Rakyat Merdeka pernah menÂjumpai David Tobing, sepekan sebelum hari Raya Idul Fitri. Kegiatan David yang padat menÂjaÂuhkan pandangan miring tenÂtangÂnya yang dianggap sebagian kaÂlangan sebagai orang kurang kerjaan karena sering melakukan gugatan hukum mempersoalkan yang dinilai orang sebagai maÂsalah kecil.
Siang itu, David terlihat jalan tergesa-gesa menuju lantai dua kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Penampilanya cukup rapih. Dia mengenakan keÂmeja batik dipadu dengan celana bahan berwarna hitam sambil menenteng tas kecil di tangan kaÂnannya. “Saya mau diskusi sama teman-teman LBH Jakarta,†kata David menjawab sapaan kami.
Sebelum meja diskusi digelar, di kantor bantuan hukum itu, David menceritakan latar beÂlakang dan alasannya sering melakukan guÂgatan membela hak konsumen.
David mengatakan, sering melakukan gugatan hukum buÂkan karena tidak memiliki peÂkerjaan. Dia bekerja sebagai advokat di kantor pengacara Adams & Co, Counsellors at Law sejak tahun 1999. Kegiatan terÂsebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya seÂbagai pengacara. Dia ingin keluar dari pakem dan pandangan baÂnyak orang kalau kebanyakan pengacara ogah menangani kasus kecil karena tidak menghasilkan keuntungan materi. David ingin menunjukkan tidak semua peÂngaÂcara selalu melakukan pembelaan hukum karena ingin memcari keuntungan pribadi. Masih baÂnyak pengacara yang mau meÂmÂperhatikan hal-hal kecil.
Kasus perdana ditangani David yakni perkara hilangnya mobil Toyota Kijang Super B 255 SD milik Anny R. Goeltom di peÂlataran parkir supermarket ConÂtinent (sekarang Carrefour), Cempaka Mas, Desember 2000.
Dia mengetahui kasus keÂhilangan mobil itu kebetulan, putra Anny, Hontas Tambunan, adalah kawan baik David. KeÂduanya bergabung dalam keÂlomÂpok paduan suara Oratorio. DiÂungÂkapkannya, mobil tersebut saÂngat berarti bagi Anny dan HonÂtas karena sering dipakai unÂtuk mengangkut jemaat ke gereja.
David tergugah melakukan gugatan hukum karena melihat dalam kasus ini pemilik mobil tidak mendapatkan pertanggung jawaban atas kehilangan kenÂdaraan tersebut. Padahal bukti-bukÂti kepemilikan dan tanda parÂkir masih ada di tangan Hontas.
Semangatnya melakukan guÂgatan hukum semakin mengÂgeÂbuh ketika melihat fenomena dimana selama ini banyak konÂsumen yang kehilangan kenÂdaraan hanya bisa pasrah.
Konsumen hanya bisa curhat lewat surat pembaca di media cetak. Sementara, pengelola jasa perparkiran nyaris selalu cuci tangan dan lepas tanggung jawab. Yang membuatnya kesal, para pengelola terang-terangan mengÂgunakan klausul baku yang umumÂnya tertulis dalam tiket parkir yang menyatakan pengelola tidak bertanggung jawab atas keÂhiÂlangan kendaraan. Padahal, lepas tanggung jawab itu berlawanan dengan Undang-Undang PerÂlindungan Konsumen.
Dalam kasus ini, David berÂhasil memenangkan gugatan. Sejak pengadilan tingkat perÂtama, banding, hingga MahÂkamah Agung, para hakim mengÂabulkan gugatannya.
PT Secure Parking diwajibkan membayar ganti rugi Rp 60 juta. Sejak kasus ini dia kemudian melakukan sejumlah kasus guÂgatan hukum lain, terkait pemÂbelaan hak konsumen. Namanya pun popular.
David menuturkan, tidak muÂdah melakukan advokasi hukum membela publik. Cobaannya banyak. Banyak orang memaÂdang sebelah mata karena diÂanggap kurang kerjaan mengÂurusi perkara yang dipandang orang perkara kecil.
Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus perÂkara tidak sebanding dengan nilai ganti rugi yang akan diperoleh atas memenangkan perkara di Pengadilan.
Apa ketenaran anda memÂpengaruhi bertambahnya klien? David menjawab, tidak mau aji mumpung memanfaat popuÂlaritasnya seiring banyak meÂmenangkan kasus membela hak konsumen.
Ditegaskannya, tetap selektif di dalam menangani perkara. David pantangan membela kasus koÂrupsi. “Pernah ada yang seseÂorang menawari saya menangani kasus korupsi dengan nilai uang yang mengiurkan, tetapi maaf saya tidak tergoda,†katanya.
Namun demikian, David tidak menafikkan ingin hidup layak dan sejahtera sebagaimana maÂnusia pada umumnya. Karena itu dia juga membagi waktunya secara khusus untuk menangani klien yang membayar jasanya dengan profesional.
Dari kegiatan professional itu menurutnya tidak sepenuh penÂdapatan masuk ke kantongnya. Dia menyisihkan 30 persen keÂuntunÂgannya unÂtuk modal memÂbela hak konsumen. “IstiÂlahnya subsidi silang. Dengan cara ini, kliennya saya malah bertambah banyak dan antri untuk menÂdapatkan jasa huÂkumnya,†kÂaÂtanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:48
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:38
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:31
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:17
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:20
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:25
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:30