RMOL. Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso menilai, UU Pemilu yang baru disahkan DPR hanya akal-akalan saja.
“Undang-Undang itu kan harus ada unsur-unsur kepastian hukumnya. Tapi yang terjadi seÂtiap kali mau pemilu, Undang-Undangnya selalu diganti,†ujarÂnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, 22 parpol non parlemen menggugat UU PeÂrubahan atas UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu ke MahkaÂmah Konstitusi (MK).
Ada dua pasal yang mereka gugat yaitu, Pasal 8 tentang veriÂfikasi partai peserta pemilu dan pasal 208 tentang ambang batas parlemen (Parliamentary TresÂhold/PT) 3,5 persen yang berlaku untuk nasional.
Sutiyoso selanjutnya mengataÂkan, dalam UU Nomor 10 tahun 2008 salah satu pasalnya menyeÂbutkan, para peserta Pemilu 2009 secara otomatis akan menjadi peserta pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2014.
“Tetapi dirubah. Yang otomatis itu hanya sembilan parpol saja yang sudah di parlemen,†kata bekas Gubernur DKI Jakarta itu.
Berikut kutipan selengkapnya:
Sepertinya parpol non parleÂmen gerah ya kalau harus diÂveÂriÂfikasi?
Masalahnya syarat verifikasi sekarang ini tidak sama dengan syarat verifikasi tahun 2008. Hal ini menunjukkan, ketika mau bertanding Pemilu 2014, parpol yang di parlemen ini mengguÂnaÂkan syarat yang lunak. SedangÂkan, kami ini menggunakan syarat yang berat.
Anda menilai tidak adil?
Ya dong. Ini menunjukkan keÂtidakadilan dan sangat diskrimiÂnasi terhadap parpol-parpol non parlemen. Sebab, verifikasi tahun 2009 itu parpol harus mempunyai pengurus hingga 75 persen di tingkat provinsi.
Setiap kabupaten atau kota haÂrus mempunya pengurus hingga 50 persen dan setiap kecamatan harus ada 25 persen pengurus.
Kalau untuk tahun 2014?
Undang-Undang Pemilu yang direvisi itu mengharuskan setiap parpol mempunyai pengurus di tingkat provinsi hingga 100 persen, kabupaten atau kota 75 persen dan setiap kecamatan 50 persen.
Parpol non parlemen takut dengan aturan seperti itu?
Bukan masalah takut. Aturan semacam itu hanya dikenakan kepada kami parpol non parleÂmen. Sedangkan parpol yang di parlemen, tidak dikenakan aturan seperti itu. Masa seperti itu.
Sepertinya, Anda meraguÂkan parpol yang sudah di parÂleÂmen jika diverifikasi tidak akan lolos?
Kalau parpol yang sudah duÂduk di parlemen diverifikasi seperti kami, bisa juga nggak lolos. Sekarang begini, partai-partai menengah di Senayan, bisa tidak untuk memenuhi penguÂrus hingga 100 persen di provinsi atau 75 persen di tingkat KabuÂpaten atau kota untuk wilayah Papua yang mayoritas non muÂslim. Saya kira, parpol itu pasti tidak lolos kalau diverifikasi.
Atau sebaliknya, misalnya Partai Damai Sejahtera (PDS) seÂbagai partai non parlemen untuk memenuhi kepengurusannya hingga 100 persen di Aceh yang mayoritasnya Islam. Apa yang akan terjadi. Jika aturan ini diÂterapkan secara nasional.
Bagaimana dengan aturan meÂngenai PT yang 3,5 persen?
Sebenarnya dari mana adanya angka 2,5 persen atau 3,5 persen itu. Mereka nggak ada rumusanÂnya dan referensinya. Sekarang, kalau kalau mengacau pada 2009 dengan ambang batas 2,5 persen, mengakibatkan sekitar 19 juta suara sah tidak terwakili di parÂlemen.
Apalagi, jika dinaikkan menÂjadi 3,5 persen, maka akan ada 30 juta suara yang tidak terwakili di parlemen. Padahal ini suara sah bukan golput. Demokrasi macam apa kalau seperti ini.
Bisa disebutkan kenapa samÂpai 30 juta suara hilang?
Misalnya saja, PKNU yang memÂpunyai basis di Jawa Timur dan di salah satu kabupaten atau kota, partai ini menang mutlak atau mendapatkan 15 kursi dari 45 kursi yang diperebutkan.
Tetapi karena sistemnya secara nasional, maka dia bisa tidak lolos dan 15 kursi pun hiÂlang dan diÂamÂbil partai yang lolos. Hal seÂmaÂcam ini akan meÂÂnimbulÂkan reaksi deÂngan benÂtuk yang berÂmacam-macam.
Apalagi, ini akan terjadi di berÂbagai daerah. Saya katakan neÂgeri ini akan jadi chaos kaÂlau itu diberlakukan.
BagaiÂmana jika dalam satu kota/kabuÂpaÂten suaÂra seÂmua parÂpol di bawah 3,5 perÂsen?
Skenario semacam ini akan leÂbih ektrim lagi. Bayangkan saja, jika satu kota, suaranya terbagi-bagi dan semuanya tidak sampai angka 3,5 persen, berarti dia tidak ada perwakilannya dong di parleÂmen. Mereka yang di Senayan ini, mikir nggak masalaha ini.
Apakah Anda sudah meÂnyamÂpaikan masalah ini ke DPR?
Kami sudah berikan masukan mengenai ini melalui ketua dan wakil ketua DPR serta kepada Pansus Pemilu.
Tanggapan mereka?
Waktu itu, mereka hanya mengangguk-anggukan kepala dan mengerti. Tetapi tidak diÂrespons. Makanya jalan terakhir kami gugat ke MK.
Anda yakin menang?
Sangat yakin akan menang. SeÂbab, banyak kelemahan Undang-Undang ini. Apalagi karakter Ketua MK Pak Mahfud MD yang konsisten dan tidak bisa ditekan oleh siapapun. [Harian Rakyat Merdeka]