Marwan Effendy
Marwan Effendy
RMOL. Bagaimana nasib laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai 12 rekening janggal milik jaksa? Mangkrak?
Jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan masih melakukan penelusuran untuk mengetahui, apakah jaksa-jaksa yang memiÂliÂki rekening jumbo, mendapatkan kekayaannya karena melakukan tindak pidana korupsi.
“Masih kami dalami, jika meÂmang ada indikasi tindak pidana, tentu akan kami proses secara piÂdana. Jamwas kan punya weÂweÂnang melakukan penyidikan,†ujar Jaksa Agung Muda PeÂngaÂwasan Marwan Effendy, kemarin.
Menurut Marwan, pihaknya maÂsih mengklarifikasi sejumlah data dan memanggil jaksa-jaksa yang dicurigai memiliki rekening gendut. Kendati begitu, dia meÂnamÂbahkan, bisa saja data PPATK mengenai rekening jangÂgal jaksa itu ditindaklanjuti KPK atau PolÂri. “Kami memiliki kewenaÂngan untuk itu, kecuali untuk yang suÂdah pensiun. Bisa juga ditangani KPK atau Polri,†ujarnya.
Dia mengaku tidak akan memÂpetieskan dan menutup-nutupi haÂsil pemeriksaan internal terseÂbut. “Kami memroses setiap laÂpoÂran dan informasi mengenai duÂgaan pelanggaran yang dilaÂkukan jaksa,†kata bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus ini.
PPATK melaporkan 12 reÂkeÂning jaksa yang dianggap tidak wajar. Akan tetapi, pihak KeÂjakÂsaan Agung mengklaim hanya sembilan rekening jaksa yang dapat dinilai mencurigakan. Para pemilik rekening itu pun, meÂnuÂrut Marwan, hanya dari eselon II, III dan IV. “Tidak ada dari eselon I,†ujarnya.
Semua jaksa yang dilaporkan meÂmiliki rekening janggal itu, kaÂtanya, akan dipanggil dan diÂpeÂriksa terlebih dahulu oleh Bidang Pengawasan. Sejauh ini, lanjut MarÂwan, jajarannya sudah meÂmanggil dan memeriksa lima jakÂsa terkait laporan PPATK terÂseÂbut. “Masih didalami bukti-bukÂti yang diajukan mereka. Dari hasil pendalaman, nantinya baru bisa ditentukan apakan mereka clear atau tidak,†ujarnya.
Menurut Marwan, transaksi dalam rekening-rekening itu jumÂlah kumulatifnya berkisar ratusan juta hingga dua miliar rupiah. Bisa hasil korupsi, bisa pula buÂkan. Itulah yang masih ditelisik jaÂjaran Jaksa Agung Muda PeÂngawasan. “Bisa saja mereka peroleh di luar gaji, tapi belum tentu dari kejahatan seperti terima suap atau memeras,†ujarnya.
Dia menambahkan, seorang jaksa disebut memiliki rekening mencurigakan karena profil gajinya tidak sesuai dengan tranÂsaksi-transaksi dalam rekeÂningÂnya. “Misal, seorang PNS eselon II gajinya Rp 6 juta, rupanya ada masukan Rp 10 juta, tapi belum tentu yang 10 juta dari memeras atau menerima suap,†kata dia.
Menurut Marwan, laporan meÂngenai rekening mencurigakan milik jaksa itu sebenarnya lapoÂran lama yang baru masuk ke KeÂjaksaan Agung. Kendati begitu, dia tetap akan menelusuri dan meÂnerapkan pembuktian terbalik terhadap rekening-rekening menÂcurigakan tersebut. “Saya sudah minta pembuktian terbalik,†tandasnya.
Bila memang ada jaksa yang isi rekeningnya dari hasil tindak piÂdaÂna korupsi, kata Marwan, piÂhaknya akan menindak tegas. “KaÂlau terbukti, bukan hanya diÂcopot, tapi dipidana juga,†ucapnya.
Sebaliknya, lanjut Marwan, uang yang besar dalam rekening sejumlah jaksa itu bisa juga diperoleh dengan cara yang halal. Karena itu, pihaknya tidak serta merta membuat kesimpulan bahÂwa uang dalam rekening para jakÂsa itu haram.
“Mungkin saja uang itu disimÂpan dari usaha keuntungan daÂgang, dari pemberian saudara, jual rumah, hasil kebun dan lain-lain. Tapi, karena menurut PPATK jumlah transaksi di reÂkening-rekening itu melebihi gaji pemiliknya, ya patut dicurigai,†katanya.
REKA ULANG
Dari 12 Jadi 9 Rekening Mencurigakan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan 12 rekening jaksa yang tidak wajar. Hal itu memÂbuat Jaksa Agung Basrief Arief mengaku terperangah.
Basrief pun mencoba mengÂklaÂriÂfikasi hal tersebut kepada PPATK. Hasilnya, PPATK memÂberikan jawaban bahwa sembilan rekening saja yang tidak wajar. “Setelah saya cek dan saya minta konfirmasi dari PPATK, hanya ada sembilan rekening yang menÂcurigakan. Itu adalah yang lalu-lalu. Waktu itu disebutkan pernah ada yang lakukan klarifikasi dan seÂkarang saya meminta klaÂrifikasi ulang terkait laporan ini,†ujarnya.
Kemudian, Basrief meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) untuk menangani data PPATK tersebut. “Tapi yang pasÂti, laporan itu tidak disampaikan keÂpada Jaksa Agung,†katanya.
Data tersebut, menurut BasÂrief, murni dari PPATK karena di kejaksaan tidak ada data yang lengkap mengenai hal tersebut. “Tapi sungguh demikian, saya minta hal itu untuk diklarifikasi,†kata bekas Jaksa Agung Muda Intelijen ini.
Sebelumnya PPATK meÂnyeÂbutÂkan ada 89 laporan hasil anaÂlisis, yakni KPK 1 laporan, keÂjaksaan 12 laporan, hakim 17 laÂpoÂran dan legislatif 65 laporan. Sebanyak 12 rekening jaksa telah dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. “Iya, sudah dilaporkan ke Kejaksaan Agung juga,†kata Ketua PPATK M Yusuf yang ditemui seusai acara di Kejaksaan Agung, Jakarta pada Kamis (22/3).
Yusuf menjelaskan laporan adanya rekening mencurigakan tidak hanya milik kejaksaan, tetapi juga instutusi kepolisian, dan sudah dilaporkan ke masing-masing institusi.
Di antara 12 rekening menÂcuriÂgakan itu antara lain milik jakÂsa yang telah menjadi terpiÂdaÂna Urip Tri Gunawan. Sedangkan dua jaksa lainnya telah pensiun. “Hanya eselon IV, ada yang tidak punya eselon, ada yang mantan,†kata pria yang juga jaksa ini.
Action Kejagung Tidak Serius
Patrialis Kosay, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Patrialis Kosay menyampaikan, sulit mempercayai aparat peÂnegak hukum unÂtuk memÂbeÂrantas tindak pidana korupsi, apabila dalam tubuh instansi peÂnegak hukum itu sendiri beÂlum bersih dari korupsi.
“Saya kira, mereka tidak serius mengusut sesamanya yang diduga memiliki rekening gendut. Selama ini, saya meliÂhat, mereka maunya sibuk meÂngusut kasus korupsi eksternal, padahal di internal mereka sendiri tak serius diusut,†ujar Patrialis, kemarin.
Dia mengingatkan, kecuÂriÂgaan publik kian tinggi apabila rekening janggal sejumlah jaksa itu tak pernah diseÂleÂsaiÂkan secara tuntas. “Bisa jadi, mereka melindungi rekan-reÂkan satu korpsnya, sehingga tidak mau mengusut tuntas,†curiganya.
Kosay mengatakan, jika korupsi di internal tidak selesai diusut, maka berbagai persoaÂlan korupsi di luar pun tidak akan sungguh diusut. “PeÂneÂgaÂkan hukum dan pemberantasan korupsi di mana pun tidak akan selesai, sebab di internal meÂreÂka pun belum tuntas,†katanya.
Bagi Kosay, upaya pemÂbeÂranÂÂtasan korupsi oleh keÂjaksaan bisa dinilai sebagai tameng. “Upaya pemberantasan korupsi di luar itu seperti sandiwara saja, yang tujuannya hanya unÂtuk menghibur rakyat. Ada baÂnyak kasus korupsi yang muÂnÂcul dan ditangani, nyatanya tiÂdak sungguh-sungguh diusut kaÂrena tak kunjung masuk peÂngadilan,†ujarnya.
Dia menegaskan, jika meÂmang serius ingin memÂberÂsihÂkan Indonesia dari korupsi, maka langkah pertama adalah membersihkan internal masing-masing institusi dahulu dari koÂrupsi. “Mereka harusnya menÂjadi teladan, menunjukkan tidak korup. Rakyat tak pernah perÂcaÂya bila instansi-instansi itu tiÂdak dibersihkan dulu,†ujarnya.Selain itu, lanjut Kosay, moÂdel kepemimpinan yang tegas sangat diperlukan untuk memÂbersihkan Indonesia dari koÂrupsi. “Pimpinan nasional harus berani dan benar-benar tegas membersihkan lingkungannya terlebih dahulu dari korupsi, itu pasti akan membawa pengaruh baik. Kalau seperti sekarang, tidak ada yang bisa diÂhaÂrapkan.â€
Jaksa Jangan Diperiksa Jaksa
Hendardi, Ketua Setara Institute
Ketua Setara Institute HenÂdardi menyampaikan, KejakÂsaÂan Agung sebagai lembaga peÂnegak hukum tidak boleh mengÂhindar untuk mengusut tuntas laporan PPATK mengenai rekening mencurigakan milik sejumlah jaksa.
“Kalau ada indikasi seperti itu, Kejaksaan Agung harus memeriksa semuanya. Supaya tidak ada diskriminasi dengan institusi lain. Ini juga meruÂpaÂkan semangat pemberantasan korupsi. Kejaksaan tak bisa meÂnutup diri akan hal itu,†ujar Hendardi, kemarin.
Dia menilai, selama ini jika ada jaksa yang terlibat masalah, Korps Adhyaksa kerap bertinÂdak tidak fair. “Kejaksaan kalau terkait dirinya sendiri menutup diri, seolah-olah mereka bisa meÂnyelesaikannya secara inÂternal, tapi tidak diselesaikan,†ujar Hendardi.
Lantaran itu, menurut HenÂdardi, pengusutan pelanggaran berupa dugaan korupsi di KeÂjaksaan Agung harus dilakukan secara transparan dan ketat, dan tidak boleh dilakukan internal keÂjaksaan.
“Mesti dicari teroÂbosan agar pemeriksaan tidak dilakukan kejaksaan sendiri. Misalnya, ada instansi gabungan dengan pengawasan yang ketat, dan karena kejaksaan di bawah PreÂsiden, maka Presiden perlu langÂsung mengawasinya.â€
Pengawasan jaksa oleh KoÂmisi Kejaksaan, nilai HenÂdardi, juga tidak efektif. “Komisi KeÂjakÂsaan juga tak punya weÂweÂnang terlalu besar dalam pengaÂwaÂsan. Komisi Kejaksaan juga harus mendorong proses peÂnguÂsutan jaksa dan terus meÂnyuÂaÂraÂkan progresnya. Presiden haÂrus turun langsung melakukan pengawasan terhadap jaksa,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30