Berita

PT Chevron Pasific Indonesia

X-Files

Tersangka Kasus Chevron Belum Ditahan dan Dicekal

Seriuskah Kejagung Tangani Proyek Lingkungan Fiktif
SABTU, 24 MARET 2012 | 09:02 WIB

RMOL.Seriuskah Kejaksaan Agung menangani perkara proyek fiktif perbaikan lingkungan bekas lahan pertambangan PT Chevron Pasific Indonesia?

Pertanyaan itu pantas di­ajukan, mengingat Kejagung ti­dak menahan dan belum men­cekal tujuh tersangka kasus ini. Pa­dahal, nilai kerugian negara da­lam perkara ini, menurut Ke­ja­gung sangat besar, yakni Rp 200 miliar. Dengan nilai kerugian ne­ga­ra sebesar itu, apakah Ke­ja­gung tak khawatir para tersangka akan melarikan diri ke luar negeri?

Apalagi, kasus korupsi yang tersangkanya tidak ditahan, bisa tak kunjung masuk ke pengadilan lantaran tak ada batas waktu pe­nuntasannya. Itulah yang dise­but kasus mangkrak. Akankah per­kara proyek fiktif ini bakal mang­krak? Cuma heboh di awal pe­na­nganannya, tapi akhirnya tak je­las. Seperti hilang ditelan waktu.

Tapi, Jaksa Agung Basrief Arief mengklaim, jajarannya sa­ngat serius mengusut kasus pro­yek fiktif perbaikan lingkungan dengan teknologi bioremediasi yang dilakukan perusahaan mul­tinasional, PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Riau, Su­matera.

“Untuk kasus Chevron, kalau di­tanya keseriusan, saya bisa nya­takan bahwa sekali kami me­ning­katan kasus ini ke penyidikan, tidak ada kata surut. Penyidikan harus berlangsung terus secara profesional dan proporsional,” ujar Basrief seusai mengikuti aca­ra kinerja akhir tahun Kejaksaan Agung, di Sasana Pradana, Ge­dung Utama, Kejaksaan Agung, Kamis (22/3).

Meski Basrief mengaku sangat serius, Kejaksaan Agung belum menahan tujuh tersangka kasus ini, yakni  ER, WB, KK, HL, RP, AT dan DAF. Bahkan, para ter­sangka yang masih bebas ke­lu­yuran itu belum dicegah ke luar ne­geri.

“Mengenai pencekalan, ten­tu kami akan melakukannya, se­panjang menurut penyidik di­bu­tuhkan pencekalan,” alasannya.

Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Arnold Angkouw juga me­nepis bahwa kasus ini bakal mangkrak. Dia mengatakan, kasus ini bakal bergulir hingga ke Pengadilan Tindak Pidana Ko­rup­si (Tipikor). “Kami yakin da­pat membuktikan perkara ini. Lalu, kami ajukan ke penga­di­lan,” ujarnya.

Keyakinan bahwa kasus ini bakal tuntas di pengadilan, lanjut Arnold, lantaran perkara tersebut ditangani tim penyidik yang han­dal dan didukung barang bukti yang cukup.

“Kami sudah me­ngan­tongi semua dan siap mem­buk­ti­kannya,” ucap bekas Kepala Ke­jaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini.

Pengusutan kasus ini, lanjut Arnold, melibatkan sejumlah pi­hak yang memahami ilmu bio­re­me­diasi dari sebuah perguruan tinggi besar.  Bioremediasi ada­lah cara untuk menormalkan kem­bali tanah-tanah yang terkena lim­bah akibat adanya penam­ba­ngan minyak.

“Ini mengingatkan saya, saat mengusut perkara pemetaan hu­tan. Saya berguru selama tiga bu­lan di Bandung, untuk mema­ha­mi soal pemetaan itu. Perkaranya da­pat dibuktikan di pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung,” ucapnya.

Menurut Kepala Pusat Pene­ra­ngan Hukum Kejagung Adi Toegarisman, semestinya PT CPI melakukan pemulihan lahan be­kas tambang mereka di Riau. Tapi, PT CPI mempercayakan pro­yek pemulihan lingkungan de­ngan teknologi bioremediasi itu, dilaksanakan PT Green Planet In­donesia dan PT Sumigita Jaya.

Persoalannya, lanjut Adi, ke­dua perusahaan itu tidak me­me­nuhi klasifikasi teknis dan ser­ti­fikasi dari pejabat berwenang seb­­agai perusahaan yang berge­rak di bidang pengolahan limbah. Kedua perusahaan itu hanya kon­traktor umum, dan proyek ini fik­tif sehingga menimbulkan k­e­ru­gian negara sekitar Rp 200 miliar.

Pembayaran atas pengerjaan proyek itu, menurut Adi, diajukan ke Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Mi­gas). “Tapi, pekerjaan yang na­ma­nya bioremediasi ini tidak di­kerjakan. Padahal, cost recovery-nya itu diajukan ke BP Migas,” tandas dia.

Kejagung menduga proyek ini fiktif. Nah, anggaran yang sudah dicairkan BP Migas untuk proyek ini sekitar Rp 200 miliar. Dari si­tulah angka kerugian negara da­lam perkara ini didapat penyidik.

Untuk pengusutan lebih lanjut, Adi menyampaikan, penyidik masih memanggil dan memeriksa sejumlah pihak. Pada Kamis lalu (22/3), Kejagung memanggil lima saksi yakni, Id, RA, A, RT dan W. “Saksi-saksi itu berasal dari PT Chevron dan Kemen­te­ri­an Ling­ku­n­gan Hidup,” katanya.

Belum Ada Tersangka Dari BP Migas

Reka Ulang

Penyelidikan atas kasus proyek fiktif perbaikan lingku­ngan bekas lahan tambang PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), dimulai sejak Oktober 2011 ber­da­sarkan laporan masyarakat.

Menurut Kepala Pusat Penera­ngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, tujuh tersangka kasus ini adalah ER, WB, KK, HL, RP, AT, dan DAF. Lima ter­sangka berasal dari PT CPI, se­dangkan dua tersangka lainnya berasal dari pihak swasta.

Surat perintah penyidikan (sprindik) para tersangka itu di­bagi tiga. Untuk tersangka HL, sprin­diknya nomor 26/F.2/FD.1/03/2012. Tersangka ER, WB dan KK sprindiknya nomor 27. Se­dangkan tersangka RT, AT, dan DAF sprindiknya nomor 28. S­e­mentara ini, menurut Adi, belum ada tersangka dari BP Migas.

Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto, pe­nyidik telah melakukan penyi­di­kan mengenai anggaran kegia­tan pemulihan lingkungan di Riau tersebut. Kegiatan bioremediasi itu merupakan upaya untuk me­normalisasi kembali tanah yang telah terkena pencemaran ling­ku­ngan akibat penambangan mi­nyak oleh Chevron.

Setelah adanya laporan dari ma­syarakat dan penyidik mela­kukan pendalaman, lanjut Andhi, ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi. Soalnya, kegiatan remediasi bertahun-tahun ter­se­but fiktif, sehingga merugikan ne­gara sekitar Rp 200 miliar.

Vice President Policy Govern­ment and Public Affair PT Che­v­ron Pacific Indonesia, Yanto Siani­par mengaku bingung pada angka kerugian negara yang dilansir pihak Kejagung, yakni Rp 200 miliar.

Namun, Yanto menegaskan pihaknya tetap akan mengikuti segala prosedur hukum yang berlaku. “Saya tidak tahu menahu angka-angka yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Yang pasti, kami memiliki seluruh data terkait proyek bioremediasi dan akan kami jelaskan selama berja­lan­nya pemeriksaan,” kata dia.

Yanto menjelaskan, kasus ini berawal dari perjanjian antara BP Migas dengan Chevron. Per­jan­jian itu antara lain mengatur ten­tang biaya untuk bioremediasi (cost re­covery).

Uang Membuat Nyali Ciut

Dasrul Jabar, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Dasrul Jabar menilai, pengu­su­tan kasus korupsi apapun, ter­masuk di sektor pertambangan, pasti bisa diusut tuntas hingga ke pengadilan. Asalkan, pim­pi­nan dan aparat penegak hu­kum berniat mengusutnya sampai tuntas.

“Semua persoalan korupsi, termasuk di sektor tambang, itu tidak rumit. Yang penting Ke­jaksaan Agung memiliki nyali atau keberanian serta kemauan. Nah, apakah mereka sungguh-sungguh memiliki nyali itu?” ujar Dasrul, kemarin.

Dasrul menambahkan, keter­ba­tasan sumber daya jaksa ja­ngan dijadikan penghambat un­tuk menuntaskan kasus korupsi di sektor pertambangan ini.

“Ke­jagung bisa mengusut ko­rup­si di semua sektor. Sektor tam­bang misalnya, bila jaksa tidak ahli soal rehabilitasi ling­kungan, mereka bisa memang­gil ahli. Mereka bisa membayar ahli untuk ikut mengusutnya. Sebab, anggaran negara ada. Selamatkan kekayaan negara, kembalikan kerugian negara,” katanya.

Persoalan mendasarnya, nilai Dasrul, faktor keberanian pim­pinan dan aparat hukum masih sangat kurang. “Bukan karena tak ada kemampuan atau ke­ah­lian, tapi kepentingan, kekua­sa­an dan uang yang membuat ciut nyali para pimpinan dan aparat penegak hukum,” tandas politisi Partai Demokrat ini.

Apalagi, lanjut Dasrul, kalau sudah berkaitan dengan jumlah uang yang besar, pengaruh po­litik dan keterlibatan pejabat, jaksa sering tidak berani. “Itu se­harusnya tidak boleh terjadi. Siapa pun yang terlibat, mau orang Indonesia, orang asing atau pejabat, mesti diusut tun­tas. Tunjukkan mereka me­mi­li­ki keberanian,” katanya.

Dasrul mendorong Kejaksaan Agung agar membuktikan bisa menuntaskan kasus-kasus ko­rupsi secara tranasparan tanpa ada permainan. “Silakan mere­ka membuktikan sejauh mana ke­beranian mereka mengusut ka­sus itu,” ujarnya.

Kejagung Belum Cukup Menjanjikan

Erna Ratnaningsih, Peneliti KRHN

Peneliti senior LSM Kon­sor­sium Reformasi Hukum Na­sio­nal (KRHN) Erna Rat­na­ning­sih menilai, pengusutan ka­sus Chevron di tangan Ke­jak­saan Agung belum cukup men­janjikan.

Selain karena kepercayaan masyarakat mengenai pola kerja kejaksaan yang belum pu­lih, kasus korupsi sektor migas ini juga termasuk baru. “Saya du­kung kejaksaan me­ngusut­nya, tapi harus dibarengi pe­nga­wasan yang sangat ketat dari berbagai elemen masyarakat, seperti NGO lingkungan hidup, media massa dan publik,” ujarnya, kemarin.

Erna menyampaikan, Kejak­saan Agung juga bisa bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat untuk lebih serius mengusut kasus ini. “Sebab, NGO yang konsern di bidang ini cukup banyak. Mereka me­miliki data dan sumber daya yang tidak boleh dianggap re­meh dalam mengusut kasus se­perti ini,” ujarnya.

Dia pun berharap, pengu­su­tan kasus ini menjadi pintu ma­suk mengusut kasus-kasus ko­rupsi lainnya di sektor per­tam­bangan. “Semoga menjadi pin­tu masuk, karena masih banyak kasus serupa,” kata bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.

Jika kewalahan melakukan pengusutan kasus-kasus ko­rup­si pertambangan, saran Erna, sebaiknya Kejaksaan Agung berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. “Terus terang, kalau KPK turun tangan mengusutnya, saya lebih opti­mistis bisa tuntas,” katanya.

Menurut Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus Andhi Nir­wan­to, berdasarkan koordinasi yang dilakukan KPK, Kejagung dan Polri mengenai pemetaan 10 sek­tor rawan korupsi, Kejagung berkonsentrasi mengusut per­kara korupsi pada sektor per­tam­bangan minyak dan gas (migas).

Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan, koordinasi pe­nanganan 10 sektor rawan ko­rupsi masih akan di­koor­di­na­si­kan, hingga ada nota kese­pa­haman antar tiga lembaga pe­ne­gak hukum itu.

Terkait kasus Chevron, me­nu­­rut Zulkarnain, KPK akan me­lakukan supervisi dan koor­di­nasi, artinya tidak ada pem­ba­gian tugas dalam pemetaan 10 sektor rawan korupsi itu.

“Tidak, nanti kita koordinasi saja. Kita yang koordinasikan, supervisikan. Kita keroyok sama-sama korupsi ini,” ka­tanya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya