RMOL. Jumat sore Ahmad Yani merapat ke daerah Senayan. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini bukan hendak ngantor ke DPR. Tujuannya adalah lapangan tembak yang terletak di belakang gedung parlemen.
Anggota Komisi III DPR itu hendak mengasah kemamÂpuanÂnya membidik sasaran dengan senjata api (senpi). “Saya latihan setiap Jumat sore itupun kalau ada waktu kosong,†katanya.
Yani adalah contoh orang sipil yang diperkenankan memegang senpi. Kepolisian memang memÂperÂbolehkan anggota DPR meÂmiliki senjata mematikan itu untuk bela diri.
Yani memegang pistol FN kaliÂber 22. Ia mengaku mengÂajukan izin memiliki senpi ketika masih berprofesi sebagai pengacara. SenÂpi untuk bukan bela diri, tapi untuk olahraga menembak.
Olah raga ini sudah digelutinya sejak lama. “Saya menembak dari saya kecil di Palembang. WalauÂpun saat itu menggunakan senjata untuk berburu,†tutur anggota PerÂsatuan Olahraga Menembak dan Berburu Indonesia (PerÂbakin) ini.
Lantaran memiliki senjata untuk olahraga, Yani tak pernah membawa-bawanya saat berakÂtiÂfitas sebagai anggota DPR.
“Saya selalu taruh senjatanya di dalam brankas di rumah. Tidak pernah dibawa ke mana-mana, terÂmasuk saat kegiatan kunjÂungÂan kerja ke daerah,†kata dia.
Senpi yang dipegangnya bisa diisi peluru karet tajam maupun karet. “Saat perpanjangan izin saya mendapat satu kotak amuÂnisi, tapi nggak tahu jumlahnya beÂrapa,†ujar Yani.
Setiap orang sipil yang memeÂgang senjata api wajib memÂperÂpanjang izin setiap enam bulan. Perpanjangan dilakukan di MaÂbes Polri.
Kepolisian tak sembarangan meÂngabulkan perpanjangan izin memegang senpi. Pemohon harus harus kembali menjalani seÂrangÂkaian tes termasuk psikotes untuk mengetahui kondisi emosional orang hendak memeÂgang senpi.
“Bila emosionalnya tidak staÂbil, bisa dipastikan tidak menÂdapat perpanjangan izin,†ungkap Yani.
Yani menceritakan proses unÂtuk mendapat izin memegang senjata pertama kali lebih dulu. TesÂnya lebih berat dibanding perÂpanjangan izin. “Bahkan tidak seÂmua anggota TNI atau Polri menÂdapat izin memegang senjata kaÂrena tidak lolos psikotes,†tuturÂnya.
Haryono Umar, Inspektur JenÂderal (Irjen) Kementerian PenÂdidikan dan Kebudayaan meÂngaÂku pernah memegang senpi saat di Komisi Pemberantasan KorupÂsi (KPK). “Pimpinan KPK meÂmang diberi fasilitas senjata api untuk menjaga keselamatan diriÂnya,†kata dia. Haryono adalah waÂkil ketua KPK periode 2007-2011.
Haryono tak nyaman memeÂgang senjata mematikan itu. Ia khawatir lupa menyimpannya. “Apalagi saya punya anak laki-laki di rumah. Bisa berbahaya kalÂau disalahgunakan,†ungÂkapnya.
Tak sampai dua bulan senjata jenis FN itu diserahkan ke Sekjen KPK. Selanjutnya, senjata itu disimpan di brankas lembaga pengÂgasak korupsi itu. “Kalau saya pegang terus, pistol tersebut bisa karatan karena tidak pernah digunakan,†katanya.
Walaupun tak lagi memegang senpi, setiap tahun Haryono harus memperpanjang izin ke Mabes PolÂri. “Kalau memÂperpanjang muÂdah dan tidak sesulit saat menÂdapatkan izin pertama kali,†kataÂnya.
Sebelum mendapat izin pengÂgunaan senjata api, Haryono meÂnuturkan, dirinya harus mengÂikuti serangkaian tes yang dilakukan tim kepolisian selama beberapa hari. Mulai dari latihan menembak hingga psikotes.
Seluruh tes itu, menurut dia, bisa dilalui dengan baik. SehingÂga Haryono dinyatakan lulus dan berhak memegang senjata api.
Setelah keluar dari KPK menÂjadi Irjen, Haryono tak lagi memperpanjang izin senjata api. Ia merasa tak perlu memiliki senÂjata api.
“Bila ada ancaman dijalan ia pasrah saja. Karena bilapun ia memÂbawa senjata api, ia tetap akan kesulitan menggunakan senjata api secara baik karena tidak terbiasa,†katanya.
Sebagai Irjen Kemendikbud, Haryono diperbolehkan memeÂgang senjata api. Pejabat eselon I lainnya yang juga bisa memiliki senpi adalah sekretaris jenderal (sekjen) dan direktur jenderal (dirÂjen).
Yani maupun Haryono tak mempermasalahkan kalangan sipil memegang senpi senjata sepanjang memenuhi aturan.
“Tapi kalau dibuat aturan baru yang melarang penggunaan senjata api dikalangan sipil, juga nggak apa-apa,†kata Yani.
Sementara, Haryono menyaÂranÂkan kalangan sipil tak perlu meÂmegang senjata. Lebih baik diserahkan kepada anggota TNI atau Polri yang memang dilatih untuk menggunakan senjata itu.
Kepemilikan senjata api di kalangan sipil mulai dipersoalkan setelah aksi “koboi†Iswahyudi ramai diberitakan.
Pengusaha kelapa sawit itu meÂnodongkan senpi ke seorang karyawan restoran Cork & Screw di Plaza Senayan lantaran tak teÂrima tagihan makan dan miÂnumÂnya membengkak.
Karyawan itu lalu mengadu ke polisi. Iswahyudi pun ditangkap dan ditetapkan sebagai terÂsangka.
40 Ribu Senpi Dipegang Sipil
Memiliki senjata ternyata tak sulit. Izinnya pun murah. Hanya Rp 1 juta.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri, Saud Usman Nasution, orang sipili diperbolehkan meÂmiliki senjata api.
“Kalau dia orangnya baik dan cakap, kenapa tidak? Siapa saja boleh,†katanya.
Kriteria cakap ini perlu diduÂkung rekomendasi dari polisi di tingkat wilayah, Polres dan Polda. Pekerjaan pemohon juga menemukan apakah dia laik meÂmegang senjata.
“Selain itu, melalui uji keÂsehatan apakah seseorang itu benar-benar sehat lahir batin, orang itu tempramen atau tidak,†kata Saud.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang kewenangan kepolisian, Polri bisa memberikan izin senjata api. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1960 mengatur soal izin ini.
“Bila dalam pelaksanaannya seseorang yang sudah memiliki izin ternyata menyalahgunakan kita akan cabut dan tidak akan dibeÂrikan izin lagi. Selanjutnya dipÂroses sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sesuai dengan tingkat perbuatan,†tegas Saut.
Mengenai biaya memperoleh izin memegang senjata api, Saud membeberkan, tak sampai Rp 1 juta. Biaya ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010. Uangnya disetor sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Saud mengungkapkan sejak 2009 Polri telah mengeluarkan 25.031 izin senjata berpeluru tajam untuk kalangan sipil. Sebanyak 10.154 senpi berpeluru karet dan 5.810 peluru†gas.
Pada 2005, di era Kapolri Sutanto pada 2005, kepolisian sudah tak lagi mengeluarkan izin senpi untuk sipil. Izin yang sudah mati tidak bisa diperpanjang.
Senjata ditarik lalu disimpan digudang. Hingga kini sudah 9.766 senjata yang ditarik dan diÂgudangkan. Terdiri dari senjata api peluru tajam 1.362 pucuk, senÂjata karet 5.607 pucuk, dan senÂjata api peluru gas 2.867 pucuk. Izin senjata api masih diÂbeÂrikan kepada mereka yang terÂcatat sebagai anggota Perbakin dan untuk keperluan olahraga meÂnembak.
