dan pengusaha Sri Dartuti yang di­sangka sebagai pemberi suap. Ke­tiganya ditangkap seusai mela­kukan transaksi suap di halaman Pengadilan Negeri Semarang.

Diduga, suap berasal dari Sri Dar­tuti, adik M Yaeni yang meng­gu­nakan jasa perantara Heru. Heru berperan mempertemukan Kartini de­ngan Sri. Dari tangan Kartini, KPK menyita uang Rp 150 juta dan beberapa dokumen. Kini, ketiga­nya ditahan KPK sebagai tersangka.

Dalam kasus korupsi biaya perawatan mobil dinas DPRD Gro­bogan, Yaeni akhirnya divo­nis pi­dana penjara 2 tahun 5 bu­lan, serta denda Rp 50 juta sub­si­dair empat bulan kurungan. Yaeni juga dijatuhi pidana tambahan berupa uang peng­ganti sebesar Rp 187 juta sub­sidair sembilan bu­lan penjara. Vo­nis itu dija­tuh­kan majelis hakim be­berapa hari setelah Kartini, Heru dan Sri di­tangkap KPK.

Benahi Rekrutmen Dan Pengawasan

Erna Ratnaningsih, Peneliti KRHN

Pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan 84 ha­kim Pengadilan Tipikor meng­in­dikasikan buruknya sistem pe­rekrutan hakim tipikor. Indi­kasi itu, menurut peneliti senior Koalisi Reformasi Hukum Na­sional (KRHN) Erna Rat­na­ning­sih, semakin kental jika di­lihat betapa banyak terdakwa ka­sus korupsi yang diputus be­bas. “Itu juga menunjukkan le­m­ahnya pengawasan terhadap hakim tipikor,” tegasnya.

Erna mengingatkan, proses perekrutan dan aspek pe­nga­wa­san hakim merupakan persoalan yang sangat penting untuk se­gera dibenahi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

“Pro­ses rek­ruitmen harus dibe­nahi de­ngan cara me­ne­kan­kan pada se­leksi terhadap aspek integ­ritas dan kapabilitas calon hakim ti­­pikor. Jadi, tidak hanya fokus pada pe­ngetahuan tentang ko­rupsi dan pengadilannya saja,” katanya.

Pengawasan Mahkamah Agung, lanjut Erna, perlu di­tingkatkan untuk mem­ber­sih­kan hakim-hakim jahat. “MA bisa bekerja sama dengan KY untuk menegakkan integritas hakim,” ujar bekas Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hu­kum Indonesia (YLBHI) ini.

Tapi, lanjutnya, kese­jah­te­raan hakim juga perlu di­per­ha­ti­kan. Erna berharap, dengan gaji yang cukup, hakim tidak ter­giur me­lakukan tindakan yang me­lang­gar kode etik, apa­lagi melakukan tindak pidana korupsi seperti menerima suap untuk mem­be­baskan terdakwa atau men­ja­tuh­kan hukuman yang ringan.

Erna menambahkan, kendati ada hakim tipikor yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan disangka menerima suap, keberadaan pengadilan ti­pikor tidak perlu diperdebatkan lagi. Soalnya, Undang Undang No­mor 46 tahun 2009 tentang Pe­ngadilan Tipikor men­sya­rat­kan pengadilan tipikor harus ada di setiap ibukota provinsi.

“Tidak perlu diperdebatkan lagi ke­beradaannya, karena nanti ha­rus mengubah undang un­dang yang akan memakan waktu dan biaya yang tidak se­dikit,” katanya.

Sebaiknya, saran dia, eva­lua­si bukan mengenai keberadaan pengadilan tipikor di provinsi. Namun, tentang berbagai ma­sa­lah yang timbul di pengadilan tipikor, sehingga banyak putu­san bebas untuk terdakwa dan vonis yang kerap ringan. “Lebih luas lagi, evaluasi dapat dila­ku­kan secara menyeluruh dari awal penanganan kasus. Bisa jadi, kasusnya su­dah di­le­mah­kan pem­buk­tiannya sejak pe­meriksaan, ke­mu­dian tawar-me­nawar pasal dalam dak­wa­an.”  

Sehingga, hakim tidak me­mi­liki keyakinan telah ter­jadi ko­rupsi.

14 Jam Menuju Tipikor Ternate

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyam­paikan, keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah perlu dikoreksi. “Keberadaan pe­ngadilan tipikor di daerah malah menyulitkan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, dari hasil kunjungan kerja Komisi III DPR ke Maluku Utara bagian kepulauan, pelaksanaan Penga­dilan Tipikor menjadi beban bagi jaksa penuntut umum.

“Dari semua kabupaten, Ka­bupaten Morotai dan Tabuha ti­dak melaporkan kasus korupsi. Ada kendala teknis dan sub­stantif yang dihadapi para jak­sa,” ujarnya.

Dari Kabupaten Tabuha mi­salnya, kata Eva, harus me­nem­puh perjalanan laut-darat se­la­ma 14 jam untuk sampai ke Pe­ngadilan Tipikor Ternate. “Ini me­merlukan biaya trans­por dan ako­modasi yang tinggi untuk menghadirkan saksi dan ahli,” urainya.

Kesulitan teknis ini, lan­jut­nya, menjadi parah ketika pu­tu­san hakim tipikor amat ri­ngan, bahkan membebaskan para terdakwa. “Penuntut men­jadi hilang semangat, sehingga bisa dikatakan justru kehadiran pengadilan tipikor menjadi kon­tra produktif bagi pem­be­ran­ta­san korupsi,” nilainya.

Eva menyarankan, ada dua cara untuk mengatasi masalah itu. Pertama, penyelenggaraan pe­ra­dilan tipikor dibuat flek­sibel. “Mi­salnya, majelis hakim diha­dirkan ke TKP dan pe­ren­canaan sidang dibuat intensif,” ujarnya.

Kedua, pengadilan tipikor di­hilangkan, tapi mem­be­r­da­ya­kan semua pengadilan negeri yang ada dengan melaksanakan sertifikasi hakim secara luas. “Ini lebih masuk akal, karena tin­dak pidana korupsi merata hingga di hampir semua dae­rah,” ujarnya.

Kedua opsi tersebut, lanjut Eva, bisa menjadi pilihan untuk merevisi Undang Undang Pengadilan Tipikor. Dia juga melihat, ada masalah pada pe­rekrutan hakim. “Tidak mem­pedulikan track record para ha­kim, sehingga banyak mu­dha­ratnya daripada manfaatnya,” tandas dia. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya