Berita

Abdul Hafiz Anshary

X-Files

Polri Belum Jadwalkan Periksa Bekas Bos KPU

Setelah Cabut SPDP Dari Kejaksaan Agung
MINGGU, 27 MEI 2012 | 10:54 WIB

RMOL. Mabes Polri tak kunjung memeriksa Abdul Hafiz Anshary, setelah menarik SPDP yang menerangkan status tersangka bekas Ketua KPU itu, dalam kasus sengketa Pilkada Halmahera Barat.

Kabareskrim Polri Komjen Sutarman menyatakan, kepo­li­si­an sama sekali belum men­jad­wal­kan pemeriksaan Abdul Hafis Anshary.

Menurut dia, sejak surat perin­tah dimulainya penyidikan (SPDP) ditarik dari Kejagung, pi­haknya masih mempelajari du­ga­an pelanggaran tindak pidana ha­sil Pilkada Halmahera Barat.

Bekas Kapolda Metro Jaya ini, tak merinci hasil analisa semen­tara yang diperoleh jajarannya. Na­mun, ia menyatakan, kepoli­sian menemukan kendala dalam menghimpun data. Kasus ini su­dah terjadi lama, sehingga pe­nyi­dik butuh waktu ekstra untuk kem­bali mengumpulkan data-data. Karena pengumpulan do­ku­men kasus ini belum maksimal, polisi pun belum mengagendakan pemeriksaan bekas Ketua KPU tersebut. “Belum kita agendakan pe­meriksaannya,” ucapnya kepa­da RM, Kamis (24/5) petang.

Sebelumnya, sumber di Direk­to­rat I Pidana Umum Bareskrim Polri menginformasikan, penyi­dik sudah mengumpulkan ke­te­ra­ngan saksi. Saksi-saksi yang di­maksud adalah pelapor kasus ini,  politisi Partai Hanura Abdul Syu­kur Mandar, Ketua KPU Maluku Utara, empat anggota KPUD Hal­ma­hera Barat dan dua orang be­kas komisioner KPU pusat, Abdul Aziz serta Endang Sulastri.

Namun demikian, pemeriksaan saksi dilakukan tanpa diikuti pe­nyusunan berkas perkara. Mak­sud­nya, keterangan saksi masih sebatas ditujukan untuk men­g­kon­firmasi duduk perkara. Pe­nyi­dik ini juga memastikan, tiga be­kas komisioner KPU lainnya se­per­ti Abdul Hafiz Anshary, Syam­sul Bahri dan I Gusti Putu Artha belum dijad­walkan menja­lani pemeriksaan kepolisian. “Belum ada peme­rik­saan terha­dap mereka,” ucapnya.

Lebih jauh, menjawab polemik se­putar SPDP nomor B./81 DP/VII/2011/Dit.Tipidum yang ditarik kepolisian, Sutarman menegaskan, SPDP bersifat sebatas pemberitahuan pada jaksa penuntut umum. Bahwasannya, kepolisian menangani sebuah kasus. Kalaupun dalam SPDP tertulis status tersangka, hal itu merupakan kelengkapan syarat formil semata.

Artinya, jika dalam proses pe­nyelidikan dan penyidikan tak di­temukan tindak pidana, maka pe­nyidikan bisa dihentikan. “Atu­ran­nya seperti itu. Jadi di sini, kita tidak pernah menarik atau mem­batalkan SPDP. SPDP itu sifatnya pemberitahuan,” kata bekas Ka­polres Bekasi tersebut.

Disoal kenapa polisi yang be­lum pernah memeriksa bekas Ke­tua KPU berani men­can­tum­kan status tersangka dalam SPDP, dia beralasan, status itu merupakan sya­rat formil yang harus dipe­nu­hi. Hal itu sesuai dengan aturan KUHAP. Namun demikian, dia menggarisbawahi, status bekas orang nomor satu di KPU itu sampai kini masih seba­gai saksi terlapor. “Penyelidikan dan pe­nyidikannya masih ber­langsung,” ucapnya.

Dia menyatakan juga, penyidik yang membuat dan menangani SPDP tidak dikenai sanksi. Soa­l­nya, hal ini tidak masuk dalam ka­tegori pelanggaran adminis­tratif maupun pidana. “Tidak ada yang salah di sini. Penyidik men­jalankan tugas sesuai kewe­nangannya.”

Berlarutnya pengusutan kasus ini pun, tuturnya, tidak dipicu lan­taran telah diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). “Tidak ada itu SP3. Belum ada,” katanya.  Penuturan Sutar­man ini terkait dengan pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief.

Se­belumnya, Basrief bilang, SPDP atas nama tersangka Abdul Hafiz Anshary sudah dicabut kepo­li­sian. Sejak SPDP kasus ini ditarik kepolisian, kejaksaan belum menerima pelimpa­han berkas perkara atas nama Abdul Hafiz Anshary.

REKA ULANG

Bermula Dari Masalah Penghitungan Suara

Irjen Anton Bachrul Alam, saat menjabat Kadivhumas Polri me­ngatakan, rangkaian pemeriksaan saksi kasus ini untuk melengkapi dokumen rekapitulasi suara hasil pemilu legislatif di tingkat Kabu­pa­ten Halmahera Barat dan ting­kat Provinsi Maluku Utara.

“Kami dapatkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sidang-sidang pleno di KPU,” ucapnya. Anton menambahkan, meski pernah memeriksa dua dari lima komisioner KPU, polisi be­lum membuat Berita Acara Pe­meriksaan (BAP) mereka.

Kepada Panja Mafia Pemilu DPR, bekas Ketua KPU Abdul Hafidz Anshary menjelaskan duduk perkara kasus Halmahera Barat yang sempat menyeretnya se­bagai tersangka. Dia menye­but­kan, secara substansial kesala­han diduga terjadi di tingkat provinsi.

Dia mengatakan, pada Kamis, 8 Mei 2009, KPU Maluku Utara mengadakan rekapitulasi hasil perolehan suara parpol dan caleg DPR di Hotel Pallace Ternate. Rin­ciannya,  KPU Halmahera Ba­rat menghasilkan perhitungan suara, dengan total akhir suara sah dari Hanura 18.197. Total suara yang diperoleh caleg Ha­nura M Syukur Mandar adalah 16.126. Sementara hasil rekap KPU Provinsi Maluku Utara, suara Hanura mencapai 41.074. Di sini M Syukur Mandar meng­gaet  28.764 suara.

“Terhadap rekap itu, saksi PDIP menyampaikan keberatan ke Ketua KPU Halmahera Barat tanggal 8 Mei 2009,” jelasnya da­lam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panja Mafia Pemilu Ko­misi II DPR, Rabu (19/10).

Dalam perolehan suara disebut, untuk DPR Hanura 18.197 dan PDIP 10.993. Padahal, berd­as­ar­kan rekap pada tingkat PPK di 9 kecamatan wilayah Halmahera Barat, Hanura mendapat 12.712 dan PDIP 12.422. “KPU Hal­ma­hera Barat rapat pleno. Namun per­baikan belum sempat disam­pai­kan ke KPU Provinsi Maluku Utara, sehingga data yang dibawa KPU Maluku Utara pada rekap na­sional masih data lama,” jelasnya.

Lanjutnya, pada 9 Mei 2009 KPU melaksanakan rekap suara secara nasional untuk DPR di kan­tor KPU. KPU Maluku Utara mem­bacakan rekap, dan saksi PDIP keberatan, khususnya untuk suara kabupaten Halmahera Barat. Berdasarkan kesepakatan, maka dilakukan rekap ulang de­ngan melihat dokumen-dokumen yang ada karena masih di tangan KPU Hal­mahera Barat dan tidak dibawa ke Jakarta. “Alasannya ketingga­lan pesawat, masih rekap data ka­bu­paten Halmahera Barat,” jelasnya.

Saksi-saksi PDIP ketika guga­tan ini dibawa ke MK me­nyam­paikan bukti-bukti dan dokumen yang lengkap. Sementara Hanura tidak menyampaikan atau me­nun­jukkan bukti dan dokumen yang c­ukup. “Setelah melalui per­si­da­ngan, maka MK mengatakan bah­wa bukti yang disampaikan Hanu­ra lemah. Sebaliknya, bukti-bukti yang diajukan termohon, yakni KPU Provinsi Maluku Uta­ra dan pihak terkait lebih valid serta beralasan hukum karena me­muat data yang lebih terpe­rinci hing­ga tingkat kecamatan,” ujarnya.

Akibat sengketa hasil penghi­tungan suara tersebut, politisi Par­tai Hanura Abdul Syukur Man­dar melaporkan Abdul Hafiz Anshary ke Mabes Polri. Pada 15 Agustus 2011, Kejaksaan Agung menerima SPDP dari Mabes Polri yang berisi keterangan Ketua KPU berstatus tersangka Yang disangkakan kepada Abdul Hafiz antara lain, tentang pemalsuan surat dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.

Kasus Pemilu Erat Dengan Persoalan Politis

M Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menyatakan, persoalan sengketa pilkada hen­daknya diselesaikan secara ob­yektif. Jangan sampai pengu­sutan skandal hukum justru memicu konflik politis secara horisontal.

“Penegak hukum di sini men­ja­di kunci. Mereka harus mam­pu menunjukkan indepen­den­sinya,” kata anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

Dia menilai, perkara hukum dalam konflik pemilu dan pil­kada erat kaitannya dengan per­soalan politis. Oleh karenanya, sangat diperlukan kepiawaian pe­negak hukum dalam mema­hami dan memproses kasus model begini.

Menurut dia, kasus pidana ter­kait sengketa pemilu atau pil­kada biasanya unik dan rumit. “Unik karena melibatkan be­ra­gam unsur di dalamnya. Rumit karena seringkali terjadi secara terstruktur. Terkoordinasi,” ucapnya.

Jadi, mau tidak mau, ke­mam­puan penegak hukum membaca perkara sangat diper­lu­kan. Tanpa dilengkapi kemam­puan mumpuni dan dukungan penuh dari institusi penegak hukum, skandal-skandal terkait seng­keta pemilu dan sejenisnya, bu­kan tak mungkin akan memicu persoalan baru yang lebih kom­pleks. “Kasus SPDP yang me­ny­eret pimpinan KPU itu men­jadi contoh nyata.

Yang mencuat sudah dua kali, harusnya ini jadi perhatian, khu­susnya dari pimpinan kepo­lisian,” tegasnya.  Dia pun me­minta kepolisian segera me­nin­daklanjuti semua rekomendasi Panja Mafia Pemilu DPR dalam menangani kasus hukum terkait pemilu dan pilkada. “Kan ada acuan dasarnya.”

Penetapan Status Tidak Boleh Serampangan

Iwan Gunawan, Sekjen PMHI

Sekjen Perhimpunan Magis­ter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan menilai, pene­ta­pan status tersangka pada be­kas Ketua KPU berpengaruh besar terhadap legitimasi pe­mi­lu maupun pilkada. Karena itu, penetapan status hukum pada be­kas pimpinan lembaga pemi­lu hendaknya dilandasi bukti hu­kum yang kuat.

“Proses itu tidak boleh dila­ku­kan serampangan. Harus melewati proses yang legal atau sah secara hukum,” ucapnya. Dia khawatir, penetapan status tersangka pada Ketua KPU dimanfaatkan pihak tertentu.

Bisa jadi, prediksinya, hal itu dimanfaatkan para mafia pemi­lu untuk balas dendam. Pihak-pihak yang kalah pemilu atau pilkada, bisa dengan mudah menggugat panitia pemilu atau­­pun peme­nang pemilu mau­pun pilkada. “Gugatannya beragam ada yang ditempuh secara administratif maupun pi­dana,” ujarnya.

Di situlah, menurut dia, pene­gak hukum harus waspada. Se­ti­daknya, menanggapi setiap per­kara yang ada secara propor­sio­nal. Jangan sampai, pena­nga­nan kisruh pemilu maupun pilkada itu ditunggangi. Atau, di­bonceng kepentingan penyusup.

Iwan pun meminta, Polri dan Kejagung segera berkoordinasi dalam mengentaskan polemik pe­netapan status tersangka be­kas Ketua KPU. Jika persoalan ini dianggap krusial oleh kedua lembaga hukum itu, hendak­nya, penyelidikan dan penyi­di­kan kasus ini segera dila­k­sana­kan. “Bukan malah digantung. Di­biarkan hingga berlarut-la­rut,” tuturnya.

Jika penegak hukum enggan menyelesaikan kasus tersebut, maka akan menjadi semacam api dalam sekam. Suatu waktu, tambahnya, kasus ini akan men­cuat. Menjadi bahan pertanyaan masyarakat. Otomatis pula, pre­seden tersebut akan menun­juk­kan bahwa wibawa penegak hu­kum masih lemah tatkala ber­hadapan dengan kepentingan elit politik.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya