Berita

Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

X-Files

Tersangka Kasus UNJ Baru Sekali Dipanggil

Setelah 7 Bulan Keluar Surat Perintah Penyidikan
JUMAT, 08 JUNI 2012 | 10:55 WIB

RMOL. Setelah lama tak ada kabar perkembangannya, penyidik Kejaksaan Agung kembali menyenggol kasus penggelembungan harga alat laboratorium dan alat penunjang pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun anggaran 2010.

Kemarin, penyidik me­man­g­gil dua tersangka kasus ini untuk di­mintai keterangan. Yaitu, Pe­jabat Pembuat Komitmen (PPK) Fakhrudin yang juga Pembantu Rektor III UNJ dan Ketua Panitia Lelang Tri Mulyono yang juga dosen Fakultas Teknik UNJ. Tapi, Fakhruddin tidak me­me­nuhi panggilan penyidik tanpa ala­san, alias mangkir.

“Untuk kasus UNJ, dilakukan pemeriksaan tersangka TM dalam kapasitas sebagai saksi un­tuk tersangka F,” ujar Kepala Pu­sat Penerangan Hukum Ke­jaksaan Agung Adi Toegarisman, kemarin.

Adi menambahkan, pengusu­tan kasus ini masih berjalan. Akan tetapi, belum ada tersangka baru. Sejauh ini, hanya Fakhrudin dan Tri Mulyono yang disangka melakukan penggelembungan harga alat laboratorium dan alat penunjang pendidikan UNJ.

Dalam pengadaan itu, spe­si­fikasi barang tak sesuai kualitas yang diinginkan. Akibatnya, me­nurut Kejagung, negara me­nga­lami kerugian sekitar Rp 5 miliar dalam proyek senilai Rp 17 miliar tersebut. Lantaran itu, kedua ter­sangka dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Pem­be­ran­ta­san Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Kendati begitu, Kejaksaan Agung baru pertama kali me­me­riksa tersangka kasus ini. Itu pun hanya tersangka Tri Mulyono yang diperiksa sebagai saksi bagi tersangka Fakhrudin, kemarin. Padahal, surat perintah penyidi­kan terhadap dua tersangka itu su­dah resmi keluar pada 1 No­vem­ber 2011. Persisnya, Surat Pe­rin­tah Penyidikan (Sprindik) Nomor 161 dan 162/F.2/Fd.1/11/2011. Artinya, Kejagung baru meme­rik­sa tersangka setelah Sprindik itu berusia 7 bulan.

Pada 1 Desember 2011, penyi­dik memang telah mendatangi kantor kedua tersangka. Akan te­tapi, belum melakukan peme­rik­sa­an. Ketika itu, penyidik hanya menyita dokumen lelang dan su­rat kontrak pengadaan.

Kemudian, pada 13 Februari 2012, penyidik mengorek ketera­ngan salah seorang saksi kasus ini, yakni Mindo Rosalina Ma­nullang yang telah menjadi ter­pi­dana kasus suap Wisma Atlet. Saat itu, penyidik Kejagung me­meriksa Rosa sebagai saksi kasus UNJ di kantor KPK, Jalan Rasu­na Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Rosa yang berada dalam per­lin­dungan Lembaga Perlin­du­ngan Saksi dan Korban (LPSK), tidak diperkenankan dibawa ke kantor Kejagung. Akhirnya, pe­nyidik Kejaksaan Agung me­me­riksa Rosa di kantor KPK.

Kejagung mengusut tiga kasus yang diduga melibatkan Rosa. Yakni, perkara korupsi penga­da­an alat laboratorium di UNJ, ka­sus korupsi di Kementerian Aga­ma dan perkara korupsi penga­daan alat kesehatan di Ke­men­terian Kesehatan.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo menga­ta­kan, KPK hanya menjadi tem­pat pemeriksaan Rosa terkait tiga kasus tersebut. Perkara Rosa yang ditangani KPK, lanjutnya, berbeda dengan kasus yang di­tangani Kejaksaan Agung.

Apakah, kasus-kasus itu akan kembali menyeret Nazaruddin, bos Rosa? Advokat Ahmad Ri­vai yang sempat menjadi kuasa hu­kum Rosa menyatakan, Rosa ha­nya berperan sebagai ba­wa­han yang melaksanakan pe­rin­tah bosnya.

“Bosnya kan Anda tahu siapa. Karena itu, kami meminta aparat penegak hukum, baik Kejaksaan Agung dan KPK untuk mengusut tuntas semua pihak yang terlibat,” ucapnya.

REKA ULANG

Nazaruddin Belum Diperiksa Sebagai Saksi

Kasus korupsi pengadaan alat laboratorium dan alat penunjang pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), bermula dari pe­netapan pemenang tender proyek ini, yakni PT Marell Mandiri. Te­tapi, pengerjaannya diduga di­la­ku­kan PT Anugerah Nusantara yang masih satu konsorsium de­ngan PT Permai Group.

Nah, PT Anugerah Nusantara di­koordinir Mindo Rosalina Ma­nulang, anak buah bekas Ben­da­hara Umum Partai Demokrat Mu­hammad Nazaruddin. PT Anu­gerah Nusantara merupakan s­a­lah satu anggota konsorsium PT Permai Group yang dikoordinir Mindo Rosalina Manulang. Ba­nyak perusahaan dikoordinir Rosa.

“PT Anugerah Nusantara yang di­koordinir Mindo Rosalina me­minjam PT Marell. Di situlah tim­bul dugaan mark up,” tegas Noor Rochmad, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung saat kasus ini mulai ber­gulir di Kejagung.

Kasus korupsi di UNJ ini, me­nambah panjang daftar perkara yang menyeret nama anak buah Nazaruddin itu. Sekadar me­ngi­ngatkan, Majelis Hakim Pe­nga­dilan Tindak Pidana Korupsi (Ti­pi­kor) Jakarta telah memvonis Rosa terbukti terlibat kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games. Majelis hakim men­ja­tuh­kan hukuman 2,5 tahun penjara untuk Rosa.

Akankah kasus pengadaan alat-alat laboratorium di UNJ itu juga akan bergulir ke arah Na­za­ruddin? Saat itu, Noor Rochmad ti­dak menjawab secara pasti. Ha­nya, dia mengatakan, Kejaksaan Agung tidak akan segan-segan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang terbukti terlibat kasus tersebut. “Jika cukup bukti, siapa pun akan dimintai per­tang­gungjawabannya,” kata dia.

Tapi, sejauh ini, Kejaksaan Agung belum menetapkan pihak swasta sebagai tersangka kasus UNJ. Bahkan, hingga kemarin, penyidik Kejagung belum pernah memeriksa Nazaruddin sebagai saksi kasus UNJ. Sedangkan Rosa, baru sekali dimintai ketera­ngan sebagai saksi oleh penyidik Kejagung di Gedung KPK.

Tersangka kasus ini baru dari pihak UNJ, yakni Pejabat Pem­buat Komitmen (PPK) Fakhrudin yang juga Pembantu Rektor III dan Ketua Panitia Lelang Tri Mul­yono yang juga dosen Fakul­tas Teknik. Kedua tersangka itu, hingga kemarin belum ditahan Kejaksaan Agung.

Sementara itu, penanganan sejumlah perkara korupsi yang diduga melibatkan Nazaruddin Cs, sepertinya tumpang tindih. Soalnya, KPK juga melakukan penyidikan terkait kasus korupsi di beberapa perguruan tinggi.

Tapi, KPK dan Kejaksaan Agung sudah membuat me­mo­ran­dum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman un­tuk mengusut kasus-kasus korupsi di berbagai sektor, ter­masuk sektor pendidikan.

Kasus pengadaan laborato­rium, terdapat di lima universitas, yakni Universitas Sriwijaya, Uni­versitas Sultan Ageng Tir­tayasa, Universitas Negeri Jakarta, Uni­versitas Jenderal Soedirman dan Universitas Malang. Kasus-kasus itu merupakan hasil pengem­ba­ngan kasus Nazaruddin.\

Sebelumnya, pimpinan KPK per­nah merilis ada sekitar 30 ka­sus yang diduga melibatkan Na­zaruddin. Diantaranya adalah ka­sus pengadaan peralatan la­boratorium di beberapa uni­er­sitas.


Apa Kasus UNJ Digoreng Dulu

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menilai, penanganan perkara korupsi pengadaan alat laboratorium Universitas Negeri Jakarta (UNJ), berjalan sangat lambat di Kejaksaan Agung.

Lantaran itu, Eva meragukan ketulusan Kejaksaan Agung menangani kasus tersebut. “Waduh, apa digoreng dulu itu kasus? Banyak juga kasus yang dipendam di sana,” katanya, kemarin.

