RMOL. Pedestrian atau yang biasa dikenal dengan trotoar di beberapa ruas jalan di Ibu Kota Jakarta hingga saat ini masih dalam kondisi memprihatinkan. Tempat yang sebenarnya disediakan bagi pejalan kaki banyak yang beralih fungsi.
Ada yang pedestrian yang diÂmanfaatkan tempat para peÂdaÂgang kaki lima (PKL) menÂjaÂjaÂkan dagangannya. Tidak sedikit pula yang dimanfaatkan untuk mangkal tukang ojek atau tempat parkir liar.
Bagaimana kondisinya? Selasa siang (29/5), Rakyat Merdeka coba mengintip ke beberapa ruas jalan yang masuk dalam kategori jalur protokol. Diantara ruas jalur yang didatangi adalah Jalan KraÂmat Raya hingga Salemba, Jalan KeÂbon Sirih dan Jalan Asia Afrika.
Saat tiba di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, trotoar jalan yang lebarnya sekitar 3 meter kini terÂlihat dipenuhi kios-kios pedagang kaki lima. Kios pedagang ini umumnya berupa warung tenda yang tertutup kain dan terpal yang dibangun menghabiskan lebar trotoar yang disediakan.
Mayoritas warung tenda yang ada di lokasi tersebut menjual aneka makanan. Warga disekitar menyebutnya sebagai tempat kuÂliner dengan jenis makanan dari daeÂrah tertentu.
Lina berjalan cepat menyusuri pinggiran jalan Kramat Raya meÂnuju ke arah Salemba, Jakarta PuÂsat. Setiap ada bunyi klakson atau suara mesin kendaraan, ceÂpat-ceÂpat wanita berkulit putih ini seÂgeÂra menengok ke arah belakang.
Terlihat sebuah Metromini bergerak cepat dari arah belakang dengan mengambil pinggir jalan sebelah kiri. Lina yang sudah meÂliÂhat kedatangan Metromini seÂgera menghentikan langkahnya.
Terlihat kedua kaki Lina yang terbungkus sepatu warna hitam meÂnaiki pinggiran trotoar yang tingÂginya sekitar 15 cm dari muka jalan. Akhirnya, Metromini pun melintas persis di sebelah Lina dengan meninggalkan asap knalpot berwarna hitam.
Tak menunggu waktu lama, Lina segera melanjutkan perjaÂlaÂnanÂnya setelah dirinya yakin tiÂdak ada lagi kendaraan yang akan meÂlintas dari arah belakang. NaÂmun dara cantik itu tetap memilih pinggiran jalan dijadikan pijakan kakinya, bukan trotoar.
“Trotoarnya kan sudah dijaÂdiÂkan tempat berdagang kaki lima. Semua pejalan kaki kalau lewat sini pasti berada di pinggir jalan, bukan di trotoar,†jelas wanita ini sambil menyeka keringat di keÂningnya dengan selembar tisu yang diambil dari dalam tas.
Menurut wanita yang mengaku sebagai karyawan swasta di daeÂrah Gunung Sahari, Jakarta Pusat ini, bila malam hari nasib pejalan kaki di daerah sini lebih memÂpriÂhatinkan lagi. Para pejalan kaki yang siang hari berjalan di pingÂgir jalan, bila malam hari harus berjalan lebih ke tengah.
Soalnya, puluhan pedagang kaki lima yang memanfaatkan trotoar di pinggir jalan tersebut akan memulai berjualan di maÂlam hari. Kendaraan para peÂngunÂjung yang hendak berbelanja juga parÂkir memanfaatkan bahu jalan.
“Kalau malam, pinggir jalan ini penuh mobil dan motor-motor. TerÂpaksa mereka yang berjalan kaki harus mengarah ke tengah jalan,†terangnya.
Tidak takut? “Namanya jalan di tengah jalan, pasti takutlah. SeÂbab kalau kita lupa lihat-lihat keÂbelakang, bisa nyawa taruhanÂnya,†tegasnya.
Tak hanya di daerah Kramat Raya, di sepanjang Jalan Asia AfÂriÂka, Jakarta Pusat terlihat juga tidak jauh berbeda. Bahkan di seÂpanjang jalan yang masih berada dalam kawasan Gelora Bung Karno ini, terlihat hampir tidak ada pedestrian yang kosong.
Di dua ruas jalan, pedestrian yang ada di sepanjang jalur ini dipenuhi puluhan kios bunga. Kios-kios yang dibangun ini umumnya dibangun menyerupai rumah mungil.
Ukuran setiap kios pun cenÂdeÂrung lebih besar dengan peÂdaÂgang kaki lima yang juga biasa mangkal di atas trotoar. Hampir setiap kios yang berjualan di seÂpanjang jalur ini memakan sekitar lima meter untuk ukuran lebar temÂpat usahanya.
“Untuk usaha kembang seperti ini, memang diperlukan tempat usaha yang tidak kecil. Kami meÂmanfaatkan luasnya kios untuk memamerkan macam-macam jenis bunga yang dijual,†terang Ujang, salah seorang pemilik kios bunga.
Meskipun memakai trotoar untuk lahan berjualan, Ujang meÂnampik lokasi usahanya meÂlanggar. Karena setiap tahunnya, ada uang sewa yang harus dibaÂyarnya kepada Pemda DKI.
“Besarnya sekitar lima jutaan untuk per tahunnya. Itu resmi dari pemerintah, jadi salah kalau kami di sini disebut ilegal,†tegasnya.
Lagipula, kata Ujang, kios buÂnga yang dijalani bersama peÂdaÂgang lainnya dapat memÂperÂcantik kawasan jalan Asia Afrika. KaÂreÂna, menurut dia, bisa mengÂhiÂlangÂkan kegersangan saat siang hari.
“Saya sudah sekitar lima tahun buka usaha disini dan belum perÂnÂah ada razia. Untuk omzet pun bagi saya usaha disini cukup menÂÂjanjikan. Buktinya saya bisa terus membayar uang sewa yang ditetapÂkan,†kata pria berkumis tebal ini.
Hal berbeda terlihat di trotoar di sepanjang jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Pada Selasa siang (29/5), pedestrian di sepanjang jalur ini sedang dalam proses perÂbaikan. Puluhan pekerja terlihat seÂdang bekerja menyusuri panÂjang trotoar yang menuju ke arah Tugu Tani, Jakarta Pusat.
Beberapa orang pekerja terlihat sedang sibuk mencopot batu-batu cone block di pinggiran trotoar. “Ini renovasi untuk pelebaran peÂdestrian. Pedestrian di sepanjang jalan ini rencananya akan diperÂlebar lagi,†kata Asep, seorang pekerja proyek.
Karena adanya renovasi terÂsebut, banyak pedagang kaki lima yang sehari-hari berada di kaÂwaÂsan tersebut merasa terganggu. Para pedagang yang umumnya menggunakan gerobak ini terÂpaksa menjajakan dagangannya di pinggir-pinggir jalan berÂdesÂaÂkan dengan mobil-mobil yang parkir.
Namun hal tersebut tidak berÂlaku bagi puluhan tukang ojek yang mangkal persis di belakang gedung Pemda DKI. Posisinya persis di sebelah kanan pintu keÂluar gedung yang ada di bagian beÂlakang. Para tukang ojek ini meÂmanÂfaatkan badan trotoar unÂtuk meÂmarkirkan kendaraannya samÂbil menunggu penumpang datang.
“Kami memang setiap hari mangkal disini, ada dan tidak ada renovasi. Justru kami disini biar tidak mengganggu arus jalan kaÂlau harus mangkal di pinggir jaÂlan,†kata Jay, tukang ojek yang meÂngaku tinggal di daerah Kebon Kacang, Jakarta Pusat itu.
80 Persen Tidak Layak
Koalisi Pejalan Kaki menduga sekitar 80 persen pedestrian yang ada di Jakarta berada dalam konÂdisi tidak layak. Hal itu terjadi, karena lahan yang sengaja diguÂnakan untuk berjalan kaki sudah berubah fungsi.
“Sekitar 80 persen lahan pedesÂtrian diokupasi oleh kebutuhan lainÂnya seperti parkir liar, peÂdaÂgang kaki lima dan sebagainya. Kondisi ini yang kian lama makin miris,†ujar Syafrudin, pendiri Koalisi Pejalan Kaki Ahmad Syafrudin.
Menurutnya, kondisi tersebut seÂmakin diperparah dengan periÂlaku para pengguna kendaraan bermoÂtor. Ketika kondisi jalanan seÂdang macet, tidak sedikit peÂngenÂdara seÂÂpeda motor memanÂfaatkan peÂdesÂtrian agar tetap bisa melaju.
“Tentunya ini membuat keÂamanan dan kenyamanan para pengÂguna jalan menjadi tergangÂgu saat melintas di pedestrian. AnÂcaman tertabrak akan terus menghantui para pejalan kaki, bila kondisi tersebut tidak segera diatasi,†ujarnya.
Ahmad lantas mencontohkan kecelakaan maut di Tugu Tani yang menewaskan beberapa orang pejalan kaki. Kasus terseÂbut, menurutnya sebagai bukti kalau pedestrian yang ada di JaÂkarta banyak yang mengabaikan sisi keamanan bagi pejalan kaki.
Untuk itu, dia mengusulkan agar Pemerintah Provinsi DKI tiÂdak tidak hanya melakukan pemÂbenahan pedestrian yang ada pada bagian fisiknya saja, tapi juga kepada pengendara angÂkuÂtan harus diberikan pelajaran etiÂka. “Supaya tidak terjadi perisÂtiÂwa seperti Afriyani tersebut.â€
Pihaknya berharap agar dalam jangka pendek Pemprov DKI segera menertibkan trotoar. JangÂka menengah membangun peÂdesÂtrian tidak hanya di wilayah proÂtokol Jakarta namun di kawasan perindustrian, peÂrÂkanÂtoran, hingga pusat perbelanjaan.
“Nantinya tidak hanya di MoÂnas, Sudirman, dan Thamrin saja tapi juga harus segera masif dibaÂngun di kawasan lainnya. Jakarta itu sama seperti Bangkok. Tapi soal trotoar kita kalah jauh,†tegasnya.
Pengamat perkotaan Yayat SupÂriyatna juga mendukung memÂbangun pedestrian. “AwalÂnya dibangun Dinas Pekerjaan Umum serta Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Distakam) lalu diamankan Satpol PP, saya kira masih kurang koordinasi,†ujar Yayat.
Idealnya Lebar Lima Meter
Dinas Pertamanan dan PemaÂkaman (Distamkam) DKI berÂjanji akan menata empat pedesÂtrian yang ada di Jakarta. NaÂmun untuk merealisasikan progÂram tersebut, Pemda DKI harus siap-siap mengeluarkan dana Rp 18,75 miliar.
Sebagai informasi, saat ini leÂbar pedestrian di Jakarta rata-rata belum memenuhi standar. Standar lebar pedestrian miniÂmal lima meter, namun saat ini beberapa pedestrian hanya meÂmiÂliki lebar satu meter hingga dua meter saja. Oleh karena itu, Distamkam DKI berencana menata ulang pedestrian yang ada di Jakarta.
Kepala Distamkam DKI, CatÂharina Suryowati, mengatakan rincian dana tersebut yakni Rp 6 miliar untuk pedestrian di JaÂlan Gajah Mada, Rp 6 miliar untuk di Jalan Hayam Wuruk, Rp 750 juta untuk Jalan Sabang sisi utara, Rp 1 miliar untuk JaÂlan Kebon Sirih hingga Jalan RidÂwan Rais, dan Rp 5 miliar unÂtuk penataan pedestrian di Jalan Cikini.
“Rencananya pedestrian yang akan dibangun mempunyai keÂtinggian 25 cm dari jalan exisÂting. Tujuannya untuk menÂceÂgah sepeda motor melalui peÂdeÂstrian yang dapat membaÂhaÂyaÂkan pejalan kaki. Kami juga akan memasang tiang di sepanÂjang trotoar agar motor tidak bisa masuk ke trotoar,†ujar Catharina.
Untuk penataan di Jalan RidÂwan Rais, Catharina menÂjelaÂsÂkan penataannya sampai pada putaran menuju Kebon Sirih. Sedangkan selebihnya, dilakuÂkan penataan di pedestrian di JaÂlan Kebon Sirih yang termasuk jalan utama.
Chatarina mengakui, pedesÂtrian di Jakarta memang belum ideal. Jalur pedestrian harus meÂmiliki rasa aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Sehingga piÂhakÂnya terus melakukan perbaiÂkan, dengan meninggikan troÂtoar dan penanaman pohon. “Jalur pedestrian merupakan ruang khusus untuk pejalan kaki, jadi harus nyaman dan aman dari kendaraan bermotor,†kata dia.
Diungkapkan Chatarina, konÂdisi jalur pedestrian di Jakarta hanya memiliki lebar kurang dari dua meter, digunakan peÂdaÂgang kaki lima, dijadikan seÂbagai laÂhan parkir, dan banyak mengaÂlami kerusakan akibat utiÂlitas.
“Untuk penataannya kita juga melibatkan peran serta masyaÂrakat. Bahkan, beberapa meÂminÂÂjamkan lahannya untuk jaÂlur pedestrian,†ucapnya.
Namun, Ketua Forum Warga Jakarta Azis Tigor Nainggolan pesimistis kalau upaya Pemda DKI akan terealisasi dalam wakÂtu dekat. Apalagi, kalau peÂnataan pedestrian yang ada maÂsih belum melihat pada sisi keÂamanan pengguna jalan.
Menurut Tigor, butuh waktu lama untuk menambah lebar pedestrian di Jakarta. Karena itu, dia menyarankan lebih baik memperbaiki pedestrian yang suÂÂdah ada dan kurang peraÂwaÂtan. “Yang bagus itu kan pedesÂtrian di Jakarta hanya di Jalan Sudirman dan Jalan MH ThamÂrin saja,†kata dia.
“Satu lagi yang harus dikritisi adalah kurangnya akses untuk penyandang difabilitas (cacat). Masa di tengah pedestrian ditaÂruh pot bunga besar. MakÂsudÂnya untuk menghalau pemotor, tapi ini membuat penyandang diÂfabilitas kesulitan,†terangnya.
Sementara itu pengamat perÂkoÂtaan Universitas Trisakti YaÂyat Supriyatna, menegaskan perÂlunya perlindungan bagi peÂjalan kaki. Perlu dipasang tiang-tiang besi atau pembatas beton antara pedestrian dan jalan raya. “Ini juga bisa membantu agar peÂmotor tidak masuk ke jalur peÂdestrian,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:05
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:04
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:42
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:23
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:11
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:59
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:44