Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan remisi umum kepada 58.595 narapidana dalam rangka HUT Kemerdekaan RI. Sebanyak 583 di antaranya adalah narapidana kasus korupsi.
Menurut Menkumham Amir Syamsuddin, pemberian remisi ini merupakan wujud nyata pemenuhan hak-hak narapidana dan dilakukan untuk menghindarkan dampak buruk pemenjaraan. Dia menegaskan, pemberian remisi jangan pernah diartikan untuk memanjakan narapidana semata.
Amir meminta publik melihat pemberian remisi ini dari sisi kemanusiaan, bahwa pemberian remisi meÂruÂpakan wujud kepedulian pemerintah agar narapidana menjadi manusia berkualitas seutuhnya.
Sementara Wamenkumham Denny Indrayana menyatakan pihaknya terus berupaya melakukan pengetatan pemberian remisi. Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena ada banyak perlawanan. Dia mencontohkan, beberapa terpidana korupsi melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra telah menggugat ke PTUN Jakarta terkait keputusan Menkum HAM tentang pembatalan pembebasaan bersyarat mereka.
"PTUN pun telah memenangkan gugatan tersebut, yang tentu saja berdampak hukum sangat signifikan kepada kebijakan pengetatan," terang Denny belum lama ini.
Bagi pengamat sosial politik dari President University, Muhammad AS Hikam, pemberian remisi kepada 583 terpidana korupsi ini adalah tontonan kemunafikan nyata dari pejabat Kementerian Hukum dan HAM. Remisi kepada koruptor merupakan cerminan kebangrutan moral.
"Alasan-alasan pembenaran yang dikemukakan baik oleh menteri dan wakil menterinya semuanya hanya alasan legal formal yang hampa dari pertimbangan nurani dan akal waras," kata Hikam dalam akun jejaring sosial miliknya (Sabtu, 18/8).
Sebaliknya, ia setuju dengan sikap KPK seperti yang disampaikan Wakil ketua KPK Bambang Widjojanto, bahwa jangan memberi toleransi kepada para koruptor, dan perlu ada efek jera bagi mereka.
Menurut Hikam, keputusan memberi remisi terhadap para koruptor bisa dinilai rakyat betapa rendahnya kualitas pejabat negeri ini dan betapa murahnya harga mereka.
"Saya sepakat dengan KPK bahwa kedua pejabat itu hanya sekadar mencari pembenaran karena tekanan politik yang sangat besar dan ketakutan kehilangan jabatan atau prospek menjadi pejabat paska 2014," tandas dia.
[dem]