Izinnya Diteken Langsung Kapolri
Polri membuat aturan meÂngeÂnai kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Senjata api itu hanya boleh digunakan untuk bela diri atau ketika nyaÂwa terancam.
Dalam Surat Keputusan KaÂpolri Nomor 244 Tahun 1999 disebutkan, pemohon harus meÂmiliki keterampilan menembak minimal kelas III. Kemampuan ini harus yang dibuktikan deÂngan sertifikat yang dikeÂluarÂkan Institusi Pelatihan MeÂnemÂbak yang sudah mengantongi izin dari Polri. Sertifikat itu pun masih harus disahkan oleh peÂjabat Polri.
Pemohon harus berkelakuan baik dan belum pernah terlibat dalam tindak pidana yang diÂbukÂtikan dengan SKKB. Lalu lulus screening yang dilakÂsaÂnaÂkan Kadit IPP dan Subdit PamÂwassendak. Ia pun sudah berÂusia dewasa.
Pemohon akan melalui seÂrangÂkaian tes medis maupun psiÂkologis. Secara medis, dia harus sehat jasmani, tidak cacat fisik yang dapat mengurangi keterampilan membawa dan mengÂgunakan senjata api dan berpenglihatan normal.
Syarat psikologis, si pemoÂhon bukan orang yang cepat guÂgup dan panik, tidak emosional dan tidak cepat marah serta buÂkanlah seorang psikopat. Untuk mengetahui kondisi kejiwaan itu, pemohon akan menjalani psiÂkotes di Dinas Psikologi MaÂbes Polri.
Jenis senjata api yang boleh dimiliki yaitu senjata genggam kaliber 22 dan kaliber 33 yang bisa dikeluarkan izinnya.
Sedangkan untuk senjata bahu (laras panjang) adalah kaliber 12 GA dan kaliber 22. Jenis senjata yang diberikan adalah non standar TNI dan PolÂri, dengan jumlah maksiÂmum dua pucuk per orang.
Selain itu ada juga senjata api berpeluru karet atau gas. Jenis senÂjata api itu antara lain adalah ReÂvolver, kaliber 22/25/32, dan senÂjata bahu Shortgun kaliber 12mm.
Kalangan sipil yang diperÂkenankan memiliki senjata api adalah pejabat negara, pejabat swasta dan perbankan. Untuk peÂjabat swasta dan perbankan yang diperbolehkan hanya preÂsiden direktur, presiden koÂmisaris, komisaris, direktur utama dan direktur keuangan.
Pejabat negara yakni menteri, ketua MPR, ketua DPR, angÂgota DPR, sekretaris kabinet dan sekjen, dirjen dan irjen di keÂmenterian. Kemudian guÂberÂnur, wakil gubernur, sekÂwilÂda, rwilprop, dan ketua DPRD.
Di jajaran TNI/Polri mereka yang diperbolehkan memiliki senjata api hanyalah perwira tingÂgi dan perwira menengah deÂngan pangkat serendah-renÂdahnya kolonel, namun meÂmiÂliki tugas khusus.
Demikian pula untuk purÂnaÂwirawan. Yang diperbolehkan hanyalah perwira tinggi dan perÂwira menengah dengan pangÂkat terakhir kolonel yang memiliki jabatan penting di pemerintahan/swasta.
Pasal 9 Undang-Undang NoÂmor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin KeÂpemilikan Senjata Api meÂnyebutkan setiap orang yang buÂkan anggota tentara atau polisi yang memakai dan meÂmiliki senjata api harus memÂpunyai izin pemakaian senjata api menurut contoh yang diteÂtapkan kepala kepolisian negara.
Dengan dasar itu, setiap izin keÂpemilikan atau pemakaian senÂjata api harus ditandatangani langÂsung Kapolri. Tidak bisa diÂdelegasikan kepada pejabat lain seÂperti Kapolda. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:05
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:04
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:42
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:23
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:11
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:59
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:44