RMOL. Jika Presiden SBY mengetahui praktik kejahatan keuangan negara yang dilakukan pejabat menteri dan pejabat DPR namun dia tak mau membukanya kepada penegak hukum, maka sama saja SBY melakukan kejahatan.
"Mungkin dia tahu tidak ada orang berani tangkap presiden, jadi saya kira presiden ini bermaksud bikin gaduh saja karena tidak ada kegaduhan yang lain," ucap pakar hukum, Margarito Kamis, kepada Rakyat Merdeka Online, Senin (23/7).
Margarito mengatakan, sebenarnya SBY tak perlu mengumbar adanya tindak korupsi di tubuh pemerintahannya ke publik jika sebelumnya dia belum membuka gamblang kepada kepolisian atau kejaksaan.
"Kan dia tinggal perintah jaksa dan polisi untuk tangkap orang-orang itu. Informasi yang dia dapat pasti bukan dari orang pinggir jalan, pasti dari intelijen kepercayaannya dan valid," katanya lagi.
Masalahnya sekarang ini, lanjut Margarito, selama tujuh tahun terakhir, Presiden tak bisa lagi dipercaya dalam pemberantasan korupsi. Yang ada hanya kegaduhan demi kegaduhan yang diciptakan SBY.
Sebelumnya, dia meminta KPK menyambangi Presiden dan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, yang mengaku tahu ada praktik kotor di kabinetnya dengan DPR. KPK harus segera menjalankan mandat UU pembentukannya dengan meminta keterangan Presiden.
Dalam hal itu, tidak ada alasan Presiden untuk mengelak dari permintaan KPK. Pertama, Presiden telah berulangkali bersedia berada di garis terdepan dalam pemberantasan korupsi di pemerintahannya. Selain itu, informasi korupsi di kabinet itu pasti didapat Presiden dari pihak yang bukan sembarangan.
Dan lebih utama lagi, ada pasal dalam UU Tipikor yang bisa menjerat pihak-pihak yang merintangi atau menghalang-halangi penanganan dugaan korupsi.
Pasa 21 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".
Sejumlah menteri SBY terseret dalam sejumlah kasus yang berkaitan dengan anggaran negara. Misalnya, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng yang pernah diperiksa KPK untuk kasus proyek pembangunan pusat pelatihan olahraga Hambalang, Jawa Barat. Juga, Menteri Agama Suryadharma Ali dalam dugaan penyelewengan anggaran pengadaan Al Quran.
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono diperiksa KPK sebagai saksi terkait penyidikan kasus dugaan suap pembahasan perubahan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Dana Pengikatan Tahun Jamak Pembangunan Venue Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012.
[ald]