RMOL. Sodik duduk santai di teras rumahnya di Perumahan Unilever, Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat. Secangkir kopi dan sebuah koran pagi menemaninya melewati senja kemarin.
Dia membolak-balik halaman koÂran terbitan ibu kota itu. Tak terlihat wajah resah di wajahnya. PaÂdahal, tempat tinggalnya terÂanÂcam digusur jika Pemerintah DKI Jakarta tak membayar ganti rugi Rp 391 miliar kepada PT Porta Nigra.
Perusahaan itu klaim memiliki 15 hektar lahan di Meruya SeÂlatan. Tapi dijual pihak lain tanpa persetujuan.
Porta Nigra hendak mengambil lahan yang di atasnya kini telah berubah menjadi pemukiman. Yakni perumahan Unilever, peruÂmahÂan karyawan wali kota JaÂkarta Barat, perumahan DPR 3, peÂÂrumahan Mawar, Kavling BRI, Kavling DKI, perumahan Green Villa, dan Intercon Taman Kebon Jeruk.
Ada 5.563 kepala keluarga (KK) atau 21.760 jiwa yang menÂdiami lahan disengketakan itu. Sejumlah warga memegang serÂtifÂikat atas lahan yang ditempati.
Baru-baru ini tersiar kabar bahÂwa Mahkamah Agung (MA) meÂngabulkan gugatan perdata PT Porta Nigra. Putusan perkara noÂmor 2971K/PDT /2010 mengÂhaÂruskan Pemda DKI membayar ganti rugi material Rp 291 miliar dan immaterial Rp 100 miliar keÂpada Porta Nigra.
Sodik mengaku sudah meÂngeÂtahui kabar kemenangan Porta Nigra termasuk kemungkinan lahan ini jadi sita jaminan bila Pemda tak membayar ganti rugi.
“Kami tidak akan tinggal diam dengan rencana tersebut dan akan terus mempertahankan tanah yang merupakan haknya,†tegas SoÂdik yang mengenakan hem putih ini.
Kasus sengketa pernah dibawa kepada DPR. Belakangan, Porta Nigra mengajukan langkah damai dengan warga Meruya Selatan. Salah satu isi perjanjian, lahan yang ditempati warga tak akan dieksekusi.
Kini ancaman eksekusi kemÂbali membayangi warga. “Kami dan semua warga di sini siap meÂlawan sampai kapanpun,†tegas Sodik.
Seno yang tinggal di peruÂmahÂan DPR 3 tak khawatir dengan anÂcaman eksekusi itu. “Dulu tahun 2007 mereka sudah berjanji tidak akan menggusur seluruh rumah yang ada di komplek DPR 3,†kata dia.
Pria yang sudah tinggal di peÂruÂmahan ini sejak 1984 ini meÂngatakan Porta Nigra pernah memÂbuat perjanjian dihadapan angÂgota DPR dan Setjen DPR tiÂdak akan mengusik pemukiman warga.
“Kalau mereka (PT Porta NigÂra) masih mengingkari keseÂpaÂkatÂan tersebut, tinggal kita tunÂjukÂkan dokumen perjanjian yang dulu pernah disepakati,†kata penÂsiunan pegawai Setjen DPR ini.
Seno menuturkan, saat ini jumÂlah rumah yang berada di komÂplek ini sebanyak 50 rumah deÂngan 50 kepala keluarga. “DuÂluÂnya cuma 34 rumah, seiring berÂtambahnya tahun jadi semakin banyak,†katanya.
Ia belum tahu apa yang bakal dilakukan warga jika tempat tinggal mereka dieksekusi. “Saya serahkan ke Setjen DPR yang puÂnya tanah ini. Saya tinggal meÂngikuti saja bagaimana nanÂtiÂnya,†tutup pria berkulit gelap ini.
Pengamatan Rakyat Merdeka, di atas lahan yang diklaim Porta Nigra sebagai miliknya telah berÂdiri pemukiman padat penduduk.
Di perumahan DPR 3 dan peÂrumahan Unilever rumah-rumah berÂdiri berhimpitan. Nyaris tak ada lahan tersisa selain pekaÂrangan.
Kehidupan di dua perumahan ini terlihat normal. Tak terlihat tanÂda-tanda kepanikan bakal diÂguÂsur. Pada 2007 lalu di sejumlah suÂdut perumahan ini dipasang spanÂduk yang menolak pengÂguÂsurÂan.
Lahan yang disengketakan juga meliputi Meruya Residence, salah satu pemukiman elite di JaÂkarta Barat. Gerbang besar meÂnyambut setiap orang yang henÂdak memasuki perumahan ini.
Setiap pengunjung yang akan maÂsuk ke komplek harus menÂdaÂpat izin dari pemilik rumah. Bila tidak ada, jangan diharap diÂperÂbolehkan masuk hunian eksklusif terÂsebut. Rumah-rumah di sini seÂmuanya berlantai dua.
Petugas keamanan di gerbang peÂrumahan yang ditemui tak tahu mengenai kasus sengketa lahan di sini. “Yang saya dengar yang akan digusur perumahan warga yang berada di belakang komÂpleks ini,†kata penjaga yang berÂkulit gelap.
Gubernur DKI Fauzi Bowo akan melakukan perlawanan terÂhadap putusan MA yang mengaÂbulkan gugatan perdata Porta Nigra. “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera akan mengajukan perlawanan hukum berupa PeÂninjauan Kembali (PK) atas puÂtusan MA tersebut,†katanya.
Fauzi meminta warga Meruya Selatan tetap tenang meskipun MA memenangkan gugatan Porta NigÂra terkait sengketa lahan tersebut.
Ia berjanji Pemprov tidak akan tinggal diam. “Saya tetap akan berjuang dan maju terus pantang mundur bersama-sama dengan masyarakat dengan melakukan upaya-upaya hukum yang ada,†katanya.
Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Sri Rahayu menyampaikan, putusan MA yang mengabulkan gugatan perdata PT Porta Nigra hanyalah satu dari tiga perkara yang berkaitan dengan sengketa lahan di Meruya Selatan. Dua perkara lainnya masih berproses di ranah hukum.
Menurut Sri Rahayu, sebelum melakukan perlawanan hukum pihaknya perlu membaca dulu putusan kasasi MA.
Oleh karena itu, dia meminta masyarakat tetap tenang karena peluang untuk memenangkan perkara ini masih terbuka.
Sebelumnya, gugatan Pemda DKI terhadap Porta Nigra sempat dimenangkan di tingkat pengaÂdilan pertama maupun banding. Namun putusan itu tak bisa dilaksanakan karena Porta Nigra mengajukan kasasi.
Porta Nigra:
Putusan Kasasi Bisa Dilaksanakan
Langkah Gubernur DKI Fauzi Bowo yang hendak meÂngajukan peninjauan kembali (PK) akan menyurutkan keiÂnginÂan PT Porta Nigra untuk seÂgera mengeksekusi putusan kasasi MA.
“Sesuai aturan hukum yang berÂlaku, PK tidak mengÂhamÂbat putusan kasasi Mahkamah Agung,†kata Zerry Safrizal, kuasa hukum Porta Nigra.
Zerry menjelaskan dalam putusan kasasi MA, Pemda DKI Jakarta diharuskan memÂbayar Rp 391 miliar kepada Porta Nigra. Ini karena Pemda DKI telah menjual tanah milik kliennya kepada banyak pihak.
“Bagaimanapun harus diÂcari siapa yang bertanggung jawab. Kami sepakat tanah yang sudah menjadi aset warÂga tidak dipermasalahkan. Tetapi jangan semua kerugian diÂbebankan kepada kami,†kaÂtanya.
Ajang Kampanye Jelang Pilgub?
Menjelang pemilihan guÂberÂnur (pilgub) DKI Jakarta, warga Meruya Selatan kembali menghadapi ancaman pengÂguÂsurÂan. Sodik, warga perumahan UniÂlever yang lahannya jadi obÂyek sengketa mengatakan anÂcamÂan eksekusi itu pernah munÂcul pada 2007. Juga menjelang pilgub.
Ia menceritakan, saat itu beÂbeÂrapa perwakilan warga peÂruÂmahan ini dikumpulkan di Universitas Mercu Buana. PerÂteÂmuan yang membahas renÂcana menghadapi eksekusi ini dihadiri gubernur saat itu, SuÂtiÂyoso dan wakilnya Fauzi Bowo.
Fauzi yang hendak maju ke pilgub berjanji akan memÂperÂjuangkan hak-hak warga yang terancam digusur. Dua bulan keÂmudian, Fauzi datang lagi ke sini. Kali ini bersama calon wagub Prijanto.
Fauzi kembali melontarkan janji. “Kami berdua bersama-sama warga Meruya Selatan memperjuangkan hak-haknya atas tanah,†kata dia.
Rencana eksekusi lahan pun pupus. Sodik heran isu eksekusi kembali mencuat menjelang pilÂgub. “Padahal sebelumnya tidak ada berita ini,†ujarnya.
Isu eksekusi ini mencuat seÂtelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan PorÂta Nigra, pihak yang mengÂklaim sebagai pemilik lahan.
Gubernur Fauzi Bowo berÂjanÂji pihaknya akan mengÂajuÂkan peninjauan kembali (PK) untuk membatalkan putusan kasasi itu. Ia meminta warga teÂnang. Fauzi disebut-sebut henÂdak maju ke pilgub untuk meÂnÂjabat gubernur periode kedua.
Pihak Porta Nigra meneÂgasÂkan perkara ini berkaitan deÂngan Pemda DKI, tak meliÂbatÂkan masyarakat. “Kok aneh ya, Gubernur DKI Jakarta dalam pernyataannya membawa-bawa naÂma masyarakat. Padahal kaÂmi sangat menghormati keÂpuÂtusan perdamaian antara kami deÂngan warga. Dan keseÂpaÂkatan itu tidak bisa diganggu gugat dan kami memegang itu. Kalau yang saat ini kan antara kami dengan Pemprov DKI,†kata Zerry Safrizal, kuasa huÂkum Porta Nigra.
Dalam salinan yang dipegang kuasa hukum, Pemda DKI harus membayar ganti rugi Rp 391 miliar kepada Porta Nigra.
Kepala Bidang Informasi Publik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Cucu Ahmad KurÂnia membantah ada politisasi kasus sengketa lahan di Meruya Selatan. “Ini murni putusan pengadilan dan bukan upaya dari kita,†katanya.
Dia mengatakan, rencana eksekusi itu muncul kebetulan saja karena putusan MA keluar menÂjelang pilgub. “Doakan saja moga-moga di tingkat PK, kaÂmi bisa menang,†kata dia.
Akibat Mandor Ingkar Janji
Tahun 1972-1973, PT Porta Nigra melakukan pembebasan tanah di Kelurahan Meruya Udik, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang sekarang diÂkenal sebagai Kelurahan MeÂruya Selatan.
Setahun kemudian pada 1974 sampai 1977, tanah dijual kemÂbaÂli Juhri yang mengaku seÂbaÂgai mandor dan koordinator warÂga dengan bekerja sama deÂngan Lurah Meruya Udik, Asmat bin Siming.
Tanah dijual dengan mengÂguÂnakan surat-surat palsu kepada Pemda DKI seluas 15 hektar deÂngan alasan untuk proyek lintas Tomang. Lalu PT Labrata seÂluas 4 hektar, PT Intercon seluas 2 hektar, Copylas seluas 2,5 hektar, Junus Djafar seluas 2,2 hektar dan Koperasi BRI 3,5 hektar.
Tahun 1985, Juhri cs dipiÂdaÂnakan di Pengadilan Negeri JaÂkarta Barat. Ia dijatuhi hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Selain itu, Juhri berÂjanÂji akan mengembalikan laÂhaÂn PT Porta Nigra yang telah diÂjualÂnya.
Tahun 1996, janji Juhri tidak teÂrealiasi. Lahan seluas 44 ha teÂlah tumbuh menjadi peÂmuÂkimÂan, sekolah, puskesmas dan gedung pemerintahan. Alhasil, PT Porta Nigra mengajukan guÂgatan perdata ke PN Jakbar.
Tahun 1997, PN Jakbar meÂngeÂluarkan berita sita jaminan deÂngan perintah untuk mengoÂsongkan tanah-tanah sengketa dan menyerahkannya kembali kepada PT Porta Nigra dalam keaÂdaan kosong. Permohonan ini hingga proses kasasi.
Kemudian tahun 2001, MahÂkamah Agung (MA) mengeÂluarkan putusan Nomor 2863 K/Pdt/1999 tertanggal 26 Juni 2001 yang memenangkan PT Porta Nigra. Di sisi lain, MeÂruÂya Selatan makin ramai dan padat penduduk.
Pada 9 April 2007, PT Porta Nigra mengirimkan permoÂhonan eksekusi ke PN Jakbar dan dikabulkan.
Kemudian pada 26 April 2007, dua belas instansi di Jakarta Barat melakukan perÂtemuan dengan Porta Nigra dan disepakati unÂtuk melaÂÂÂkuÂkan eksekusi 10 RW di Meruya Selatan pada 21 Mei 2007.
Bulan Mei sampai November 2007, terjadi perlaÂwanÂan dari warga. Gubernur SuÂtiyoso dan DPRD Jakarta turun tangan. Kasus ini juga diÂbawa ke DPR.
Tahun 8 November 2007, PN Jakbar memutuskan kasus Porta Nigra versus warga Meruya SeÂlatan berakhir damai. Warga tetap berhak menetap di tempat tinggalnya selama ini.
Porta Nigra menerima tetapi tidak ada kata damai untuk laÂhan Pemprov DKI Jakarta. Porta Nigra pun menggugat PemÂprov DKI Jakarta.
Majelis hakim agung yang diÂketuai M Taufik, Abdul Gani dan Abdul Manan mengaÂbulÂkan gugatan Porta Nigra. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:05
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:04
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:42
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:23
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:11
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:59
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:44