Jika Kejaksaan Agung serius mengusut kasus, lanjut dia, ten­tu semua prosedur (SOP) dan tata tertib pasti dipatuhi. “Ke­ja­gung perlu mematuhi tata ter­tib pemrosesan kasus, se­ba­gai­mana yang sudah disepakati, termasuk dengan polisi, bahwa ada batasan waktu untuk tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Ini berkaitan de­ngan kepastian hukum yang ber­dampak pada HAM sese­orang,” katanya.

Pelaksanaan SOP tersebut, lanjut Eva, juga bisa memini­ma­lisir penyalahgunaan wewe­nang. “Misalnya pemerasan terhadap tertuduh, tersangka oleh oknum-oknum jaksa, se­ba­gaimana yang dikeluhkan ma­syarakat luas,” ujarnya.

Kendati begitu, kata Eva, diri­nya masih berupaya untuk ber­baik sangka kepada Kejak­saan Agung. “Momentumnya pas dengan KPK yang sedang memroses kasus Hambalang, mungkin kejaksaan perlu me­nyesuaikan diri dengan jadwal KPK,” ujarnya.

Lantaran itu, dia berharap ada koordinasi yang baik antara Kejaksaan Agung dengan KPK. “Sehingga proses di KPK tidak terganggu, bisa tuntas hingga ke semua pihak yang terlibat, ter­masuk yang berada di lingkaran kekuasaan,” ujarnya.

Jika tidak ada koordinasi yang bagus, Eva khawatir, apa yang dilakukan Kejaksaan Agung akan menimbulkan ke­hebohan dan mengganggu pr­o­ses di KPK. “Kehebohan mesti dihindarkan, jika tidak, maka bisa dipersepsi sebagai penga­lihan perhatian dari kasus Ham­balang,” tandasnya.

Jadi, Eva menegaskan, semua per­mainan yang mungkin ter­jadi dan merusak proses hukum dalam pengusutan kasus ini, akan sangat mudah terbaca dari pola penerapan SOP. “Ukuran keseriusan pengusu­tan kasus ini, ya tertib SOP dan koor­di­na­si dengan KPK. Kalau dua hal tadi dilaksanakan, ber­arti tidak ada tekanan,” ucapnya.

Jaksa Agung Mestinya Malu

Poltak Agustinus Sinaga, Ketua PBHI Jakarta

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Ja­karta Poltak Agustinus Sinaga menilai, leletnya penanganan kasus UNJ menegaskan bahwa pemerintah tidak serius mem­berantas korupsi.

“Ini merupakan wujud keti­dak­seriusan negara mem­be­ran­tas korupsi. Bisa diartikan, ne­gara sedang mengamini atau me­nyetujui praktek-praktek ko­rupsi,” ujar Poltak, kemarin.

Menurut dia, korupsi sema­kin merajalela, namun kinerja pemberantasan korupsi malah melempem. “Kejagung tidak se­rius, bahkan cenderung ter­li­bat dalam kemelut korupsi, ter­lihat dari lambannya pe­na­nga­nan kasus korupsi, berbeda de­ngan penanganan kasus-kasus rakyat kecil,” tandasnya.

Poltak menilai, Kejaksaan Agung belum tampak serius ingin menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ditanganinya. Kon­disi semakin parah lantaran proyek-proyek di kampus telah disusupi korupsi, seperti yang diduga terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

“Ketika kampus sudah terli­bat persoalan praktek korupsi, semakin hilang harapan kita. Nah, kalau kasus-kasus korupsi itu tak bisa dituntaskan secara utuh, Basrif Arief selaku Jaksa Agung semestinya malu, itu pun kalau masih punya rasa malu,” ujarnya.

Jika dilihat dari banyaknya ka­sus yang berjalan lambat, me­nurut Poltak, kejaksaan nyaris tidak bisa diharapkan untuk me­ngusut perkara-per­kara korupsi secara utuh hing­ga tuntas.

Dia menambahkan, pembe­ran­tasan korupsi harus dimulai dari bangku kuliah juga. “Untuk mendorong pemberantasan korupsi, harus dimulai dari kam­pus-kampus alias dari ge­nerasi muda, sehingga ketika mau jadi jaksa, polisi, hakim, PNS tidak perlu pakai nyogok,” ujar Poltak. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya