Berita

Wa Ode Nurhayati

X-Files

Saksi Kasus Wa Ode Bisa Jadi Tersangka

Tergantung Hasil Sidang Di Pengadilan Tipikor
SENIN, 04 JUNI 2012 | 10:44 WIB

RMOL. Nasib Wa Ode Nurhayati, tersangka kasus suap dana percepatan infrastruktur daerah (DPID) tinggal menunggu waktu. Pasalnya, persidangan kasus ini segera digelar.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo men­jelaskan, persidangan kasus ini terlaksana pasca KPK melim­pah­kan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor. Menurut dia, berkas per­kara dan memori tuntutan sudah lengkap. “Tinggal dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor,” katanya.

Dia mengaku tidak mengetahui secara pasti, kapan pelimpahan berkas perkara Wa Ode Nurhayati (WON) dilaksanakan. Namun, Johan menegaskan, berkas perka­ra sudah diteliti jaksa KPK secara cermat. Paling lambat, sam­bung­nya, dikirim pekan depan ke Pe­ngadilan Tipikor. “Pekan depan berkasnya dikirim ke penga­di­­lan,” ucapnya.

Johan sependapat, dugaan pe­langgaran pidana oleh WON di­kla­sifikasikan dalam dua per­ka­ra. Sebelumnya, Johan mengaku, KPK menjerat WON dengan pa­sal berlapis. Selain korupsi, ia di­duga terlibat tindak pidana pen­cucian uang (TPPU).

Johan membeberkan, selain di­duga melanggar Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), WON disangka melanggar Pasal 3, 4, dan Pasal 5 ayat 1 UU 8/2012 tentang Tindak Pidana Pen­cucian Uang (TPPU).

Dugaan TPPU, jelasnya, dipicu dugaan bahwa tersangka pernah menempatkan, mentransfer, me­ngalihkan, membelanjakan, mem­bayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, me­nu­karkan dengan mata uang atau surat berharga, harta yang diduga hasil korupsi.

Lalu, tambah Johan, substansi persoalan dalam perkara pencu­cian uang merujuk Pasal 4 UU TPPU. Dalam kaitan pasal ini, WON disangka menyem­bu­nyi­kan atau menyamarkan asal usul harta ke­kayaannya yang berasal dari ko­rupsi. Akibat pelanggaran pasal-pasal tersebut, WON bisa diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.

Lebih jauh, Johan yang dikon­firmasi soal keberatan Menteri Keuangan Agus Martowardojo memberi kesaksian meringankan untuk tersangka WON menilai, hal tersebut sebagai kewenangan Menkeu. Yang jelas, keberatan Menkeu memberi saksi, tidak menjadi kendala bagi KPK dalam mengusut perkara.

Jika nantinya Menkeu mau memberi kesaksian untuk WON, hal itu dilakukan atas permintaan hakim di persidangan. “Intinya, tugas kita mengusut perkara ini sudah dilaksanakan,” tegasnya.

Dia menyatakan, para pihak yang diduga terkait perkara ko­rupsi serta pencucian uang, sudah di­mintai kesaksian. Jika kesak­sian itu dianggap kurang, majelis hakim diyakini akan meminta jaksa menghadirkan saksi-saksi tersebut.

Menjawab pertanyaan soal kemungkinan perubahan status saksi jadi tersangka, dia memas­tikan, itu tergantung hasil per­si­dangan. Begitu pula saat ditanya tentang tuduhan WON yang me­nyeret sejumlah nama penting di DPR, Johan menolak mem­beri­kan jawaban.

Kuasa hukum WON, Wa Ode Nur Zainab menyatakan, klien­nya berupaya mematuhi seluruh rangkaian hukum yang ada. N­a­mun, dia telah menyampaikan in­for­masi tentang keputusan me­nge­nai DPID tidak diambil klien­nya. Melainkan, diambil Kelom­pok Kerja (Pokja) Badan Ang­ga­ran dan Kementerian Keuangan.

Keputusan itu sudah dianggap final serta pembahasan dilan­jut­kan di tingkat Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk diba­has. Dari informasi tersebut, dia mem­bela, WON tidak terlibat ka­sus ini. “Semua yang paling ber­tang­gungjawab dalam proyek itu su­dah disampaikan,” ujarnya.

WON pernah menyatakan, diri­nya tidak memiliki wewenang untuk menandatangani persetu­juan DPID, karena hanya men­ja­bat sebagai anggota Banggar DPR. Persetujuan itu diteken pimpinan Banggar dan diteruskan ke Anis Matta selaku pimpinan DPR.

Wa Ode menilai, ada yang ti­dak beres dalam persetujuan pe­milihan wilayah pada proyek DPID tahun 2011. Menurutnya, kriteria awal yang telah disetujui, diubah secara sepihak tanpa rapat Panja. “Secara sepihak kriteria itu diruntuhkan tanpa rapat Panja lagi oleh pimpinan.” Namun, menurut Wakil Ketua Banggar DPR Tamsil Linrung, tak ada pe­rubahan data daerah yang me­nerima DPID 2011. “Jadi, tu­di­ngan Wa Ode Nur­hayati salah,” tandasnya.

Wakil Ketua DPR Anis Matta juga menampik tudingan Wa Ode. Menurutnya, tidak ada k­e­ter­libatan pimpinan DPR dalam pembahasan alokasi DPID. “Pim­pinan sama sekali tidak ter­libat. Itu bukan domain pim­pi­nan, tapi Banggar dan Kemen­keu,” katanya.


REKA ULANG

KPK Bekukan Rp 10 Miliar

Komisi Pemberantasan Korupsi telah membekukan aset Rp 10 mi­liar milik bekas anggota Bang­gar DPR, Wa Ode Nurhayati (WON). Pembekuan aset dijalan­kan lantaran ada sangkaan, uang tersebut hasil korupsi yang ke­mu­dian berbau tindak pidana pen­cucian uang (TPPU).

“Bukan hanya ditemukan, tapi itu sudah dibekukan. Sudah di ba­wah kendali KPK,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat awal kasus ini bergulir.

KPK akan mengkonfirmasi asal usul transfer Rp 10 miliar ter­sebut. “Itu pasti akan ditanyakan. Dalam TPPU, itu ada yang mirip de­ngan Pasal 38 b tentang pem­buktian terbalik. Walaupun lebih detil di Undang Undang Pem­be­ran­tasan Tipikor. Tapi tidak apa-apa, kan tersangka pu­nya hak ing­kar,” ujarnya.

Semula, KPK menemukan kejanggalan transaksi keuangan di rekening tersangka, yakni seki­tar Rp 10 miliar. Menurut Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, uang itu diduga ter­kait kasus suap dana perce­pa­tan infrastruktur daerah DPID.

Berdasarkan rekening tak wa­jar itulah, KPK menetapkan Nur­hayati sebagai tersangka kasus TPPU. Apa­lagi, dalam peme­rik­saan Lapo­ran Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK per tang­gal 30 November 2009, total harta ke­kayaan bekas ang­gota Badan Ang­garan (Bang­gar) DPR itu ha­nya Rp 5,542 miliar.

Sebaliknya, kubu WON me­mas­tikan, transfer uang Rp 10 mil­iar melalui rekening WON tak bermasalah. Uang itu, merupakan harta penghasilan pribadi WON dari usaha sebelum menjadi anggota DPR.

Dalam kasus ini KPK juga telah menetapkan pengusaha se­ka­ligus Ketua Gema MKGR, Fahd A Rafiq sebagai tersangka. Put­ra pedangdut A Rafiq itu di­duga sebagai orang yang mem­berikan suap kepada Nurhayati. Selain itu, KPK juga telah men­cekal Haris Surachman dan staf WON bernama Sefa Yolanda.

KPK menduga WON mene­rima suap sebesar Rp 6,9 miliar dari Haris Surahman. Uang milik Fadh diberikan Haris kepada WON melalui stafnya, Sefa Yo­landa dan Syarif Achmad. Uang ter­sebut kemudian dikirim ke re­ke­ning Bank Mandiri sebanyak sembilan kali transfer pada 13 Oktober sampai 1 November 2010.

Uang ditransfer sekali sebesar Rp 1,5 miliar, dua kali sebanyak Rp 1 miliar, empat kali transfer Rp 500 juta, dan dua kali sebesar Rp 250 juta. Pemberian uang ter­sebut ditujukan agar Fadh dan Haris mendapatkan proyek pada tiga kabupaten di Aceh, yaitu Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Be­ner Meriah, serta Kabupaten Mi­nahasa di Sulawesi Utara.

Dari situ, WON mengu­pay­a­kan agar masing-masing daerah itu mendapatkan alokasi angga­ran DPID sebesar Rp 40 miliar. Namun, pada penetapan daerah pe­nerima DPID, hanya dua kabu­paten yang diakomodasi, Aceh Besar sebesar Rp 19,8 miliar dan Bener Meriah Rp 24,75 miliar.


Bagaimana Mau Wakili Rakyat Bila Korupsi

Andi W Syahputra, Koordinator LSM GOWA

Aktivis LSM Government Watch (GOWA) Andi W Syah­put­ra menilai, kasus-kasus ko­rup­si yang menyeret anggota DPR, membuat prihatin ma­sya­rakat luas. Soalnya, bagaimana anggota DPR mewakili aspirasi rakyat apabila perilakunya cenderung koruptif.

“Persoalan korupsi seperti su­dah mewabah, sehingga DPR saat ini sangat memprihatinkan kondisinya. Ini harus segera di­hentikan,” tegasnya.

Dia menyatakan, persoalan k­o­rupsi telah menyebabkan citra Dewan Perwakilan Rakyat sangat terpuruk. Penanganan masalah yang menyangkut ke­hi­dupan berbangsa dan ber­ne­gara, jadi ikut terpengaruh. Ob­yektifitas perumusan undang undang yang digarap DPR pun bisa menjadi sangat lemah.

Hal tersebut, lanjut Andi, ten­tu akan mempengaruhi im­ple­mentasi pelaksanaan un­dang undang di tengah-tengah ma­sya­rakat. Lagi-lagi, yang men­jadi korban adalah ma­sya­rakat luas.

“Jika persoalan ko­rupsi oleh ang­gota Dewan di­biarkan tum­buh subur, ini sa­ngat mem­bahayakan kita se­mua,” tan­dasnya.

Lantaran itu, dia mengi­ngat­kan, sekalipun politisi maupun elit mempunyai power untuk mengintervensi aparat, toh pe­ne­gakan hukum hendaknya ti­dak kalah oleh hal-hal seperti itu.

“Hukum tidak boleh kalah. Anggota Dewan itu idealnya me­nunjukkan sikap men­jun­jung tinggi proses hukum, bu­kan se­baliknya, malah ber­tin­dak me­la­wan hukum, “ ucapnya.

Idealnya, DPR menjadi con­toh bagi masyarakat. Jangan sam­pai mencuat stigma di ma­syarakat bahwa anggota DPR menghalang-halangi pengu­su­tan perkara korupsi yang me­nyenggol anggota Dewan sen­diri. Jadi, hendaknya semua tun­duk pada aturan hukum yang ada. “Anggota DPR harus men­jadi panutan buat masyarakat,” katanya.


Minta Persidangan Berjalan Adil Dan Proporsional  

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­minta, persidangan kasus ko­rupsi dan pencucian uang de­ngan tersangka Wa Ode Nur­hayati (WON) berjalan secara adil dan proporsional.

Hal itu, menurut dia, penting untuk menjawab apa-apa yang selama ini menjadi per­ten­ta­ngan. “Hendaknya hakim jeli dan teliti dalam mengungkap rangkaian kasus ini. Ke­cer­ma­tan itu saya harap mampu mem­bawa dampak positif bagi pe­ngusutan kasus ini,” ujar ang­gota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini.

Andi menambahkan, harapan masyarakat agar kasus ini ter­bu­ka secara gamblang di Pe­nga­di­lan Tipikor, bisa segera ter­wu­jud. Dengan begitu, du­ga­an-du­ga­an tentang keterlibatan ang­gota DPR dalam kasus ini bisa ditunjukkan, terbukti atau tidak.

Selama persoalan ini tidak mendapatkan penanganan yang proporsional dan profesional, menurutnya, citra DPR ikut ter­coreng. Karena itu, dia meng­ha­rapkan, persidangan kasus ini mampu menjawab seluruh rang­kaian kejahatan di dalam­nya. “Jangan seperti pepatah, ka­rena nila setitik, jadi rusak se­belanga. Kita tentu tidak ingin itu terjadi,” tuturnya.

Dia menambahkan, sebagai wakil rakyat, DPR saat ini su­dah berupaya optimal m­e­ma­tu­hi semua ketentuan hukum. Jadi, menurut Andi, tidak elok bila masih ada anggapan bahwa anggota DPR saat ini menutup mata atau terkesan membela koleganya yang tersangkut per­kara korupsi.

Andi pun meminta ma­sya­ra­kat hendaknya bisa memi­lah-mi­lah. Jangan semua ang­gota DPR dicap buruk alias terlibat kasus korupsi. Lan­ta­ran itu, lagi-lagi dia meminta persi­da­ngan kasus ini berjalan pr­o­por­sional. Supaya jelas dan agar citra DPR tidak hancur lebur.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya