Muhammad Nazaruddin
Muhammad Nazaruddin
RMOL. KPK menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus pencucian uang melalui pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia, yang dilakukan terpidana perkara suap Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin.
Kemarin, penyidik KPK meÂmanggil dan memeriksa Neni Kartini, Manajer Investasi Permai Grup sebagai saksi. KPK juga memanggil dan memeriksa dua orang bekas karyawan Permai Grup, yakni Syaiful Fahmi dan Ade Susanto.
“Mereka dipanggil sebagai saksi,†ujar Kepala Biro Humas KoÂmisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, keÂmarin.
Johan menambahkan, dalam kasus pencucian uang tersebut, KPK memang baru menetapkan satu tersangka, yakni NazarudÂdin, bos Permai Grup. “Baru MN yang jadi tersangka,†ujarnya.
Akan tetapi, Komisi PemÂbeÂrantasan Korupsi masih meÂlakukan pengembangan ke semua pihak yang diduga terkait kasus tersebut. Jadi, bukan hanya bekas BenÂdahara Umum Partai DeÂmokrat itu yang dibidik KPK.
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaaan KPK Priharsa NugÂraha menambahkan, penyiÂdik sudah memanggil dan meÂmeÂriksa 90 saksi untuk menjaring terÂsangka baru. “Macam-macam yang dipanggil, ada dari swasta, dari universitas dan lain-lain,†kataÂnya.
Kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) pembelian saham Garuda oleh Nazaruddin, terungÂkap dari pengembangan perkara korupsi pembangunan Wisma Atlet. Perusahaan Nazaruddin, diketahui membeli saham PT Garuda sebesar Rp 308 miliar. Uang itu antara lain diduga terkait kasus Wisma Atlet SEA Games, Jakabaring, Palembang, Sumatra Selatan.
KPK kemudian menetapkan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu sebagai tersangka kasus pencucian uang ini. NaÂzaruddin dijerat dengan Pasal 12 huruf a subsidair Pasal 5 dan 11 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pasal 3 atau Pasal 4 junto Pasal 6 UU NoÂmor 8 tahun 2010 tentang TinÂdak Pidana Pencucian Uang.
Sedangkan peran Manajer InÂvestasi Permai Grup Neni KarÂtini diungkapkan bekas Direktur Keuangan Permai Grup Yulianis dalam persidangan kasus suap Wisma Atlet yang menjerat bekas bosÂnya, Nazaruddin, di PengaÂdilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Yulianis mengaku pernah meminta bantuan Neni dan staf keuangan bernama Oktarina Furi, untuk memindahkan kardus-kardus berisi barang bukti, ketika penyidik KPK melakukan pengÂgeÂledahan di kantor Permai Grup, kawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Ketika Yulanis diinterogasi petugas KPK, Neni dan Oktarina memindahkan empat kardus berisi barang bukti tersebut ke ruang kerja Neni dan mengÂunÂcinya. Sebelumnya, satpam lebih dahulu mematikan lampu kantor untuk memudahkan aksi tersebut. “Setelah satpam kantor meÂmaÂtikan lampu, Neni dan Oktarina meÂmindahkan kardus-kardus itu,†papar Yulianis.
Saiful Fahmi juga pernah diÂhadirkan sebagai saksi di perÂsidangan. Dalam kesaksiannya, dia mengatakan, Nazaruddin punya panggilan khusus di kalangan karyawan, yakni babe atau big boss. Itu karena NazaÂrudÂdin adalah pemilik Permai Group. Tapi, Saiful mengaku tidak pernah melihat atau rapat bersama Nazaruddin.
“Saya tahu dari Ibu Yulianis,†kataÂnya.
REKA ULANG
Beli Saham Garuda Rp 300 Miliar
Setelah menjadi tersangka perkara suap Wisma Altet, bekas BenÂdahara Umum Partai DeÂmokÂrat Muhammad Nazaruddin diteÂtapkan KPK sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Pencucian uang hasil korupsi tersebut, diduga dilakukan NazaÂrudÂdin dengan cara membeli saÂham perdana PT Garuda InÂdoÂnesia melalui Mandiri Securitas. Nazaruddin kemudian diuÂmumÂkan KPK sebagai tersangka kasus pencucian uang ini pada Senin, 13 Februari lalu.
Uang untuk membeli saham GaÂruda itu, antara lain diduga terÂkait pemenangan PT Duta Graha Indah (PT DGI) sebagai pelakÂsana proyek Wisma Atlet SEA Games 2011, Jakabaring, PalemÂbang, Sumatera Selatan.
Nazaruddin sebelumnya didakÂwa menerima suap terkait pemeÂnangan PT DGI, berupa cek seÂnilai Rp 4,6 miliar. “Diduga berasal dari kasus suap Wisma AtÂlet yang berÂkaitan dengan PT DGI,†kata Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo.
Indikasi tindak pidana pencuÂcian uang oleh Nazaruddin ini, terÂungkap dalam persidangan kaÂsus suap Wisma Atlet di PengaÂdilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Bekas Wakil Direktur KeuangÂan Permai Grup, Yulianis saat bersaksi dalam persidangan terÂdakÂwa Nazaruddin mengungÂkapÂkan, Permai Grup memborong saÂham PT Garuda Indonesia total Rp 300,8 miliar pada 2010. PemÂbelian saham Garuda itu dilaÂkuÂkan lima perusahaan yang meÂrupakan anak perusahaan Permai Grup. Nazaruddin pun mengakui adaÂnya pembelian saham tersebut.
Untuk mendalami kasus ini, penyidik KPK telah memanggil dan memeriksa saksi-saksi. AnÂtara lain, Direktur Utama Mandiri Sekuritas Harry Maryanto SuÂpoyo, bekas Wakil Direkur KeÂuangan Permai Grup Yulianis, bekas staf keuangan Permai Grup OkÂtarina Furi dan Direktur KeÂuangan PT Duta Graha Indah Laurencius Teguh Khasanto.
Polda Metro Jaya juga meÂnaÂngani kasus pembelian saham GaÂruda ini, tapi bukan dari sisi pencucian uangnya, melainkan dugaan pemalsuan tanda tangan oleh Yulianis.
Kepala Bidang Humas Polda MetÂro Jaya Kombes Rikwanto semÂpat menjelaskan, polemik tenÂtang status Yulianis diawali laÂporan anak buah M Nazaruddin, GerÂhana Sianipar. Dalam laporan tanggal 10 Oktober 2011, YuÂlianis diduga memalsukan tanda taÂngan pelapor.
Sebelumnya, penetapan status tersangka dilakukan pada 10 NoÂvember 2011. Penyidik DitresÂkrimÂum Polda Metro Jaya yang teÂlah memeriksa pelapor, saksi dan dokumen mengirim surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) nomor IV/3806/XI/2011/ditreskrimum.
SPDP yang disampaikan ke keÂjaksaan itu ditandatangani Kasat Hardabangtah Polda Metro Jaya AKBP Aswin Sipayung. Dalam surat itu tertulis, status Yulianis terÂsangka kasus pemalsuan tanda tangan pembelian saham Garuda oleh PT Utama Exartech TechÂnoÂlogy Utama.
Tanda tangan itu tertera di surat pemesanan saham Garuda dan surat kuasa pemÂbuÂkaan rekening saham di perÂusaÂhaan pialang PT Mandiri Sekuritas.
“Kami mencari apa motivasi pemalsuan tandatangan tersebut,†kaÂtanya. Yang jelas, tandatangan itu membuat anak perusahaan Permai Grup ini menguasai saÂham Garuda sebesar Rp 300 miliar lebih.
Rikwanto mengaku, penguÂsutÂan kasus ini tak ditujukan untuk menjegal langkah KPK yang gencar mengusut perkara NazÂaÂrudÂdin. Menurutnya, sama sekali tidak ada motivasi kepolisian membela kepentingan NazarudÂdin. “Kami bertindak sesuai proÂsedur hukum,†alasannya.
Tapi, Mabes Polri kemudian menepis penetapan status terÂsangÂka Yulianis. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution memastikan, Yulianis masih berstatus saksi. “Diperiksa saja dia belum pernah. Jadi, staÂtusnya di kasus tandatangan palsu maÂsih saksi,†tegasnya.
Yang Terkait Itu-itu Juga...
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III
Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago juga menilai, NaÂzaruddin tidak melakukan penÂÂcucian uang hasil korupsi sendirian. Karenanya, sangat mungkin pihak-pihak lain diÂusut dan dijadikan tersangka juga.
“Dari informasi pembelian saham Garuda dengan jumlah besar oleh Nazaruddin itu, tentu ada tangan-tangan lain yang terlibat,†ujar Taslim, kemarin.
Taslim menyarankan, penguÂsutÂan kasus ini dapat ditelusuri KPK dari kasus Wisma Atlet yang membelit Nazar. Jika peÂnyidik jeli dan fokus, maka keÂterlibatan sejumlah pihak dalam sejumlah kasus yang menyeret NaÂzaruddin dapat dibongkar tuntas. “Saya kira yang terkait kasus Nazar, orangnya itu-itu juga,†ujarnya.
Dia pun mengingatkan KPK agar getol mengejar para pelaku yang patut diduga bersama-sama Nazaruddin mencuci uang itu. “Kalau baru hanya NaÂzaÂrudÂdin yang jadi tersangka, itu berarti KPK belum selesai atau belum maksimal mengusut kaÂsus ini,†ujarnya.
Mengingat, ada dugaan seÂjumlah pejabat tinggi dan poÂlitisi terlibat kasus ini, lanjut Taslim, tidak tertutup keÂmungÂkinan ada upaya-upaya politis pihak-pihak berkepentingan unÂtuk melokalisir kasus dan bahÂkan menyetop pengusutannya. Akan tetapi, dia mengingatkan KPK agar tidak terpengaruh daÂlam mengusutnya.
“Tentu kasus ini banyak sisi poÂÂlitisnya, karena Garuda adaÂlah BUMN, tapi KPK tak boleh terpengaruh sisi politis itu. KPK harus fokus pada kasus. Soal mempolitisir atau melokalisir, itu sangat mungkin terjadi, maka di sinilah kita tuntut inÂdeÂpendensi KPK. Sebagai lemÂbaga yang masih dipercaya rakyat, jangan rusak keperÂcaÂyaan itu,†ujarnya.
Tersangka Nazar Tak Berdiri Sendiri
Sandi Ebeneser, Majelis Pertimbangan PBHI
Ada dua sisi yang perlu diÂperÂhatikan dalam kasus pencucian uang melalui pembelian saham PT Garuda Indonesia dengan terÂsangka Muhammad NazarudÂdin.
“Pertama, yang mengÂguÂnakan uang itu NaÂzaÂrudÂdin. Kedua, yang menerima uang itu pihak Garuda atau broÂker,†kata angÂgota Majelis Pertimbangan PerhÂimÂpunan BanÂtuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi EbeÂneÂser, keÂmarin.
Untuk lancarnya pengusutan, lanjut Sandi, sebaiknya KPK seÂgera melakukan upaya blokir terhadap uang saham tersebut. “Karena uang itu diduga berasal dari kejahatan, semestinya dengan itikad baik, nilai saham tersebut sementara dibekukan saja,†ujarnya.
Sandi pun mengingatkan, dalam perkara ini, Nazaruddin tidak berdiri sendiri. Semua peÂmainnya harus dibongkar tuntas. “Pencucian uang itu buÂkan perkara tunggal, tapi ada perkara lain yang terjadi, yaitu korupsi. Sumber uang itu diperoleh Nazaruddin dari siapa? Pemberi uang kepada Nazaruddin itu semestinya jadi tersangka juga,†katanya.
Selain si pemberi uang keÂpada Nazaruddin harus jadi terÂsangka dalam kasus ini, kata Sandi, para petinggi perusahaan di mana Nazar bernaung pun harus segera bertanggung jaÂwab. “Karena dalam pembelian saham itu, Nazar tidak mengÂgunakan pribadinya, tapi perÂusahaan,†tandas Sandi.
Sedangkan pihak Garuda, lanjut Sandi, punya kewajiban untuk menyetop sahamnya NaÂzaruddin, tapi ada kendala kaÂrena terkait otoritas bursa. “GaÂruda dan Mandiri Sekuritas adalah pihak yang pasif, yang mengikuti bursa saham karena saham tersebut dijual di publik. Yang perlu ditelisik adalah sumber uang tersebut dari maÂna,†tandasnya.
Kasus ini pun, lanjut Sandi, saÂngat kental kepentingan poÂlitiknya. Lantaran itu, dia meÂnilai, KPK, Kejaksaan Agung dan Polri belum memiliki keÂberanian untuk mengusut sumber uang tersebut.
Pada posisi seperti inilah, KPK kembali diuji keberanianÂnya untuk berhadapan dengan sejumlah elit dan politisi yang hendak menghentikan penguÂsutÂan lebih jauh. “Kasus ini meÂmiliki dimensi politik yang tinggi karena kejahatan kerah putih melibatkan petinggi-petingi,†ujarnya.
Sandi mengingatkan, agar pembuktian kasus ini tidak mengÂgunakan model pemÂbuktian konvesional yang bisa dimainkan untuk menutupi peran para petinggi.
“Kalau pembuktiannya konÂvensial, maka KPK kesulitan meÂnemukan jejak para petinggi itu. Jika itu yang dilakukan, KPK bisa dinilai tidak berani kaÂrena pejabat KPK sekarang ini kepanjangan tangan poÂliÂtisi,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52