Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.04/2010 tentang tarif cukai hasil tembakau, idealnya tidak semata menegaskan posisi pemerintah dalam mengatur keuangan. Lebih penting dari itu, PMK seharusnya juga menjadi bagian penting dari upaya menciptakan kepastian hukum atas proses dan berjalannya industri tembakau. Sehingga tidak menimbulkan kontroversi seperti yang terjadi dalam RPP Tembakau.
"Kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk menjamin agar kegiatan ijin usaha, tenaga kerja, maupun ijin-ijin yang terkait dengan pemerintah daerah harus juga diperhatikan," ujar pengamat kebijakan publik dari Lembaga Pemantau Penyelenggara Trias Politika RI (LP2Tri), Libyanto dalam keterangannya yang diterima redaksi (Senin, 24/7).
Menurutnya, PMK 191 yang dikeluarkan tanpa dukungan Juklak dan Juknis secara tepat waktu, dapat menimbulkan kesalahan penafsiran maupun kebingungan dalam penyerapannya baik oleh aparat maupun pengusaha. Sementara, katanya, tanpa upaya restrukturisasi, peningkatan kenaikan cukai akibat PMK 191 mengakibatkan penurunan volume penjualan bahkan penutupan usaha perusahaan afiliasi yang pada akhirnya berdampak terhadap pemerintah daerah. Antara lain berupa berkurangnya pendapatan daerah, peningkatan pengangguran serta meningkatnya kesenjangan sosial.
Upaya restrukturisasi pada perusahaan rokok, lanjutnya, tidak semudah membalik telapak tangan. Industri yang sarat dengan perijinan ini bukan saja membutuhkan ijin yang keluar dari direktorat Bea dan Cukai, akan tetapi juga terkait dengan ijin Pemda seperti halnya IMB pabrik maupun ijin dari departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Ditambakan, pemberlakuan PMK 191/PMK.04/2010 dapat berpengaruh pada pengurangan tenaga kerja di sektor industri rokok, yang secara tidak sadar peraturan mentri tersebut memberikan pertumbuhan tingkat angka pengangguran baru, dan menjadi masalah tersendiri di tingkat pemerintah daerah yang saat ini sedang memacu pertumbuhan iklim usaha dan penciptaan lapangan kerja serta menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah sebagaimana diamanatkan dalam otonomi daerah dan sisi lain berpengaruh terhadap pertumbuhan penerimaan pendapatan asli daerah.
"Pangsa pasar yang ditinggalkan oleh perusahaan yang terkena dampak PMK 191 belum tentu juga akan dapat ditutup oleh perusahaan dengan golongan yang sama. Sehingga buat pemerintah sendiri akan ada kemungkinan hilangnya pendapatan Negara dan bukan tidak mungkin akan marak terjadi penjualan rokok illegal,"
Lebih lanjut, Libyanto menyatakan keluarnya PMK 191/2010 ini terkesan terburu-buru dan tanpa adanya sosialisasi yang baik terhadap para stakeholders maupun asosiasi dari industry rokok yang terkait. Setiap peraturan yang dikeluarkan di dalam industri rokok, biasanya mempunyai dampak yang luas dan bukan hanya terkait dengan cukai dan pendapatan pemerintah saja.
Kesan terburu buru ini tercermin dengan ketidak siapan akan adanya Juklak maupun Juknis yang baru diterbitkan setelah 18 bulan peraturan ini dikeluarkan. Kesan tidak adanya koordinasi dengan direktorat ataupun instansi yang terkait terkesan kental terjadi dimana sampai saat ini baru juklak dari dirjen Bea dan Cukai yang tersedia.
[dem]