RMOL. Lama tak terdengar, nama As’ad Said Ali kembali jadi pembicaraan. Bekas wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini dianugerahi gelar doktor honoris causa oleh Universitas Diponegoro (Undip). Para aktivitas HAM protes lantaran dia tersangkut kasus kematian Munir.
Setelah pensiun dari BIN dua tahun lalu, As’ad yang kini berÂusia 62 tahun bercokol di PeÂngurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia menduduki posisi wakil ketua.
Bagaimana aktivitas As’ad saat ini? Bagaimana dia menanggapi stigma aktivitas HAM bahwa dia terlibat kasus Munir? Berikut liputannya.
As’ad menatap tumpukan unÂdangan di atas meja di ruang kerÂjanya di lantai tiga gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat. Ia lalu membacanya satu per satu. “Ini undangan dari teÂman-teman NU,†kata dia.
Ia mengaku menghabiskan wakÂÂtunya untuk mengurus orgaÂnisasi keagamaan terbesar di neÂgeri ini. Selain itu, As’ad tengah meramÂpungkan sebuah buku. “Dua bulan saya akan me-launÂching buku yang berkaitan deÂngan terorisme,†kataÂnya. Ia masih merahasiakan judul dan isi buku itu.
Sebelumnya As’ad menulis buku yang diberi judul Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa. Buku itu ia tulis menÂjelang pensiun dari BIN. Seorang guru besar Undip rupanya tertarik terhadap gagasan-gagasan As’ad di dalam buku itu.
Enam bulan lalu, As’ad saat diÂundang untuk memberikan ceÂramah kepada mahasiswa pasca sarÂjana. Sebulan kemudian, As’ad kembali diundang ke kamÂpus ini. Kali ini, dia berbicara di deÂpan para guru besar.
“Mereka semua tertarik dengan gagasan yang ada di buku saya dan menawarinya untuk menÂdaÂpatÂkan gelar doktor kehormatan bidang hukum,†katanya.
Sebagai syarat untuk menÂdaÂpatÂkan gelar doktor honoris causa, As’ad diminta membuat makalah untuk dibacakan saat penganugerahan.
Lantaran harus riset terlebih dulu, makalah yang kemudian diÂberi judul Tinjauan Yuridis terÂhadap Sarana Hukum sebagai PeÂngaman Ideologi dan Dasar Negara ini baru rampung setelah tiga bulan. Tebalnya 45 halaman.
Saat pidato penganuÂgeÂraÂhan, As’ad hanya memÂbacakan Â18 haÂlaman. “Biar nggak terlalu lama,†kataÂnya beralasan.
Penganugerahan gelar kepada As’ad digelar di gedung Prof Soedarto Undip, Sabtu lalu (11/2). Saat acara berlangsung, di luar gedung para aktivitas HAM menggelar aksi unjuk rasa.
Dengan membawa payung hiÂtam bertuliskan “Melawan Lupaâ€, aktivitas memprotes pemÂberian gelar doktor honoris causa kepada As’ad.
As’ad tersangkut kasus Munir lantaran kesaksian Indra SetiaÂwan, bekas dirut PT Garuda InÂdonesia di persidangan. Indra meÂnyebut surat untuk menempatkan Pollycarpus di maskapai itu diteken As’ad.
Pollycarpus dituding sebagai ekÂsekutor Munir dalam penerÂbaÂngan pesawat Garuda jurusan JaÂkarta-Amsterdam pada 2004 lalu. Munir tewas diracun arsenik.
As’ad tak mempersoalkan protes yang disuarakan aktivitas HAM. “Mereka tidak tahu inÂforÂmasi yang lengkap. Tahunya dari koran lalu (saya) disangkut-pautÂkan dengan kasus (Munir) itu,†katanya.
As’ad mengaku pernah dua kali diperiksa polisi dalam kasus MuÂnir sebagai saksi. KeÂsakÂsianÂnya dituangkan dalam berita acaÂra pemeriksaan (BAP).
“Saya tidak pernah mengÂhinÂdari dari pemeriksaan. Yang paÂling penting saya tidak pernah menÂjadi tersangka maupun terdakÂÂwÂa daÂlam kasus tersebut,†katanya.
Mengenai buku yang hendak dirilisnya, As’ad mengatakan teÂrorisme tak hanya dilakukan jaÂringan Al Qaeda yang dipimpin Osama Bin Laden. Namun AmeÂrika Serikat pun pernah meÂlaÂkuÂkan teror di Indonesia. “Bahkan ada beberapa orang yang terÂtangÂkap,†kata dia.
Kesaksian As’ad ini tentu tak bisa dianggap remeh. Ia sudah pulÂuhan di dunia intelijen. KaÂrierÂnya di dunia mata-mata itu diÂmuÂlai setelah lulus dari Jurusan HuÂbungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1974.
“Alhamdulillah setelah meleÂwati serangkaian tes selama bebeÂrapa bulan akhirnya diterima dan resmi menjadi intelijen akhir taÂhun 1974,†kenangnya.
Keluarganya As’ad diminta tak cerita mengenai profesi As’ad kepada siapa pun. “Mereka boleh bercerita bila, saya telah duduk di sebagai direktur ataupun peÂjabat penting lainnya,†katanya.
As’ad menuturkan, selama 36 tahun berkarier di intelijen dia pernah bertugas di berbagai meÂdan. Juga pernah ditugaskan ke berbagai negara di Timur Tengah.
“Saya delapan tahun di sana. Bergaul dengan masyarakat yang saat itu diidentikkan dengan neÂgara basis teroris,†katanya.
Pada 1984, As’ad tak sengaja bertemu Osama Bin Laden di resÂtoran Jakarta Oriental di Jeddah, Arab Saudi. Hanya orang kaya Indonesia dan Arab yang bisa makan di sini. “Kalau TKI tidak ada yang ke sini karena mahal sekali makanannya,†katanya.
As’ad empat kali melihat OsaÂma datang ke restoran ini. Kata dia, Osama berpakaian parlente dan mengendarai mobil Roll Royce.
“Saat itu saya tidak tahu itu Osama. Setelah beberapa buÂlan ada berita masalah terorisme dan mengaitÂkanÂnya dengan dia, akhirnya jadi tahu. Tapi setelah itu tidak berÂtemu dia lagi,†katanya.
Ngurus Ekonomi Dan Kaderisasi
As’ad Ali diajak masuk NU untuk memperkuatkan orgaÂniÂsasi keagamaan itu. Ia ditemÂpatÂkan sebagai wakil ketua PBNU Pria kelahiran Kudus, Jawa TeÂngah, 19 Desember 1949 ini mÂengatakan, ia menjadi penÂguÂrus karena diminta Ketua PBNU Said Aqil Siradj dan Rois Am Sahal Mahfud.
Permintaan itu tak bisa ia tolak. “Apalagi sejak kecil saja juga dibesarkan di pesantren NU,†kata alumnus Pondok PeÂsantren Krapyak, Yogyakarta asuhan KH Ali Makshum ini.
As’ad pun mengajukan penÂsiun dari BIN pada 2010. Sebab, anggota lembaga intelijen tak boleh merangkap jabatan.
“Saat itu umur saya sudah 61 taÂhun, kemudian oleh Pak Tanto memperpanjang jabatan saya seÂlama satu tahun karena tenaga saya masih dibutuhÂkan,†katanya.
Tanto yang dimaksudnya adalah Sutanto, bekas Kapolri yang ditunjuk SBY menjadi Kepala BIN pada 2009 lalu.
As’ad menjelaskan maksimal usia pejabat di BIN adalah 60 tahun. Namun bisa diperÂpanÂjang tergantung kebutuhan.
Di NU, As’ad mengurusi kaderisasi dan ekonomi. “Saya sudah membentuk himpunan pengusaha NU dan membuat pameran ekonomi,†katanya
Ia juga memelopori pendirian lembaga keuangan mikro yang membantu perkemÂbangan home industri berbasis pertanian.
Lembaga keuangan ini seÂperti Syirkah Muawanah atau BPR. “Ini kan jaringan ekoÂnomi sendiri yang membiayai sendiri. Kalau usahanya suÂdah besar ya ke bank, bukan kewajiban NU lagi. Ini tugas peÂmerintah,†ujarnya.
Menurutnya, NU organisasi besar. Tapi posisinya lemah bila berhadapan dengan pihak luar. Untuk bisa kuat di bidang ekoÂnomi mau tak mau harus menÂjaÂlin kerja sama dengan siapa pun.
“Ekonomi itu tak mengenal agama. Tidak menutup keÂmungÂkinan kerjasama dengan siapapun. Ini kalau dikaitkan dengan sistem pluralisme kan keberagaman,†ujarnya.
Tapi NU tak akan meneÂrapÂkan pola Barat. “Ya Bhinneka Tunggal Ika melalui interaksi sosial, bukan dalam arti akidah. Kan itu sesuai dengan ukhuÂwah, satu dan bersaudara, coÂcok dengan ukhuwah wathoÂniah, melihat orang lain bagian dari kita, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul,†katanya.
Menurut As’ad, sistem ekoÂnomi di Indonesia sudah kaÂpiÂtalis murni bahkan neolib. “Saya tidak melawan atau berÂkolaÂborasi, tetapi bagaimana memÂposisikan ekonomi kita, mau tak mau harus bergaul dengan mereka, tapi tak ikut konsep mereka,†katanya.
As’ad optimistis home inÂdusÂtry bisa bersaing bila diberi keÂsempatan. “Buktinya Taiwan bisa, Jepang bisa,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:05
Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:04
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:42
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:23
Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:11
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:59
Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:44