Berita

Dhana Widyatmika (DW)

X-Files

Setelah Lebaran, 2 Rekan DW Disidang Di Pengadilan Tipikor

Lanjutan Kasus Korupsi Pajak Dan Pencucian Uang
SENIN, 13 AGUSTUS 2012 | 10:33 WIB

Tersangka perkara korupsi pajak dan pencucian uang Dhana Widyatmika (DW) telah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Lantas, bagaimana perkembangan penanganan tersangka lain kasus ini?

Menurut Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, dua tersangka lain yang juga berasal dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, yakni Firman dan Salman Maqh­fi­ron, berkasnya sudah dinya­ta­kan lengkap atau P21.

“Berkas tersangka SM dan F, ke­marin sudah dinyatakan leng­kap atau P21,” kata Adi di Kom­p­leks Gedung Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan pada Jumat lalu, 10 Agustus.

Dengan demikian, lanjut Adi, da­lam waktu dekat akan ditin­dak­lanjuti dengan penyerahan ber­kas, barang bukti dan dua ter­sang­ka itu ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. “Akan dilim­pah­kan ke Pengadilan Tipikor untuk disidangkan,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.

Akan tetapi, karena Hari Raya Idul Fitri sudah semakin dekat, sepertinya dua rekan Dhana itu baru akan disidang setelah musim libur Lebaran usai.

Salman dan Firman akan di­dak­wa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, se­suai Pasal 2, Pasal 3, Pasal 12 e huruf B Ayat 1 dan 2 Undang Un­dang Tindak Pidana Korupsi (Ti­pi­kor), kemudian Pasal 3 dan Pasal 4 Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Untuk lebih pastinya, kita akan lihat rumusan dakwaan jaksa pe­nuntut umum di pengadilan saja,” ujar Adi.

Sedangkan untuk tersangka dari Ditjen Pajak Herly Isdi­har­sono, pengusaha Johnny Basuki dan pengurus pajak Hendro Tir­tajaya, penyidik masih me­leng­kapi berkas mereka. “Mudah-mu­dahan dalam waktu dekat, sudah bisa ditingkatkan pena­nga­nan­nya,” ucap Adi.

Untuk mendalami kasus ini, pada Kamis 9 Agustus, tiga ke­pala cabang bank dipanggil pe­nyi­dik pidana khusus sebagai saksi bagi tersangka Herly Isdi­harsono. Ketiga saksi itu adalah Ke­pala Cabang BII Taman Ang­grek, Kepala Cabang Bank Mega Bekasi dan Kepala Cabang BCA Wahid Hasyim.

Namun, hanya Kepala Cabang BII Taman Anggrek yang me­me­nuhi panggilan penyidik Ke­jak­saan Agung. “Penanganan per­kara Herly sudah mengarah ke­pada pemeriksaan pihak bank. Tadi diagendakan, pemeriksaan pihak bank ada tiga orang, tapi yang hadir hanya satu, yaitu Ka­cab BII Mall Taman Anggrek,” kata Adi di sela-sela buka puasa bersama de­ngan wartawan, Kamis (9/8).

Menurut Adi, penyidik akan mengagendakan pemanggilan kem­bali terhadap kedua saksi yang tidak hadir itu. Yang pasti, pe­nyidik ingin mengorek kete­rangan mereka mengenai perpu­taran uang milik bekas Kepala Seksi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh ter­sebut. “Kami minta keterangan mereka mengenai aliran dana yang diduga terkait korupsi dan pencucian uang,” katanya.

Herly merupakan merupakan bekas atasan DW di Ditjen Pajak, yang diduga menerima gratifikasi dari wajib pajak PT Mutiara Vir­go (PT MV) milik Johnny Basu­ki, pada kasus penyelesaian pajak kurang bayar tahun 2003 dan 2004.

Herly dan Dhana sama-sama berinvestasi jual-beli mobil di PT Mitra Modern Mobilindo (PT MMM). Perusahaan ini diduga se­bagai tempat keduanya mela­kukan pencucian uang.

Herly disangka melanggar Pa­sal 3, Pasal 5 Ayat 1, Pasal 5 Ayat 1, Pasal 11, Pasal 12 Huruf a dan b UU Tipikor, serta Pasal 3 dan 4 Undang Undang Tindak Pidana Pen­cucian Uang. Saat ini, kedua­nya ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Ne­geri Jakarta Selatan.

REKA ULANG

Firman & Salman Dalam Dakwaan Untuk DW

Dhana Widyatmika alias DW kena tiga dakwaan. Pada dak­wa­an kedua, muncul nama Firman dan Salman Maghfiron. DW di­sebut telah melakukan atau turut serta memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu kor­po­rasi yang merugikan keuangan negara. Caranya, DW bersama tim yang dipimpinnya, me­la­ku­kan rekayasa besaran pajak PT Ko­rnet Trans Utama (KTU).

Ceritanya begini, terhitung mu­lai 12 Juli 2005, DW ditetapkan sebagai Koordinator Pelaksana PPh Badan II Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Pancoran.

DW kemudian ditugaskan se­ba­gai Tim Pemeriksa Pajak sesuai Surat Perintah Pemeriksaan Pajak yang dikeluarkan KPP Pajak Pan­coran Nomor: Print-155/WPJ.04/KP.0805/2005 tertanggal 18 November 2005.

Berdasarkan surat itu, Tim ini terdiri dari Supervisor Firman, Ketua Tim DW dan anggota tim Sal­man Maghfiron. “Tim inilah yang ditugaskan untuk me­la­ku­kan pemeriksaan khusus ter­hadap wajib pajak PT Kornet Trans Uta­ma,” kata Koordinator Jaksa Pe­nuntut Umum (JPU) Wis­mantanu saat membacakan dakwaan da­lam sidang di Pe­ngadilan Tipikor, Jakarta pada Senin, 2 Juli lalu.

Pemeriksaan khusus terhadap PT KTU itu menggunakan data eksternal. Atau, menggunakan data yang bukan dari PT KTU. Oleh DW dan Salman, data itu tidak divalidasi melalui Seksi Pengolahan Data Informasi (PDI) Kantor Pelayanan Pajak dan tidak ditandatangani pihak PT KTU. “Hal itu bertentangan dengan Pasal 9 Ayat 1 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan,” tandas Wismantanu.

Pada Desember 2005, DW me­­merintahkan Salman me­mang­gil pengurus PT KTU un­tuk me­leng­kapi dokumen SPT Pajak PPh Badan, PPh 21 dan PPn yang se­belumnya sudah di­sampaikan staf akunting PT KTU Riana Juliarti. Na­mun, ka­rena tak membawa do­kumen La­po­ran Keuangan PT KTU 2001, maka dijanjikan satu ming­gu berikutnya akan dilengkapi.

Masih pada Desember 2005, Salman meminta bertemu pim­pinan PT KTU di Starbuck Tebet Indraya Square (TIS), Tebet, Ja­karta Selatan. Selanjutnya, antara Desember 2005 hingga awal Januari 2006, ada dua per­temuan antara DW bersama Sal­man de­ngan Direktur Utama PT KTU Lee Jung Ho alias Mr Leo, Di­rektur PT KTU Rudi Agus­tianda Sitepu dan Riana.

Dalam pertemuan itu, DW dan Salman menyampaikan kepada pimpinan PT KTU, terdapat data eksternal berupa Laporan Ke­uangan PT KTU 2002 yang ber­beda dengan Laporan Keuangan PT KTU yang digunakan sebagai dasar pengajuan Surat Pajak Ter­hutang (SPT).

Menurut JPU, DW dan Salman me­nyampaikan, mereka selaku pe­tugas pajak bisa saja tidak meng­gunakan data atau laporan keuangan PT KTU yang sudah ada. Tapi, mengacu pada data eks­ternal sebagai dasar peng­hitu­ngan pajak. Apabila data ekster­nal yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak, maka ke­wajiban pajak PT KTU akan lebih tinggi.

Dengan alasan, KPP akan me­ner­bitkan Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PT KTU 2002 yang perhitungannya ber­da­sarkan data eksternal, yaitu se­be­sar Rp 3.000.000.000 (tiga miliar ru­piah), DW dan Salman mena­warkan bantuan mengurangi nilai SKPKB dengan permintaan im­balan sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Saat itu, pihak PT KTU belum menentukan sikap, karena harus terlebih dahulu melaporkan pe­nawaran DW dan Salman ke­pada atasan mereka, Mr Cha Jeong Keun. Pada Mei 2007, pi­hak PT KTU memutuskan tidak mela­yani permintaan DW dan Salman itu. PT KTU akan me­ngajukan keb­e­r­­a­tan melalui Pe­ngadilan Pajak.

Seusai sidang, pengacara DW, Lutfi Hakim menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak sesuai fakta. “Sebelumnya gembar-gembor soal uang Rp 60 miliar, nyatanya tidak ada dalam dakwaan. Hanya 1 sampai 2 miliar. JPU tidak per­caya diri membawa kasus ini ke pengadilan. Ini pepesan kosong,” tandasnya.

Berharap Kasus Dhana Widyatmika Tak Dilokalisir

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding me­nyam­pai­kan, pengusutan kasus ko­rupsi pajak dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tersangka Dhana Widyatmika dkk harus berjalan sampai pada tingkat atasan yang lebih luas jika bukti-bukti memang me­ngarah ke sana.

Sebab, bila kasus ini hanya berhenti pada para pelaku kelas bawah, Kejaksaan Agung bisa dinilai masyarakat tidak sang­gup membongkar korupsi se­cara massif. “Jangan melo­ka­li­sir kasus ini. Kita desak Kej­ak­saan Agung untuk bongkar se­mua, tidak berhenti pada para tersangka yang sudah dite­tap­kan,” ujar Syarifuddin Suding.

Dikatakan politisi Partai Ha­nura ini, kasus besar seperti ini adalah sebuah tantangan besar bagi Kejaksaan Agung. Karena itu, dia berharap lembaga yang kini dipimpin Basrief Arief itu tidak mengecewakan harapan publik untuk memberantas ko­rupsi. “Bila berhasil, maka ap­re­siasi publik akan bisa kembali diraih kejaksaan. Tetapi bila tidak, akan kecewa masyarakat kita,” ucapnya.

Dia mendesak Kejaksaan Agung mengusut sampai peja­bat elit di Direktorat Jen­deral Pajak Kementerian Ke­uangan apabila memang ada indikasi yang mengarah ke sana. Soal­nya, di Ditjen Pajak memang ra­wan terjadi tindak pidana ko­rupsi. “Orang-orang yang ter­indikasi kuat, ya harus segera di­usut. Semua pelakunya harus dibongkar,” ucapnya.

Pola pengusutan yang terke­san dicicil pun harus diting­gal­kan. Pengusutan kasus ini harus lebih progresif. “Sampai ke para pelaku intelektualnya, para bos yang diduga bermain. Semua segera diusut,” pintanya.

Semua Tersangka Sebaiknya Segera Dibawa Ke Pengadilan

Sandi Ebenezer, Anggota Majelis PBHI

Anggota Majelis Perhim­pu­nan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebenezer Si­tung­kir mengatakan, Kejaksaan Agung mesti menelisik, apakah masih ada pihak-pihak lain di balik para tersangka kasus ko­rup­si pajak dan pencucian uang ini.

Menurut dia, jika ditelusuri le­bih jauh, bisa jadi, ada sejum­lah indikasi dan bukti untuk mengusut keterlibatan pihak lain­nya. “Semua tersangka yang ada, sebaiknya segera disi­dang­kan. Lalu, dalam pembuktian, jaksa dan hakim mengejar dan membuktikan pihak lain yang belum tersentuh,” ujar Sandi.

Sandi pun mempertanyakan, apakah kasus korupsi seperti ini berkaitan dengan peran sejum­lah petinggi pajak. “Makanya jangan hanya berhenti pada satu tingkat di atas DW. Satu tingkat di atas DW kan belum sebagai pengambil keputusan,” ujar Sandi.

Menurutnya, kalau hanya se­ke­las kasubbag dan kasubsi yang jadi tersangka, Kejaksaan Agung dapat dinilai belum fokus melakukan penyidikan dan bias. Seharusnya, kata San­di, yang mengeluarkan pen­e­ta­pan besarnya kewajiban mem­bayar pajak sampai miliaran, juga perlu ditelisik dugaan ke­terlibatannya.

Dia juga menyarankan agar didalami, apakah pencucian uang sering terjadi di perpa­ja­kan berdasarkan jumlah harta yang di luar batas kewajaran. Jaksa harusnya mengejar atasan dan pihak-pihak lainnya.

“Pe­ja­bat pajak yang me­miliki harta di luar kewajaran, patut di­seli­diki apakah diper­oleh de­ngan cara tidak wajar,” ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya