Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) dan manning agency (Agen Perusahaan Pengawakan Kapal) menolak draft Menteri Perhubungan yang mengatur ketentuan menyetor uang jaminan di bank. Pasalnya, masalah tersebut tak pernah tuntas dalam pembahasan Permenakertrans yang mengacu UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
"Kewajiban menyetor uang jaminan di bank menyebabkan perusahaan memungut uang dari pelaut. Sepanjang perusahaan memenuhi semua prosedur resmi pengawakan, tidak perlu ada uang jaminan di bank sebagai dana talangan bila pelaut tidak dibayar oleh pemilik kapal,'' kata Presiden KPI Hanafi Rustandi usai melakukan pertemuan dengan manning agency di Jakarta, Selasa (28/8).
Menurut dia, perselisihan yang timbul akibat gagal atau tidak dibayarkannya hak pelaut oleh perusahaan dapat diselesaikan sesuai mekanisme hukum yang berlaku dengan mengacu PKL (Perjanjian Kerja Laut) dan PKB. “Ketentuan tentang keharusan perusahaan pengawakan kapal memiliki uang jaminan di bank perlu dihapus,†tandasnya.
Dijelaskannya, untuk memberikan perlindungan maksimal, pelaut dan pemilik/operator kapal atau diwakili usaha keagenan harus menandatangani PKL. Ini sesuai dengan SK Dirjen Perhubungan Laut No PY.66/1/4-03, surat edaran Dirjen Hubla No. UK.11/21/12/DJPL-06. Selain itu, pelaut harus memiliki buku pelaut yang telah disijil dan disahkan oleh syahbandar.
Sedang bagi pelaut yang bekerja di kapal-kapal asing maupun nasional, pemilik/operator kapal atau usaha keagenan yang mewakili pemilik kapal wajib membuat PKB/Collective Bargaining Agreement (CBA) dengan Serikat Pekerja Pelaut di Indonesia.
"Ini berdasarkan UU No.13/2003 tentang Ketanagakerjaan.," imbuhnya.
Di bagian lain, Rustandi mengungkapkan, KPI dan manning agent sepakat membuat usulan menyempurnakan rancangan peraturan Menteri Perhubungan tentang Keagenan Awak.
Menurut dia, setidaknya ada lima masalah krusial perlu dibahas secara bipartit sebelum hasil rumusannya diserahkan ke Menteri Perhubungan. Dengan demikian, tata cara keagenan kapal serta prosedur perekrutan dan penempatan pelaut akan dilaksanakan berdasarkan peraturan yang disetujui semua pihak terkait.
Kelima masalah itu meliputi keagenan kapal, uang jaminan di bank, kewajiban membuat PKB (Perjanjian Kerja Bersama), penyijilan buku pelaut dan pengesahan PKL (Perjanjian Kerja Laut) dan status pelaut mandiri. Semua itu dimaksudkan memperjelas usaha keagenan kapal memaksimalkan perlindungan pelaut di kapal-kapal bendera nasional maupun asing.
Dia juga menegaskan, perusahaan angkutan laut asing dapat merekrut dan menempatkan pelaut Indonesia langsung ke kapal-kapal yang dioperasikannya atau untuk kepentingan pihak lain, tapi harus memiliki perwakilan di Indonesia. Kantor perwakilan itu juga harus memiliki SIUKAK.
Mengenai pelaut yang berangkat mandiri tanpa memalui usaha keagenan, KPI menegaskan bahwa PKL yang dibuat oleh pemilik/operator kapal wajib disahkan oleh syahbandar. Namun KPI mengingatkan banyak pelaut mandiri menghadapi masalah di luar negeri karena umumnyatidak dilengkapi dokumen kepelautan yang sah. Mereka tak mampu menyelesaikan kasusnya dan tak bisa menunjuk pengacara.
Memberikan kesempatan kepada pelaut mandiri untuk bekerja di kapal tanpa dilengkapi dokumen pengawakan yang sah, sama dengan membuka peluang perusahaan asing merekrut pelaut Indonesia tanpa memperhatikan kesejahteraan dan perlindungannya.
“Untuk itu, KPI mengusulkan agar status pelaut mandiri dan pasal pengaturan selanjutnya dalam draft Permenhub dihapus,†katanya.
Peraturan Menteri Perhubungan tentang Keagenan Awak Kapal sendiri akan diterbitkan paling lambat akhir tahun ini. Peraturan ini menjadi petunjuk teknis Peraturan Pemerintah No.20/2010 tentang Angkutan di Perairan yang merupakan petunjuk pelaksanaan UU No.17/2008 tentang Pelayaran.
[arp]