Berita

Chevron

X-Files

Perkembangan Kasus Chevron Nyaris Tidak Terdengar

Kejagung Berdalih Masih Tunggu Hasil Uji Laboratorium
SELASA, 29 MEI 2012 | 09:46 WIB

RMOL. Kasus Chevron yang diperkirakan Kejaksaan Agung merugikan negara sekitar Rp 200 miliar, nyaris tak terdengar perkembangan penanganannya. Padahal, para pimpinan Kejagung semula begitu gencar bicara mengenai perkara korupsi ini. Apakah kasus ini bakal hilang ditelan waktu?

Namun, Kepala Pusat Pene­rang­an Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman mengaku, pi­haknya masih berupaya me­ram­pungkan uji laboratorium ter­ha­dap tanah yang diambil dari lo­kasi proyek normalisasi lahan be­kas tambang PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Riau.

Hasil uji laboratorium itu, kata­nya, akan menjadi penentu arah pengusutan perkara proyek fiktif pemulihan tanah dengan metode bioremediasi, akibat limbah PT CPI sejak tahun 2003 hingga 2011. “Masih dalam proses. Ini kan tidak mudah. Semua harus di­pas­tikan oke,” alasan Adi, ke­marin.

Adi mengaku, Korps Adhyaksa sangat serius mengusut kasus ter­sebut. “Tapi, kami harus firm betul,” ujar bekas Kepala Kejak­saan Tinggi Kepulauan Riau ini.

Kejaksaan Agung, lanjut Adi, sudah mengerahkan pakar yang mumpuni dalam bidang biore­me­diasi. Sehingga, menurutnya, ha­sil uji laboratorium tersebut akan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum di pengadilan.

Yang pasti, hingga kemarin, Ka­puspenkum Kejaksaan Agung be­lum menyampaikan apa hasil uji laboratorium tersebut. Pada­hal, pada Selasa 8 Mei lalu, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus An­dhi Nirwanto sudah bicara me­ngenai rencana uji laboratorium itu. “Uji laboratorium pekan de­pan,” kata Andhi di Gedung Bun­dar, Kejaksaan Agung, Jalan Sul­tan Hasanuddin, Jakarta Selatan.

Jika dihitung sejak dari pernya­taan Andhi, uji laboratorium itu mungkin digelar mulai Selasa tanggal 15 Mei. Tapi, hingga Senin tanggal 28 Mei kemarin, belum jelas apa hasil uji labo­ra­torium tersebut.  

Yang jelas, pakar bioremediasi Profesor Edison Nababan sudah berulangkali diundang Kejaksaan Agung. Edison diminta membe­ri­kan masukan, antara lain mem­berikan pembekalan bagi tim pe­nyidik pidana khusus mengenai bioremediasi. “Tidak tahu, ke­napa saya yang diundang,” katanya.

Proyek bioremediasi lahan bekas eksplorasi PT Chevron itu berlokasi di Kabupaten Duri, Pro­vinsi Riau. Chevron menunjuk PT Sumigita Jaya dan PT Green Pla­net Indonesia sebagai pe­lak­sana proyek pemulihan ling­kungan tersebut. Kejagung me­nyangka, Sumigita Jaya dan Green Planet Indonesia tidak me­miliki kemampuan melaksanakan bioremediasi. Bahkan, Korps Adhyaksa menyangka proyek tersebut fiktif, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 200 miliar.

Tim penyidik telah memeriksa dua lokasi proyek bioremediasi di Duri, Riau, pada 9-13 April 2012. Dari lokasi, penyidik mengambil sampel proyek bioremediasi, mulai dari penampungan tanah yang terkena limbah, pengecekan tanah yang sedang diproses bioremediasi, hingga hasilnya.

Penyidik telah menetapkan tujuh tersangka dari PT Chevron, PT Sumigita Jaya dan PT Green Pla­net Indonesia. Nah, menurut An­dhi, hasil uji laboratorium ter­sebut ditunggu karena sangat pen­ting untuk memperkuat dak­waan terhadap para tersangka itu.

Andhi menambahkan, uji la­boratorium tersebut sebagai ba­gian dari upaya memperkaya pem­buktian. “Kami ber­koor­dinasi dengan Kementerian Ling­kungan Hidup, tenaga ahli in­de­penden. Termasuk, para ter­sangka bila mau mengajukan tenaga ahli sendiri,” ujarnya.

Sebagai catatan, Kejaksaan Agung sudah cukup lama me­nangani kasus ini. Kejagung me­mulai penyelidikan pada Oktober 2011.

Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, jajar­annya sudah mengantongi alat bukti yang cukup. “Kami tinggal me­lihat hasil uji laboratorium ter­hadap bukti-bukti yang dibawa dari kunjungan ke lokasi proyek bioremediasi,” katanya di Ge­dung Bundar.

Arnold yakin, hasil labo­ra­torium bakal mendukung bukti-bukti yang sebelumnya sudah ada, sehingga akan memperkuat pro­ses penuntutan di pengadilan.

REKA ULANG

Meski Kerugian Negara 200 Miliar Tujuh Tersangka Tak Ditahan

Tujuh tersangka kasus proyek fiktif normalisasi tanah bekas lahan tambang ini, hingga ke­marin belum ditahan. Padahal, Ke­jaksaan Agung menaksir ke­rugian negara dalam perkara ini Rp 200 miliar.

Kejagung hanya mencegah enam tersangka ke luar negeri se­lama enam bulan. Masa cegah itu bisa diperpanjang. Enam ter­sangka itu adalah Widodo, Ku­kuh, Bachtiar Abdul Fatah dan En­dah Rubiyanti (Chevron). Kemudian, Direktur Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri dan Direktur Sumigita Jaya Herlan.

Kejaksaan Agung tidak men­cegah tersangka dari PT Chevron, Alexiat Tirtawijaya ke luar ne­geri. Alexiat kini berada di Ame­rika Serikat, dengan alasan mene­mani suaminya yang sedang sakit.  

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto menga­ku tidak khawatir jika Alexiat sebagai tersangka yang belum per­nah diperiksa, menghilangkan barang bukti. “Yang dihilangkan apanya kalau barang buktinya tanah, kalau dokumen sudah diperoleh teman-teman penyidik. Terus, tanahnya sudah difoto, sudah dibawa barangnya.”

Tapi, Andi menambahkan, ke­tujuh tersangka itu akan ditahan jika penyidik merasa perlu me­lakukan penahanan. “Sekarang, penyidik belum menganggap perlu. Kita lihat saja perkem­banga­nnya,” ujar dia.

Perkara korupsi proyek pe­mulihan lingkungan ini, berawal dari perjanjian antara Badan Pe­laksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). Salah satu poin perjanjian itu me­ngatur tentang biaya untuk me­lakukan pemulihan lingkungan dengan cara bioremediasi.

Namun, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, bio­re­mediasi yang seharusnya dila­kukan selama perjanjian ber­langsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan yang ditunjuk Chevron, yaitu PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.

Padahal, anggaran untuk pro­yek bioremediasi itu sudah dicairkan BP Migas sebesar 23,361 juta dolar Amerika Seri­kat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miliar,” tandasnya.

PT Chevron yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, tidak tinggal diam menghadapi sangkaan yang dilontarkan Kejaksaan Agung. Perusahaan multinasional ini, menampik pernyataan pihak Kejaksaan Agung bahwa anggaran proyek bioremediasi sebesar 270 juta dolar AS atau Rp 2,43 triliun.

“Tidak ada itu angka 270 juta dolar AS. Total anggaran dari pro­yek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau se­kitar Rp 200 miliar,” kata Vice President Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.

Lantaran itu, Yanto mengaku bingung melihat angka kerugian negara versi Kejaksaan Agung se­besar Rp 200 miliar. Padahal, total anggaran proyek itu Rp 200 miliar.


Uji Laboratorium Bukan Masalah Pokok

Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar mengingatkan Kejaksaan Agung agar fokus dalam menuntaskan kasus pro­yek fiktif normalisasi tanah be­kas lahan eksplorasi PT Chev­ron Pasific Indonesia (CPI).

Menurut dia, Kejaksaan Agung pasti sudah memiliki se­jumlah bukti kuat saat me­lakukan penyidikan. Apalagi, Kejagung sudah menaksir ke­rugian negara dalam kasus ini Rp 200 miliar. “Fokus saja ke urusan pengusutan tindak pida­nanya. Itu yang harus dibuk­tikan,” ujarnya.

Uji laboratorium, lanjut Das­rul, bisa saja dilakukan Ke­jaksaan Agung. Akan tetapi, ja­ngan sampai uji laboratorium itu berlarut-larut, sehingga men­­jadi kendala untuk melim­pahkan para tersangka kasus ini ke penuntutan.

“Aparat kita jangan terlalu mencari-cari alasan, mengulur-ulur waktu dengan cara uji la­boratorium. Uji laboratorium bukan permasalahan pokoknya. Persoalan pokoknya, sudah ada tindak pidana. Soalnya, Keja­gung sudah menetapkan ter­sang­ka dan kerugian negara­nya,” kata dia.

Jika terlalu banyak meka­nis­me yang dibuat-buat, lanjut Das­rul, akan memperlihatkan ada­nya kelemahan dalam pro­ses penyidikan. “Jangan me­ng­ulur-ulur waktu, sebab itu akan membuat proses penyidikan me­lemah,” ucap anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat ini.

Lagi-lagi, Dasrul mengingat­kan, Kejaksaan Agung harus me­nuntaskan kasus ini. Jangan sampai para pimpinan Keja­gung cuma semangat pada awal penanganan kasus ini, tapi ujung-ujungnya, perkara ko­rup­si ini hilang. “Semakin cepat, maka semakin bagus kinerja ke­jaksaan. Semakin lama, kinerja mereka semakin diperta­nyakan,” ujarnya.

Menurut Dasrul, inilah saat­nya Kejaksaan Agung, mem­buk­tikan kinerja yang bagus di hadapan masyarakat. Soalnya, seperti yang sudah ditaksir Ke­jagung, nilai kerugian negara dalam kasus ini besar, yakni Rp 200 miliar.

Jika kasus tersebut tidak tun­tas-tuntas, tentu citra kejaksaan akan jeblok. Masyarakat akan cu­riga ada permainan. “Ini sa­ngat ber­pengaruh pada citra dan prestasi kejaksaan,” katanya.


Belum Ada Penjahat Lingkungan Yang Dihukum

Hendrik Siregar, Aktivis Jatam

Aktivis LSM Jaringan Ad­vo­kasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar menyoroti pentingnya konsistensi menghukum pelaku tin­dak pidana pada sektor migas.

Persoalannya, menurut Hen­drik, belum ada pelaku tindak pidana pada sektor migas dan tambang lainnya yang dihu­kum. “Belum ada satu pun pen­jahat lingkungan yang di­hukum. Sudah banyak terjadi,” katanya, kemarin.

Hal yang sangat penting un­tuk diawasi, menurutnya, ada­lah pengawasan publik terhadap kinerja aparat hukum dalam mengusut kasus migas dan tam­bang. “Dari mulai penyelidikan hingga vonis di pengadilan, se­mua bisa dimainkan. Jangan sam­pai masuk angin dan hasil­nya selalu merugikan negara. Itu semua harus diawasi ketat, termasuk mengawasi hakimnya nanti,” ingat dia.

Hendrik juga menyoroti kekacauan kepengurusan biaya pemulihan lingkungan bekas pertambangan, yang patut diduga sering diselewengkan pejabat dan pihak perusahaan. “Persoalan seperti ini sudah berulang kali,” katanya.

Bahkan, menurut Hendrik, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah berulang kali mengaudit. “Tapi, hasil audit itu didiamkan saja,” ujarnya.

Menurut Hendrik, biaya yang dimanipulasi itu disebabkan kegagalan pemerintah dalam pe­ng­aturan cost recovery. “Bu­kan kali ini saja biaya pe­mulihan itu disimpangkan pihak-pihak terkait,” tandasnya.

Mengenai uji laboratorium, dia mewanti-wanti agar tidak menjadi ajang mempermainkan atau memperlama penanganan kasus. “Segera buktikan kasus ini di pengadilan,” sarannya.

Tapi, dia mengakui, hasil uji laboratorium dalam kasus Chev­ron penting untuk mem­per­kuat pembuktian.

“Uji la­bo­ratorium itu me­mang dibu­tuh­kan, kalau kon­teksnya mem­buktikan pen­ce­maran,” ujarnya.   [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya