Berita

Dhana Widyatmika (DW)

X-Files

Rp 11,4 Miliar Masuk Ke Rekening Dhana

Dakwaan Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang
KAMIS, 05 JULI 2012 | 09:22 WIB

RMOL. Selain disidang karena kasus korupsi, pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika juga didakwa melakukan pencucian uang.

Uang yang dicuci itu, dicurigai jaksa merupakan hasil korupsi Dhana Widyatmika (DW). Soal­nya, tak sesuai dengan profil peng­hasilan resmi DW sebagai pe­ga­wai negeri sipil (PNS). Misalnya, gaji yang dibawa pulang DW (take home pay) pada 2008 selu­ruhnya Rp 129.625.850, pada 2009 sebesar Rp 140.697.150, pada 2010 sebesar Rp 137.237.317, pada 2011 sebesar Rp 129.201.742.

DW diangkat sebagai PNS Direktorat Jenderal Pajak pada 22 November 1995 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-1583/SJ.2.3/UP.1/95. Jabatan awalnya adalah Ac­count Representatif pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Dua, dengan struktur gaji berupa gaji pokok dan tun­jangan khusus (uang makan dan uang visit atau insidentil).

Menurut dakwaan jaksa penun­tut umum (JPU), pria kelahiran 3 Maret 1974 ini, memiliki peng­hasilan lain di luar pekerjaannya sebagai pegawai Ditjen Pajak. Yakni, gaji sebagai Komisaris PT Mitra Modern Mobilindo sebesar Rp 10 juta setiap bulan, sejak ta­hun 2006 sampai Februari 2012, atau sebelum dia ditahan K­e­jaksaan Agung.

Kemudian, penghasilan dari pe­ternakan ayam yang dikelo­la­nya bersama seseorang bernama Abdul Karim sejak Agustus 2009 sampai Februari 2012. Dari usaha itu, dia memperoleh keuntungan Rp 104.709.429 atau sekitar Rp 3.377.723,50 per bulan.

DW juga memperoleh peng­ha­silan dari usaha minimarket Be­tamart. Keuntungannya, Rp 7 juta hingga Rp 10 juta per bulan. Itu­lah antara lain sumber peng­ha­si­lan resmi DW. Tapi, berdasarkan dak­waan, DW juga menerima se­jumlah uang yang dicurigai  me­rupakan hasil korupsi. “Uang itu ditransaksikan dengan maksud me­nyembunyikan atau menya­mar­kan asal usulnya,” tandas JPU Wismantanu di Pengadilan Ti­pikor, Jakarta.

Dari penelusuran jaksa penyi­dik, ditemukan uang milik DW bertebaran antara lain di Bank CIMB Niaga Cabang Jakarta, Private Banking dengan Nomor Rekening 0530100848117 yang berisi sebesar Rp 4.085.028.105,5, di Bank HSBC Cabang Jakarta Kelapa Gading dengan nomor re­kening 018062430808 sejumlah Rp 2.632.620.502, di Standard Chartered Bank dengan total 271.643.59 Dolar AS.

Kemudian, di Bank Mandiri Cabang Jakarta Imam Bonjol dengan nomor rekening 12200­8­8­0­906709 sebesar Rp 474. 500.315, di CIMB Niaga Jakarta Su­dirman dengan nomor rekening 2370102814188 sebesar Rp 54.000.000, di CIMB Niaga Jakarta Sudirman dengan nomor rekening 0530200669007 sebesar 30.545.05 Dolar AS, di BCA KCU Jakarta Kalimalang dengan nomor rekening 2300860861 sebesar Rp 4.169.736.347.

Jadi, tegas Wismantanu, jum­lah uang masuk ke rekening-re­ke­ning itu adalah Rp 11.415.885.270 (se­kitar Rp 11,4 miliar) dan 302.189 Dolar Amerika Serikat.

DW juga menyimpan uang dalam bentuk mata uang Dinar Irak, Riyal Saudi Arabia dan Do­lar Singapura. Dia menyimpan uang itu di safe deposit box Bank Mandiri, cabang Mandiri Plaza no­mor 40572 dan di rumahnya, di Perum Curug Indah Jalan Elang Indopura Blok A7/15 RT 004 RW 008 Cipinang Melayu, Kelurahan Cipinang Melayu, Ke­camatan Makasar, Jakarta Timur.

DW juga didakwa mendapat gratifikasi Rp 2 miliar dari ter­sangka Herly Isdiharsono selaku sesama pegawai Ditjen Pajak, terkait pengurangan kewajiban pajak PT Mutiara Virgo. Uang itu dikirim ke rekening DW di Bank Mandiri Cabang Jakarta Nindya Karya Nomor 070-0004493545 pada 11 Januari 2006 sebesar Rp 3,4 miliar.

Uang itu digunakan untuk membeli rumah di Jalan Pemuda, Taman Berdikari Sentosa, Blok E Nomor 1-2 Rawamangun, Jakarta Timur atas nama Herly Isdi­har­sono, sebesar Rp 1,4 miliar. “Se­besar Rp 2 miliar digunakan Dha­na untuk kepentingan pri­ba­di­nya,” tandas Wismantanu.

Menurut pengacara DW, Lutfi Hakim, dakwaan jaksa tidak se­suai fakta. Lantaran itu, me­nu­rut­nya, JPU tidak percaya diri mem­bawa kasus ini ke pengadilan. “Sebelumnya gembar-gembor soal uang Rp 60 miliar, nyatanya tak ada dalam dakwaan. Hanya 1 sampai 2 miliar,” katanya.

REKA ULANG

Dari Emas Hingga Properti

Pengacara Dhana Widyat­mika (DW), Lutfi Hakim tak te­rima kliennya didakwa melaku­kan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Menurut Lutfi, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) mengenai pencucian uang itu tidak kon­sisten. “Pencucian uangnya tidak jelas, karena JPU tidak bisa me­nyebut­kan berapa jumlah total TPPU dan apa predikat crime­nya,” tegas dia.

Berdasarkan dakwaan JPU, DW juga berupaya menyem­bu­nyi­kan uang yang diduga hasil ko­rupsi dengan cara membeli lo­gam mulia Fine Gold Aneka Tam­bang pada 9 Mei 2011 sebe­rat 1100 gram. Emas itu ke­mu­dian disimpan di safe deposit box Bank Mandiri, Cabang Mandiri Plaza, nomor 40572.

DW juga menggunakan uang untuk membeli tanah dan pro­perti. Ada 11 kavling tanah yang dibelinya. Selain itu, DW mem­beli satu buah kotak berisi jam tangan merek Tissot, Mon­a­co, Co­rum dan tali jam merek Pro Tek, satu unit jam tangan merek Rolex dengan harga Rp 103.000.000.

Modus lainnya adalah membeli mobil yang seolah-olah barang da­ga­ngan PT Mitra Modern Mobi­lindo 88, showroom milik DW dan rekannya sesama pega­wai Ditjen Pajak, Herly Isdihar­sono. Ada 16 unit kendaraan roda empat ber­ba­gai merek dan truk yang dibelinya.

DW juga menginvestasikan harta kekayaan yang diduga ber­asal dari hasil korupsi ke bidang properti, yakni bekerjasama de­ngan PT Bangun Persada Se­mes­ta. Dia juga menempatkan uang di 29 penyedia jasa keuangan.

Aset dan kekayaan PNS golo­ngan 3 C yang begitu besar itu, dicurigai berasal dari sejumlah tindak pidana korupsi terkait pekerjaan dan jabatannya sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pa­jak Kementerian Keuangan.

Perbuatan penempatan, trans­fer, pengalihan, pem­belanjaan, pem­ba­ya­ran, menukarkan de­ngan mata uang atau surat ber­har­ga atau per­buatan lain yang dila­kukan DW atas harta keka­yaan­nya, tidak se­suai dengan penda­patan yang di­peroleh, serta tidak dapat diper­tanggungjawabkan secara legal.

Lantaran itu, DW antara lain di­dakwa dengan ancaman pidana Pasal 3 Undang Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pi­dana Pencucian Uang junto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

Minta Jaksa Terapkan Jurus Pembuktian Terbalik

Alvon Kurnia Palma, Ketua YLBHI

Ketua Yayasan Lembaga Ban­tuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengingatkan, jaksa penuntut umum (JPU) mesti jeli melihat apa saja tindakan Dhana Wid­yatmika (DW) yang melawan hukum.

Penerapan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU), menurutnya, akan sangat efektif mengusut korupsi yang didak­wakan kepada DW. “Artinya, DW harus membuktikan bahwa uang yang diterimanya meru­pa­kan aktivitas keuangan yang legal. Di situ jaksa harus me­nge­jar, apakah uang itu legal atau tidak,” katanya, kemarin.

Lantaran itu, Alvon me­nya­rankan jaksa penuntut umum (JPU) agar menggunakan pem­buktian terbalik dari DW, apa­kah seluruh harta kekayaan pe­gawai negeri sipil (PNS) go­lo­ngan 3 C itu berasal dari dana yang legal. “Kalau terdakwa ti­dak bisa membuktikan, artinya harta kekayaan yang ada pada ter­dakwa tidak legal,” tandasnya.

JPU, menurut Alvon, juga bisa menggunakan Pasal 12 E Undang Undang Tindak Pidana Korupsi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta itu. “Karena dalam dakwaan itu ada unsur pemerasan,” ujarnya.

Selanjutnya, dari persidangan tersebut, para pelaku lainnya yang belum menjadi tersangka mesti diproses secara hukum juga. Tapi, lanjutnya, proses pem­b­uktian di pengadilan, ter­masuk menjerat dan mem­bong­kar para pelaku lainnya, sangat tergantung pada dakwaan ter­sebut. “Ini sangat tergantung pada dakwaan yang telah dibuat ke­jaksaan,” katanya.

Banyak Celah Kaburkan Substansi

Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Deding Ishak mewanti-wanti, pengusutan kasus korupsi pajak dan pencucian uang mesti se­penuh hati. Persoalannya, me­nu­rut dia, seringkali aparat pe­negak hukum memanfaatkan ce­lah untuk “membonsai” ka­sus. Sehingga, perkara-perkara yang mengandung nilai keru­gian negara itu, lari dari sub­stansinya.

“Banyak celah bagi penegak hukum untuk menyembunyikan atau mengaburkan substansi perkara korupsi dan pencucian uang seperti ini. Karena itu, per­lu kontrol masyarakat,” kata­nya, kemarin.

Bila mengedepankan faktor subyektifitas aparat penegak hukum, menurut Deding, sam­pai kapan pun proses pengu­su­tan kasus korupsi, seperti yang terjadi pada sektor pajak, tidak akan pernah mengalami per­kembangan signifikan.

“Kasus korupsi dan pen­cu­cian uang di sektor pajak ini, sampai sekarang belum mak­si­mal pengusutannya. Penegakan hukumnya masih setengah hati. Dakwaan jaksa juga setengah hati,” nilainya.

Dia curiga, pengusutan terke­san mandul karena proses hu­kum yang kental unsur sub­yek­tifitasnya. “Dalam proses pe­ne­gakan hukum, ada proses sub­yektifitas dari penyidik, penun­tut dan hakim. Nah, itu harus di­awasi terus. Semoga pengu­su­tan kasus Dhana Cs ini tidak me­ngedepankan unsur sub­yek­tifitas jaksa dan hakim.”

Deding juga berharap, dak­wa­an yang telah dibacakan di persidangan itu dibuat sepenuh hati. “Kalau jaksa membuat dak­waan, harus membuat dak­waan yang menjerat pihak lain yang terlibat, seperti meng­gu­na­kan pasal-pasal dalam Un­dang Undang Pencucian Uang. Bongkar semua yang terlibat,” tandasnya.

Membongkar para pelaku ko­rupsi atau mafia pajak, lan­jut­nya, harus penuh komitmen dan ke­seriusan. “Bongkar semua ma­fia pajak itu. Kemudian, hu­kum seberat-beratnya. Ingat, pajak adalah sumber pe­ne­ri­ma­an kas negara terbesar,” tegasnya.

Deding menambahkan, pe­ne­ga­kan hukum semestinya tidak berkutat pada pendekatan legal formal semata. “Harus menge­depankan penegakan hukum yang substansial. Dari proses yang terjadi, bisa kita lihat arah pemberantasan korupsi kita kemana,” ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya