DIA masih nyungsep di selokan! Kotor, bau dan belepotan lumpur. Yah, lelaki itu masih tiarap, tertelungkup mencium lumpur got. Seperti serdadu Amerika dalam film Saving Privet Ryan. Susah payah dia benamkan wajahnya ke dalam lumpur, ketika pada akhirnya kawanan itu berhasil juga menemukanya. Terkapar tak berdaya, dengan wajah hitam legam bercampur bau. Dia diangkat juga dari tempat persembunyiannya itu.
Dia, Saiman si pedagang bakso, tidak berdaya ketika disergap di lubang persembunyian ketika kawanan itu dengan bangga mengangkut dan mengeluarkan Saiman dari selokan. Saiman melengos, wajahnya kotor, dia tertunduk. Sia-sia sudah upayanya untuk melarikan diri dari kejaran kawanan berseragam gelap. “Apes dah..â€
“Kijang satu sudah masuk tol, beri rumput, kijang satu sudah masuk tol. Ganti,†seseorang berkemeja yang warnanya lebih cerah sedang berbicara dengan orang yang ada di ujung Handy Talky. Perutnya gendut, dan berkacamata rayban a la Hunter. Dia muncul dari belakang kawanan yang telah menanggok Saiman dari dalam kubangan. Lalu dengan enteng diangkatnya kaki kirinya dan melayanglah sebuah tendangan ke arah tukang bakso itu. “Najis!†makinya pada Saiman.
Saiman kaget, dia tidak tahu, bagaimana orang itu bisa dengan gampang memberikan Saiman sebuah tendangan. Dia juga tidak ingat, bagaimana awal kejadia ini bermula. Tapi dia masih ingat ketika gerobak baksonya dikerubungi banyak orang. Hari ini...
“Sebagai penjual bakso apakah anda yakin kalau bakso anda ini bebas lemak babi?†tanya seorang pembeli yang mengaku dari dinas kesehatan dan kehalalan beberapa saat sebelum akhirnya Saiman memilih nyungsep di selokan.
“Oh, iya, yakin, seratus persen halal†singkat saja Saiman menuturkan. Orang itu mengangguk. Saiman masih sibuk melayani para pembeli. Dengan gesit tangannya meracik rempah-rempah yang menjadi resep andalannya.
“Termasuk tidak pakai penyedap rasa,â€
“Tidak pakai penyedap rasa?â€
“Merek apa saja,â€
“Tidak pakai apa-apa?â€
“Betul, tidak pakai apa-apa,â€
“Tak pakai apa-apa? Lantas kenapa rasanya begini lezat?â€
“Terang saja, lezat, saya ada resep khusus,â€
“Resep khusus? Apa itu?†tanya orang itu.
Saiman terdiam sejenak. Sedikit ragu. Tapi dia harus menjawab pertanyaan itu…
 Lantas didekatinya orang itu, setengah berbisik, dia mulai menjelaskan rahasia kelezatan baksonya.
 Namun belum habis semua rahasia kelezatan baksonya dibeberkan, orang itu merenggut tangan Saiman. Mangkok yang berisi kuah bakso yang ada di tangannya jatuh. Belum hilang kekagetan Saiman, seorang yang lain tiba-tiba muncul dari kerumunan pembeli yang merubungi gerobak dorongnya. Dan mendorong habis semua dagangan lelaki yang sehari-harinya memang menggantungkan nasib dari berdagang bakso.
 Kerumunan pembeli yang merubungi gerobak Saiman sontak bubar. Kepanikan mereka semakin menjadi-jadi, tatkala seorang di antara mereka tiba-tiba mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. “Jawab atau mati!†perintahnya sambil menodongkan pistol itu tepat di ujung hidung Saiman yang masih kaget. Â
Lelaki beranak dua itu tak mampu menahan takutnya. Baginya sergapan itu adalah kejutan yang benar-benar membuatnya terkejut.
 Masih tak percaya, Saiman mencoba mengingat hal-hal yang telah dialaminya di sepanjang perjalanan. Seingatnya dia tak menemukan hal-hal aneh. Atau melakukan kejahatan di sepanjang jalan dari rumahnya menuju komplek Damai Sentausa. Dia juga tak ingat betul apakah hari ini adalah hari ulang tahunnya.
 “Ayo, jawab, atau mati!†hardik orang berpistol itu lagi.
“A…aa…ap…apa yang harus saya jawab, Pak?†Saiman balas bertanya.
 Sebuah tinju mendarat di pelipis kanannya. Dia terhuyung, sebelum akhirnya terjerembab ke aspal jalanan komplek.
 “Saiman dipukul orang,†jerit babu-babu yang tinggal di komplek itu.
Semua terperangah. Mengintip dari dalam pagar rumah majikannya. Mencemaskan nasib Saiman, satu-satunya tukang bakso yang masih berani lewat dan berdagang bakso di komplek itu.
 “Kenapa masih berani?†tanya orang yang membawa pistol. Tangan Saiman dipelintir ke belakang. Saiman menggeram menahan sakit.
 “Aa..ampun Pak, tobat deh,â€
“Ngga pake. Sudah berapa kali kau diperingatkan?â€
“Baru ini Pak. Sumpah.â€
“Dusta!†sebuah pukulan kembali mendarat di perutnya. Kali ini, si penanya ikut-ikutan memberikan dia hadiah sebuah pukulan.
“Beb..betul Pak. Kalau tahu saya akan diperlakukan seperti ini, saya pasti tak menjawab pertanyaan bapak. Saya pasti kabur Pak. Kabur…â€
 Wajah Saiman diangkat, janggutnya yang tumbuh panjang namun jarang-jarang diremas gemas oleh si penanya yang mengaku dari dinas kesehatan dan kehalalan.
 “Ada apa di gerobakmu?â€
 Saiman semakin bingung. Jelas dia membawa bakso. Dia berpikir apakah orang ini sebenarnya tak tahu atau sedang memancing Saiman dengan sebuah pertanyaan, yang apabila dijawab, dia tetap dihadiahi pukulan. Maka Saiman memilih untuk diam. Tak menjawab.
 “Kau bawa apa? Bawa formalin?â€
Saiman menggeleng. Dia tetap tak mau menjawab.
 Di rumah salah seorang warga, sekelompok babu tengah berkumpul.
“Saiman, pedagang bakso yang berani itu. Akhirnya ditangkap juga,â€
“Oleh siapa?â€
“Trantib,â€
“Trantib berpistol?â€
“Trantib berpistol, dan AK-47â€
“Juga pakai masker,â€
“Juga pakai masker?â€
“Pakai baju anti peluru jugaâ€
“????â€
“????????â€
 Tiba-tiba pembicaraan para babu itu terhenti. Sebuah letusan menggema di angkasa. Dua kali letupan terdengar. Setelah itu senyap. Para babu bubar dan masuk ke rumah majikannya masing-masing.
 Di tempat kejadian perkara, gerobak bakso Saiman tergeletak jatuh. Kuah bakso membasahi jalanan yang panas. Bakso-bakso menggeliding, berhamburan di aspal.
 “Kejar dia…kejar dia!†perintah orang berpistol.
 Jalanan sepi. Tak ada seorang pun yang berani menampakkan diri.
 “Hati-hati, seorang teroris baru melarikan diri. Jangan biarkan dia masuk ke rumah anda.†Kata orang berpistol mengingatkan warga.
 Sirine dibunyikan. Meraung-raung membuncah siang yang gersang. Para babu mendengar pesan itu. Pesan kematian atau pesan yang hampir mendekati kematian.
 “Tak mungkin, dia tukang bakso,â€
“Betul, aku tak percaya,â€
“Mungkin dia agen formalin,â€
“Bisa jadi, sebab baksonya lezat dan membuat ketagihan,†Â
***
Dari dasar lumpur kemudian Saiman diseret paksa. Wajahnya hitam legam bercampur bau khas comberan.
 Kaosnya basah dan sandal jepit sebelah kanannya tertinggal di selokan. Dia begitu kotor sekarang. Tak beralas kaki dan bau comberan.
 “Tenang saudara-saudara. Tukang baksonya tertangkap. Komplek ini sudah aman,†teriak orang berpistol. Semua penghuni komplek keluar dari rumahnya. Ada yang bingung, tak mengerti perihal kejadian sebenarnya. Ada juga yang beranggapan, ini semacam pengambilan gambar dalam syuting film. Bahkan ada juga penghuni yang keluar pagar, kemudian tanpa merasa bersalah kembali masuk ke dalam rumahnya. Dan membanting pintu dengan keras.
 Tinggal para babu yang setiap siang menantikan Saiman lewat dengan bakso-baksonya yang murah.
 “Dasar rese, sekarang kita tak bisa lagi menyantap bakso,â€
“Habis, semua tukang bakso sudah diangkut.â€
“Pasti ada mata-mata di antara kita,â€
“!!!!â€
“!!!!!!!!â€
 ***
Sorenya, jalanan tempat terjadinya penyergapan Saiman banyak dikunjungi orang. Semua warga komplek berdecak kagum pada peninggalan gerobak Saiman yang masih dibiarkan tergeletak melintang di tengah jalan. Khususnya para babu di komplek, yang saban siang menantikan kehadiran Saiman, satu-satunya pedagang bakso yang tersisa di kota itu.
 “Kasihan, anak istrinya pasti sedang gelisah sekarang.â€
“Di mana Saiman?â€
“Gerobaknya begitu agung, seperti fosil mummi di Ginza,â€
 Ramai orang-orang bersimpati terhadap nasib Saiman. Banyak diantara mereka yang masih tak percaya. Saiman tertangkap dan diperlakukan layaknya seorang raja kriminal.
 “Tak mungkin Saiman tertangkap, dia ‘kan jagoan,†bisik seorang babu sambil menyuapkan makanan ke mulut anak majikannya.
“Wah saos ada di mana-mana,†teriak seorang babu yang lain.
“Ini kuah atau darah? Kok luar biasa merah?â€
“Baksonya bau bangkai,†ujar salah seorang babu sambil menutup hidung.
 ***
Sampai malam, gerobak bakso Saiman belum dipindahkan. Tak ada seorang pun yang berani menyentuh benda itu, apalagi membersihkan aspal jalanan dari kuah bakso Saiman yang semakin malam semakin kelam warnanya. Semakin amis baunya.
 Pukul 21.00, babu-babu masih merumpi di rumah majikan salah seorang dari mereka yang tak jauh dari gerobak bakso Saiman yang terkapar, menyerah pada kenyataan. “Semoga tak terjadi apa-apa dengan Saiman, oh, Saiman yang malang…†doa seorang babu.
“Aku memimpikan sosok pemberani seperti Saiman, muncul dalam hidupku,†bisik seorang babu yang lain.
“Saiman bukan agen formalin,â€
“Aku ngefans sama janggutnya yang menjuntai indah seperti sarang tawon,â€
“Sttt… dia satu-satunya lelaki yang tersisa dengan janggut yang tumbuh di dagunya.†seorang babu memperingatkan temannya.
“Benar, lelaki berjanggut itu seksi.†sambung seorang babu dengan lentik mata yang nakal.
 Klakson mobil dibunyikan, gerbang dibuka. Dari luar si majikan memerintahkan untuk membuka pintu garasi.
Buyarlah semua cerita dan khayalan tentang Saiman. Tentang bakso Saiman dan tentang janggut Saiman.. Babu-babu bubar. Masuk ke rumah majikannya masing-masing.
 Pukul 11 malam. Jalan di komplek itu benar-benar lengang. Tinggallah gerobak bakso dorong Saiman yang masih terbujur dan mengeluarkan bau yang semakin busuk.
 ***
“Kamu simpan di mana?â€
“Tidak tahu Pak,â€
“Kenapa tidak tahu? Kamu mau bohong ya?â€
“Beb…benar Pak, saya tidak bohong Pak, tapi saya benar-benar tidak tahu,â€
Gedebuk! Suara benda tumpul beradu.
“Sudah berapa kali kamu ikut operasi?â€
 “Operasi apa Pak? S..sa….saya tak tahu apa-apa tentang operasi…â€
Gedebuk! suara itu kemudian disusul dengan teriakan yang menyayat.
“Ngeyel kamu! Ngaku sajaâ€
“Ampun Pak, saya ngaku, sa…sa…saya..â€
Kemudian tangan Saiman semakin dipelintir ke belakang. Dua orang berbaju gelap terkekeh melihat Saiman yang akhirnya mau mengaku juga.
 “Sa..saya… terpaksa jual bakso….†erang Saiman, air matanya menetes ke dagu dan membasahi janggutnya yang panjang. “de…demi.. a..anak sa..sa..sa..saya Pakâ€
 Gedebuk! Saiman salah menjawab. Akibatnya pentungan kembali didaratkan ke tubuhnya yang ringkih.
 Seorang lain yang menginterogasi Saiman kemudian mengangkat wajah Saiman. Darah mengalir di sekujur wajah pedagang bakso itu. Merah sekali seperti saos. Saos yang kental seperti di dalam mangkuk berisi mie, kuah dan bakso.
 “Apa ini?†Tanya orang itu lagi sambil menjambak gemas janggut Saiman yang basah karena siraman darah.
 Pertanyaan ini tentu menjebak, pikir Saiman. Tidak ada hubungan antara bakso dan janggut. Maka dia memilih tak menjawab.
 “Kau tak menonton tv ya?†bentak orang itu. Saiman menggeleng. Dia tak tahu apa-apa, apalagi perihal tv dan tayangannya.
 Seorang yang lain dari interogator mendekati Saiman. Dengan tenang didaratkannya sebuah pukulan tepat menetak tengkuk Saiman. Saiman tersungkur ke depan. Dia tertelungkup di lantai yang basah oleh merah. Kejang-kejang, menahan sakit yang paling sakit. Saiman menggelepar kehabisan tenaga. Dia tak mampu bangkit dan mendengar pertanyaan mereka lagi.
 “Kenapa kau pukul dia?†tanya si penanya kepada penanya yang memukul tengkuk Saiman.
“Bertanya, aku sedang bertanyaâ€
“Kau tahu aturannya?â€
“Tahu, aturannya adalah dia mau mengaku dengan cepat,â€
“Sekarang dia terkapar,â€
“Betul dia terkapar. Aku juga lihat sekarang dia tengah kejang-kejang,â€
“Kalau begitu kenapa kau tambah dengan memberinya sebuah tinju,â€
“Tidak ada apa-apa, aku cuma kesal pada janggutnya.â€
“Kesal pada janggutnya?â€
“Iya, janggutnya yang menggantung seperti sarang lebah itu… aku muak melihatnya,â€
“Kau muak? Lalu kau pukul dia sampai setengah mati?â€
“Tak kupukul dia juga pasti mati. Dia kan orang yang paling kita buru. Lantas buat apa kita biarkan dia hidup?†lalu orang itu menunduk ke arah Saiman dan membalikkan posisi tubuh Saiman yang terkulai lemah di lantai.
 Nafas Saiman terdengar sesak. Matanya melotot. Darah segar menetes dari matanya.
 “Aku sungguh-sungguh muak dengan janggutnya. Muak!â€
“Terserahlah, tapi kau tak bisa begitu. Kalau atasan tahu….â€
“Kenapa? Kau mau melapor?â€
 Si penanya pertama diam. Dia melirik pada Saiman yang tengah sekarat.
 “Tapi wartawan pasti akan bertanya-tanya soal kematiannya.â€
“Kau takut?†penanya kedua bangkit menuju jendela. Dari jendela terlihat jelas, pemandangan kota dan komplek dimana Saiman ditangkap.
 “Indah sekali kota ini. Bila dilihat dari lantai tujuh, semua begitu sepi dibuai angin malam,†sambungnya.
 Saiman masih mendengar pembicaraan mereka. Dia masih tak habis pikir. Kenapa dia mendapat nasib pahit yang begitu karib.
 “Buat saja laporan, dia melompat saat hendak diinterogasi. Gampang bukan?â€
 “Wah, seperti seorang anarkis yang mati kebetulan[1]?â€
“Seperti seorang anarkis yang mati kebetulan.â€
“Hebat.†jawab si penanya pertama. Dia melangkah mendekati Saiman. Membuka ikatan tangan Saiman.
 “Jam berapa sekarang?â€
“Masih gelap. Betul-betul gelap.â€
 Lantas tubuh Saiman diangkat. Tinggi sekali. Sehingga Saiman dapat melihat lantai ruangan yang putih dengan jelas. Janggutnya melambai. Dia tak bisa lagi berontak.
 ***
Di komplek Damai Sentausa. Bakso-bakso Saiman mulai dikerubuti semut-semut. Baunya semakin busuk. Mengganggu tidur para babu yang setiap siang menantikan Saiman lewat dengan gerobak dorongnya.
 “Saiman, mari sini, aku mau beli. Tidak pakai saos, tidak pakai sambel, juga tidak pakai kol.â€
 Sekarang Saiman bisa mendengar panggilan para babu yang tengah memimpikan kehadirannya. Saiman melayang, jam empat pagi. Lelaki itu masih ingat gerobak baksonya masih tertinggal di Komplek Damai Sentausa.
Catatan
1. Naskah drama "Anarki itu Mati Kebetulan†berkisah tentang kebusukan petugas hukum yang membunuh seorang tersangka pelaku pemboman dengan cara melemparkan si pelaku dari lantai gedung yang tinggi. Kejahatan itu kemudian terbongkar setelah seorang gila mengacak-acak dokumen dan arsip berita acara pemeriksaan.