LSM Indonesia Corruption Watch (ICW)
LSM Indonesia Corruption Watch (ICW)
RMOL. LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada sekitar 48 terpidana korupsi belum dieksekusi kejaksaan. Dari jumlah itu, 25 terpidana korupsi melarikan diri. Sisanya, masih melenggang bebas lantaran eksekusi belum dilaksanakan.
Karena itu, ICW mendorong Kejaksaan Agung dan MA untuk merumuskan kebijakan perÂcepaÂtan eksekusi para terpidana koÂrupsi. Sebab, lambannya eksekusi menjadi celah pada terpidana koÂrupsi melarikan diri.
“Karena problemnya bukan haÂnya di kejaksaan, tapi juga di peÂngadilan yang lambat meÂnyeÂrahÂkan salinan putusan ke keÂjakÂsaÂan,†ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho.
Contoh terkini, kaburnya BuÂpati Lampung Timur Satono terÂkait korupsi APBD Lampung TiÂmur. Saat panggilan eksekusi terÂakhir yang dilayangkan KeÂjakÂsaÂan Negeri Bandar Lampung pada 9 April 2012, Satono tidak diÂkeÂtahui keberadaanya alias buron. Alhasil, Kejari Bandar Lampung memasukan Satono ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan No.01/DPO/N.8.10/04/2012 tanggal 9 April 2012.
Kejaksaan kemudian meÂlaÂyangÂkan permintaan perpanjangan cegah ke luar negeri atas nama Satono ke Ditjen Imigrasi yang berlaku sejak 7 April 2012.
Menurut Jaksa Agung Basrief Arief, hasil inventarisasi yang teÂlah dilaporkan bawahannya, seÂbagian sudah ada tindak lanÂjutÂnya. Tetapi belum secara meÂnyeÂluruh. Selain itu, sebagian teÂrÂpiÂdaÂna juga sudah tereksekusi. “Jadi tidak 48 lagi, sudah berÂkurang. Kalau yang kabur, DPO, kami cari,†ujarnya.
Terkait masalah seperti itu, Jaksa Agung Muda Pengawasan MarÂwan Effendy mengingatkan jaksa agar tidak gamang meÂlaÂkukan eksekusi kasus yang sudah diputus di pengadilan, khususnya yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung (MA).
Bekas Jaksa Agung Muda PiÂdana Khusus ini meyakini, tidak ada masalah dalam proses ekÂseÂkusi putusan MA, walaupun tidak dicantumkan klausul perintah eksekusi. “Saya katakan, kalau untuk perkara yang sudah diputus MA, tidak perlu banyak polemik. Itu sudah bisa dieksekusi. Tidak perlu meminta fatwa MA lagi. Jaksa hanya melaksanakan, sebab putusan MA sudah berkekuatan hukum tetap,†ujarnya saat ditaÂnya mengenai eksekusi sejumlah putuÂsan yang masih menggantung.
Marwan mengatakan, keweÂnangan eksekusi itu pun tidak meÂnyaÂlahi aturan. Soalnya, sudah diatur dalam Pasal 197 ayat 1 huÂruf k KUHAP. Dia mengiÂngatÂkan, untuk putusan MA, pasal itu berlaÂku. Kecuali untuk putusan pengaÂdilan negeri dan pengadilan tinggi, maka penerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K itu tidak bisa dilakukan.
Membaca pasal itu, lanjut MarÂwan, harus pakai logika hukum. Logika perlu tidak putusan MA, baik putusan kasasi maupun peÂninÂjauan kembali (PK) menÂcanÂtumkan agar terpidana ditahan. Soalnya, terpidana sudah dinyaÂtaÂkan bersalah dan dijatuhi pidaÂna penjara. “Jadi, otomatis tidak perlu perintah penahanan, langÂsung dieksekusi penjara saja,†katanya.
Eksekusi itu, menurutnya, berÂdasarkan Pasal 270 KUHAP yang mengamanahkan kepada jaksa untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang telah berkeÂkuÂaÂtan hukum tetap. “Berbeda deÂngan putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, karena walaupun menjatuhkan pidana penjara, tetapi belum berkekuatan hukum tetap,†urainya.
Untuk itu, Marwan mengiÂngatÂkan agar jaksa tidak ragu meÂlaÂkukan eksekusi. Polemik hukum yang terjadi, katanya, dapat diÂatasi dengan Pasal 197 ayat 1 huÂruf K itu. “Meskipun ada proses PK atas putusan MA, tidak akan mengahalangi jaksa meÂlakÂsaÂnaÂkan eksekusi,†ujarnya.
Sekali lagi, kata Marwan, peÂnerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K itu berlaku untuk putusan yang sudah diputus MA. “Jika unsur-unÂsur selain huruf k, ya tak bisa dieksekusi,†katanya.
Tapi, lanjut Marwan, banyak jaksa di daerah gamang untuk melaksanakan eksekusi, karena perdebatan hukum. Para jaksa itu, katanya, tentu tidak mau diperÂsaÂlahkan atas proses eksekusi yang bisa berdampak hukum.
Para Kepala Kejaksaan Negeri, menurutnya, gamang dengan munÂculnya polemik terhadap puÂtuÂsan yang tidak mencantumkan salah satu ketentuan pada Pasal 197 ayat 1 KUHAP. Terkait puÂtuÂsan yang sudah berkekuatan hukum tetap, kata Marwan, mau tidak mau harus dilaksanakan jaksa. “Hal ini penting karena MA adalah muara terakhir tempat pencari keadilan,†katanya.
Memang, lanjut Marwan, jaksa harus hati-hati dan tidak boleh saÂlah. Jaksa sebagai eksekutor peÂlakÂsana keputusan pengadilan seÂbaÂgaimana yang diamanahkan pasal 270 KUHAP tidak boleh asal eksekusi, walaupun putusan itu telah in kracht, karena ada ramÂbu-rambu yang juga diatur dalam PaÂsal 197 ayat 1 KUHAP. Jika jaksa melanggar ini, maka terjadi abuse of power dan akan berakibat hukum.
“Saya sudah sampaikan dalam rakernis bidang pengawasan, agar dieksekusi. Jaksanya tidak akan dikenakan sanksi. Jaksa tidak perlu ragu-ragu melakukan eksekusi. Tidak akan berdampak hukum, tidak akan kena Pasal 333,†ujarnya.
REKA ULANG
Ketika Terpidana Menolak Dieksekusi
Kelambanan eksekusi pÂuÂtuÂsan perkara pidana, khususnya daÂlam perkara korupsi, kerap meÂnimbulkan persoalan. Sumber maÂsalahnya antara lain, terletak pada salinan putusan yang belum dikirim secara resmi kepada terÂpidana atau penasihat hukumnya, maupun kepada jaksa selaku ekÂsekutor dan polemik seputar atuÂran main eksekusi.
Dalam beberapa kasus korupsi, terpidana dan kuasanya menolak dieksekusi kalau hanya dengan petikan putusan. Sebut saja kasus Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamuddin, Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat, Bupati Lampung Timur Satono, dan Walikota Bekasi nonaktif Mochtar Mohammad.
Keempatnya, divonis bebas di pengadilan tingkat pertama, tetaÂpi di tingkat kasasi divonis berÂsaÂlah. Mochtar, lewat kuasa huÂkumnya Sirra Prayuna, menolak eksekusi oleh jaksa KPK lantaran belum menerima salinan putusan kasasi dari panitera Pengadilan Tipikor Bandung. Penolakan seÂruÂpa datang dari kuasa hukum Agusrin, Marthen Pongrekun.
Kejaksaan mengalami kesuÂlitan mengeksekusi Eep, Agusrin dan Satono lantaran belum memÂperoleh salinan putusan lengÂkap dari Mahkamah Agung (MA), sehingga proses eksekusi tidak bisa berjalan cepat. Jaksa Agung Basrif Arief mengaku mengÂhaÂdapi dilema karena ada sejumlah kasus yang terpidananya tidak mau dieksekusi hanya dengan peÂtikan putusan, terutama meÂnyangkut terpidana perkara-perkara besar.
