Sri Rossyati memanggil dua anak laki-laki dan dua perempuan maju. Bocah-bocah yang lugu itu lalu berdiri di muka kelas. “Ayo anak-anak bernyanyi,†ujarnya.
Diiringi tepuk tangan, empat anak itu bernyanyi riang. Rossy mengajak anak-anak yang duduk di bangku ikut bernyanyi.
Kegiatan seperti ini biasa kita temui di kelas Taman Kanak-kaÂnak (TK). Anak-anak itu memang murid TK Sekolah Darurat KarÂtini di Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara.
Sesuai namanya, sekolah ini meÂmang dibangun seadanya. BaÂngunannya mirip bedeng. DeÂngan setengah dinding dari temÂbok dan atap dari asbes.
Kelas yang satu dengan lainnya hanya dipisahkan tembok setingÂgi pinggang. Suasana di dalam seÂkolah riuh suara anak-anak. Suara Rossy nyaris tak terdengar ketika kereta melintas di rel yang hanya berjarak tiga meter dari sekolah.
“Inilah kegiatan yang saya laÂkukan sehari-hari,†kata Rossy, guru sekaligus pendiri sekolah ini. Sekolah Darurat Kartini meÂnampung anak-anak pemulung, anak jalanan dan kalangan tidak mampu lainnya.
Berdiri sejak 1990, sekolah ini membuka pendidikan anak usia dini (PAUD), TK, SD hingga SMA. Ada 596 siswa yang beÂlajar di sini.
“Siswa PAUD hingga SMP masuk pagi hari. Sementara SMA masuk siang hari. Ini dilakukan karena kelas tidak muat,†kata Rossy yang mengenakan topi bunÂdar dan pakaian hijau ini.
Selain Rossy dan saudara kemÂbarnya Sri Irianingsih, ada enam guru yang mengajar di sekolah ini. “Semua guru tidak dibayar,†kata Rossy.
Seorang guru mengajar beÂbeÂrapa mata pelajaran. Rossy senÂdiri mengajar Agama Islam, BaÂhasa Arab, Bahasa Indonesia, MaÂtematika, Ilmu Pengetahuan SoÂsial (IPS), Sains dan PenÂdiÂdiÂkan Karakter. Dua guru mengajar tingkat PAUD dan TK.
Siswa SD kelas 1 diajarkan memÂbaca. Kelas 2 berhitung. PerÂkalian baru diajarkan di kelas 3. Di kelas 4 siswa barulah diÂkeÂnalÂkan dengan sejumlah mata peÂlaÂjaran. “Kita satukan saja. Kan peÂlajarannya itu-itu saja. Cuma di setiap kelas lebih mendalam pemÂbahasannya,†kata Rossy.
Pola yang sama juga diterapÂkan untuk siswa SMP dan SMA. “Masak iya belajar tiga tahun nggak lulus ujian. Kalau belajar sih pasti lulus,†ujarnya yakin.
Di luar pelajaran regular, siswa diajarkan sejumlah sopan santun. Misalnya table manner. Cara meÂmegang sendok garpu, gelas dan piring saat makan. Juga diajarkan cara melipat duduk, berbicara dan berinteraksi dengan orang lain.
Pelajaran tambahan itu, kata Rossy, untuk mengubah perilaku anak-anak jalan. Tujuannya agar mereka bisa berperilaku baik dan memiliki karakter.
Siswa di sekolah ini tak diÂpungut bayaran. “Malahan meÂreÂka dapat makan dan minum diÂtamÂbah susu dan bubur setiap harinya,†ujarnya
Semua makanan dan minuman dimasak sendiri orang dan siswa siswa yang sedang tidak ada peÂlajaran. Dana operasional sekolah ini berasal dari kocek Rossy, sauÂdara kembarnya dan sumbangan dari keluarga.
Kata Rossy, empat anaknya yang sudah bekerja menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu sekolah ini. “Ada yang bekerja sebagai dokter kanÂdungan, di perusahaan minyak asing hingga ada yang menjadi dosen,†katanya.
Satu-satunya bantuan dari peÂmerintah yang diterima sekolah ini adalah mesin jahit. Bantuan itu dari Kementerian Sosial. SisÂwa bisa belajar menjahit sehingga bisa memperoleh penghasilan.
Rossy meyakini langkahnya mendirikan Sekolah Kartini yang memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak dari keÂluarga miskin bisa turut menÂdoÂrong munculnya generasi yang berÂkualitas.
Walaupun berasal dari keluarga miskin, anak-anak itu memiliki kepribadian, kepercayaan diri, kemampuan, dan keterampilan yang tak kalah dengan siswa yang belajar di sekolah yang lebih baik.
Kini berlangsungan pendidikan bagi anak-anak keluarga miskin ini terancam. Sekolah ini bakal digusur karena berdiri di area terlarang.
Kepala Humas Daops I PT KeÂreta Api Indonesia (KAI) Mateta Rizalulhaq mengatakan, lahan yang digunakan Sekolah Kartini adalah milik BUMN itu. Surat pemberitahuan penggusuran pun sudah dilayangkan 2 Juli lalu.
“Kalau tidak ada izin pasti diÂbongkar. Tapi kalau ada izinnya mana mungkin dibongkar. Kita juga menghormati sehingga kita beri waktu tiga bulan untuk meÂreka,†katanya. Sekolah Kartini diÂberikan batas waktu hingga 9 SepÂtember 2012 untuk pindah.
Mateta menilai lingkungan tempat sekolah itu berdiri tak coÂcok untuk pendidikan. Sebab berada di kawasan pergudangan. “Kami berikan waktu (untuk pindah). Jadi kami tidak aroÂgan,†katanya.
Penggusuran ini, kata dia, unÂtuk mendukung operasional PT KAI. “Ya nantinya mau mengÂaktifkan kembali daerah itu atau akan dipergunakan untuk kereta api, apa saja.â€
Mateta belum bisa memastikan kapan penggusuran dilakukan. Pihaknya juga tidak berkewaÂjiÂban menyiapkan ganti rugi mauÂpun relokasi sekolah yang digusur.
“Sesuai Pasal 34 Undang-unÂdang Dasar 1945, anak-anak teÂlantar diperlihara negara. Jadi reÂlokasi itu kewajiban pemeÂrintah. Kalau ada upaya dari peÂmerintah mungkin saja ada temÂpat reloÂkasi. Itu kewajiban peÂmeÂrintah untuk mencerdaskan bangsa,†dalihnya.
Rossy menanggapi biasa renÂcana PT KAI menggusur Sekolah Darurat Kartini. Pasalnya, seÂkoÂlah yang didirikannya sudah lima kali digusur sebelum menempati lahan di pinggir rel Kampung BanÂdan. “Kalau digusur kami tinggal pindah. Yang penting anak-anak miskin bisa tetap sekolah.â€
Bila penggurusan dilakÂsaÂnaÂkan, sekolah akan dipindahkan ke bawah kolong tol Jalan Lodan Raya. “Kebetulan orang tua muÂrid siap membantu memindahkan barang-barang sekolah,†kata Rossy.
Menurut dia, proses belajar tetap berjalan bila ada meja, bangÂku dan papan tulis. “Kalau suÂdah ada itu proses belajar meÂngajar sudah bisa dilakukan, waÂlaupun nggak ada gedung,†kaÂtaÂnya enteng.
Lulusannya Ada Yang Jadi Polisi Dan Tentara
Kenapa tidak pindah ke temÂpat yang lebih layak? “Kalau saya beli ruko dan belajar di ruko, anak-anak nggak akan boleh masuk ke ruko itu. PaÂkaian mereka kan seadanya, beÂlum sampai (tempat belajar) suÂdah diminta keluar oleh saÂtÂpam,†kata Rossy.
Walaupun bangunan sekolah ini jauh dari layak, ia mengÂklaim banyak anak didiknya yang berhasil menempuh penÂdidikan sampai jenjang perÂguruan tinggi.
“Siswa Sekolah Darurat KarÂtini yang sampai ke perÂguÂruan tinggi sekitar 25 persen, 70 perÂsen bekerja, dan 5 persen kemÂbali ke terminal,†ujar Rossy. BahÂkan, ungkap dia, ada yang diterima di kepolisian dan TNI.
Rossy sangat telaten menguÂrusi sekolah untuk kalangan papah ini. Setiap hari dia sudah tiba di sekolah ini saat matahari baru terbit. “Jam 6 pagi saya suÂdah bersih-bersih sekolah, baru jam 5 sore pulang,†katanya. SeÂtelah selesai mengajar, ia pulang ke rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Hari Minggu yang meruÂpaÂkan hari libur sekolah diÂmanÂfaatkan Rossy untuk membeli keperluan anak-anak didiknya. SeÂkolah Darurat Kartini meÂnemÂpati bangunan berukuran 40x10 meter. Letaknya di teÂngah-tengah kawasan perÂguÂdangan Kampung Bandan.
Melihat dari bentuknya, baÂnguÂnan sekolah ini sepintas miÂrip gudang. Berbeda dengan guÂdang-gudang di situ yang berÂdinding suram, bangunan seÂkoÂlah ini dicat dengan warna ngejÂreng: merah muda dan hijau cerah.
Di samping kiri sekolah diÂbaÂngun bedeng kecil untuk meÂmaÂsak makanan. Bahan bakarnya menggunakan kayu. Beberapa siswa SD terlihat sedang meÂmasak. Masuk ke dalam sekoÂlah, terlihat meja dan bangku diÂtata berbaris. Tempat ini diÂpeÂnuhi anak-anak didik tingkat PAUD dan TK.
Sekat-sekat antar kelas hanya berupa tembok setinggi satu meÂter. Ruang yang lebih besar digunakan untuk tempat belajar siswa SD hingga SMA.
Di ujung ruangan ditemÂpatÂkan beberapa lemari besi untuk menyimpan peralatan sekolah. Dua kamar mandi disediakan di bagian belakang kelas.
Dipindah Ke Sekolah Negeri, Murid Hanya Bertahan Sebulan
Pendidikan gratis sudah diÂterapkan di Jakarta walaupun baru sampai level SMP. Tapi anak didik Rossy dari kalangan tidak mampu dan anak jalanan tetap memilih belajar di Sekolah Darurat Kartini. Kenapa?
Rossy menceritakan pada 2006 lalu sekolahnya digusur. BaÂngunan sekolah rata dengan tanah. Karena tidak ada tempat belajar, ia memindahkan ratusan anak didiknya ke sekolah negeri.
Tidak sampai sebulan, anak-anak didiknya kembali menÂcaÂrinya. Mereka meminta belajar lagi di Sekolah Kartini . “KareÂna tidak ada pilihan lain akhirÂnya saya membangun kembali sekolah dan menampung meÂreÂka kembali,†tutur Rossy.
Dengan kejadian ini, ia meniÂlai murid-muridnya lebih nyaÂman bersekolah di tempat ini diÂbÂanding sekolah negeri walauÂpun sama-sama tak dikenakan biaya.
Walaupun sekolah negeri graÂtis, kata Rossy, orang tua muÂrid masih dikenakan sejumÂlah biaya. “Kalau untuk keteÂramÂÂpiÂlan meÂreka bayar sendiri. DiÂsuÂruh meÂnari, ya bayar lagi Rp 50 ribu. Ya, nggak mampu. AkÂhirÂnya keÂluar dan putus seÂkolah,†katanya.
Tidak hanya itu, orang tu juga perlu mengeluarkan uang untuk membeli Lembar Kerja Siswa (LKS). “Mana mungkin anak peÂmulung bisa bayar LKS yang bisa mencapai ratusan ribu ruÂpiah,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:48
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:38
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:31
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:17
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:20
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:25
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:30