Jaksa Agung Basrief Arief meÂngatakan, keberatan terpidana meÂrupakan hal yang wajar, meÂngingat Pasal 270 KUHAP meÂngaÂtur bahwa eksekusi harus deÂngan salinan putusan.
“SepanÂjang terpidananya menerima ekÂsekusi dengan peÂtikan puÂtusan, itu tidak masalah. Ini biasanya terjadi di perkara-perkara tindak pidana umum. Kalau perkara besar ada kalanya si terpidana meminta salinan puÂtusan. Ini juga tidak salah karena Undang-Undang mengatur itu,†katanya.
Menurut Basrief, masalah ekÂsekusi ini tidak lepas dari sistem minutasi (pembuatan salinan putusan) di MA, karena proses miÂnutasi putusan membutuhkan waktu lama. Alhasil, kejaksaan terpaksa mengeksekusi dengan modal petikan putusan, seperti eksekusi terhadap Eep dan AgusÂrin. Karenanya, ia berharap seÂmua eksekusi perkara tindak piÂdana khusus dan umum dapat diÂlaksanakan secepatnya.
Tapi, pihak MA menegaskan, sebenarnya jaksa sudah bisa meÂngeksekusi putusan yang telah berÂkekuatan hukum tetap dengan bekal petikan putusan. Setelah hakim memutus perkara, lazimÂnya dilakukan proses minutasi. Selama proses minutasi ini, para pihak diberikan petikan putusan yang hanya berisi amar/diktum yang ditetapkan majelis. “Petikan putusan sudah bisa dijadikan dasar eksekusi,†kata Sekretaris MA Nurhadi.
Mengacu SEMA No 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA No 2 Tahun 2010 tentang PeÂnyamÂpaian Salinan Putusan dan Petikan Putusan, petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan.
Berkekuatan Tetap Mesti Dieksekusi
Sandi Ebenezer, Anggota Majelis PBHI
Anggota Majelis PertimÂbangan Perhimpunan Bantuan HuÂkum Indonesia (PBHI) SanÂdi Ebenezer Situngkir meÂnyamÂpaikan, pada prinsipnya, putuÂsan yang sudah berkekuatan huÂkum tetap (incraht) harus diÂekÂsekusi jaksa.
“Kecuali jika putusan itu bertentangan dengan hukum, ya tak bisa dieksekusi, sebab itu pelanggaran terhadap Pasal 333 KUHAP,†ujar Sandi, kemarin.
Bila sudah masuk ke persiÂdaÂngan, lanjut dia, seorang terÂdakÂwa tidak bisa ditahan tanpa puÂtusan pengadilan. “Jaksa sudah tiÂdak bisa menahan karena sÂeÂtelah perkara itu ada di penÂgadilan, maka semua kewengan ada pada pengadilan bukan di kejaksaan,†ujarnya.
Selanjutnya, kata Sandi, kÂeÂjaksaan hanya menjalankan peÂrinÂtah pengadilan untuk meÂnaÂhan. Terlebih-lebih kalau tidak ada klausul eksekusi, maka jaksa tidak bisa berbuat apa apa.
Demikian juga dengan seÂbuah putusan yang batal demi huÂkum. Jaksa tidak bisa melaÂkukan eksekusi. “Kalau putusan batal demi hukum, kejaksaan tidak bisa mengeksekusi. KaÂreÂna hal itu bertentangan dengan undang-undang. Kalau ekÂsekuÂsiÂnya untuk membebaskan terÂdakwa dari penjara, itu tidak menÂjadi masalah karena tidak terbukti melakukan perbuatan pidana,†ujarnya. Tetapi, kalau kemudian eksekusi itu memenÂjarakan terdakwa, lanjut Sandi, itu pelangaran terhadap Pasal 333 KUHAP dan merampas keÂmerdekaan terdakwa.
Dia menjelaskan, dalam seÂtiap putusan hakim, tidak serta merta bisa dilakukan eksekusi. Jika jaksa melakukan eksekusi tanpa ada klausul melakukan eksekusi, itu akan menjadi maÂsaÂlah. “Jika dieksekusi tanpa klausul, itu peÂngertian yang saÂlah dari kejakÂsaan, putusan itu berbeda dengan penetapan. PuÂtuÂsan adalah proÂduk majelis haÂkim yang memeÂriksa perkara terdakwa, sedangÂkan penetapan dibuat untuk meÂlaksanakan puÂtusan. Jadi tanpa ada penetapan, putusan tidak bisa dilakÂsaÂnaÂkan,†jelasnya.
Jadi, penetapan itu dibuat berÂdasarkan putusan. Lagi pula, lanjut Sandi, setiap putusan MahÂkamah Agung maupun PeÂngaÂdilan Tinggi itu dijalankan Pengadilan Negeri. “Jadi, berÂdaÂsarkan putusan MA tersebut, Ketua PN yang harus membuat penetapan pelaksanaan ekseÂkusi tersebut kepada jaksa,†ujarnya.
Kalau jaksa memaksakan ekÂsekusi putusan MA berdaÂsarkan Pasal 197 huruf k KUHAP yang bahasanya adalah perintah suÂpaya terdakwa tetap ditahan, teÂtap dalam tahanan atau diÂbeÂbasÂkan tidak bisa dipergunakan untuk menahan seseorang terÂdakwa, itu kurang pas.
“Karena kewenangan untuk pemeriksaan penahanan oleh MA ada pada pasal 28 KUHAP yang dilakukan dengan surat perintah penahanan. Jadi kalau berkehendak untuk menahan seseorang, seharusnya dilakuÂkan sebelum perkara yang bersangÂkutan diputus MA.â€
Semua Pihak Jelas Kedudukannya
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyamÂpaikan, jaksa harus patuh dan tunduk pada putusan tertinggi dalam hierarki hukum serta keÂputusan yang ada.
Dalam polemik urusan ekseÂkusi putusan, kata Eva, secara normatif mesti dipenuhi jaksa. “Isi putusan pengadilan, norÂmaÂtifnya, harus dipatuhi apapun perÂtimbangan hukumnya, terÂmaÂsuk putusan yang batal demi huÂkum. Artinya, kalau putusanÂnya memÂbatalkan, batal semua putusan seÂbelumnya,†ujar Eva di sela-sela Rapat Dengar PenÂdapat (RDP) Komisi III dengan para Jaksa Agung Muda pada Selasa (29/5).
Menurut politisi PDIP itu, daÂlam setiap putusan hakim, suÂdah jelas apakah bisa dieksekusi atau tidak. Sebab, semua pihak yang diputuskan sangat jelas kedudukannya dalam putusan. “Siapa yang dijadikan obyek dan subyek hukum kan ada di putusan,†ujarnya.
Meski demikian, lanjut Eva, ada juga jenis putusan hakim yang tidak bisa serta merta diÂlakukan tindakan eksekusi oleh jaksa sebagai eksekutor, diseÂbabÂkan sejumlah pertimbangan sah.
“Ada kasus-kasus yang meÂmang tak bisa dieksekusi, kareÂna beberapa pertimbangan, miÂsalnya, menimbulkan kegaÂduÂhan, hilangnya HAM seseorang dan seterusnya. Jadi secara prakÂtis memang ada putusan yang tiÂdak bisa dilaksanakan,†ujarnya.
Jika dalam sebuah perkara, kata Eva, jaksa melakukan kesalahan, atau memaksakan eksekusi tanpa dasar hukum yang jelas, maka jaksa pun bisa digugat. “Digugat saja, karena Kejaksaan Agung kan adalah subyek putusan hukum. PeÂneÂgak hukum harus menegakkan hukum,†tegasnya.
Demikian pula, kata Eva, bila ada putusan hakim yang meÂnyaÂtakan seseorang tidak terÂbukti bersalah, dan sudah diÂvonis bebas murni, maka tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk memaksakan eksekusi. Sebab, putusan bebas murni ini tidak terjadi begitu saja. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52