Noor Rachmad
Noor Rachmad
RMOL. Tersangka dugaan korupsi pengadaan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), Jasa Pemeliharaan Sistem Monitoring Pembayaran Direktorat Jenderal Pajak dan Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara (MPN) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan 2006 yang diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 12 miliar, bertambah satu orang.
Kali ini, tersangkanya adalah piÂhak swasta yang menjadi peÂmeÂnang tender pengadaan itu. “Ada penetapan tersangka baru untuk kasus korupsi di Ditjen Pajak. BerÂasal dari rekanan Ditjen PaÂjak, dari pihak swasta. Jadi, untuk sementara ini ada tiga tersangka dalam kasus tersebut,†ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JamÂÂpidsus) Andhi Nirwanto di GeÂdung Kejaksaan Agung, Jakarta.
Pihak Kejaksaan Agung berÂdalih belum bisa menyampaikan nama tersangka baru tersebut, sebab mereka belum meÂnyamÂpaikan kepada yang bersangkutan perihal status tersangkanya. “Belum bisa disebutkan. Tunggu saja, nanti akan dikasih tahu,†ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Noor Rochmad.
Berdasarkan informasi yang diÂperoleh Rakyat Merdeka dari seÂÂorang penyidik Kejaksaan Agung, tersangka baru tersebut meÂmang berasalah dari pihak swasta, dengan inisial LWH. “Tersangkanya berinisial LWH dari PT BHP,†ujarnya singkat.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung sudah menetapkan dua tersangka kasus ini. Mereka pun sudah diÂtahan Kejagung di Rutan SaÂlemÂba cabang Kejari Jakarta Selatan. Mereka adalah Pulung Sukarno yakni Pejabat Pembuat KomitÂmen (PPK) dan Ketua Panitia Pengadaan bernama Bahar. “TerÂsangkanya jadi tiga orang,†ujar Noor Rachmad.
Kasus ini bermula ketika BaÂdan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan sebesar Rp 12 miliar dalam proyek pengadaan sistem informasi yang menelan anggaran Rp 43 miliar.
Atas temuan BPK itu, JamÂpidÂsus melakukan penyelidikan dan baru meningkatkan status perÂkara itu ke penyidikan pada 3 NoÂÂvemÂber 2011. Berdasarkan audit yang telah dilakukan BPK, ditemukan alat-alat yang tidak ada wujudnya dalam pengadaan sistem informasi.
Pada November 2011, PenyiÂdik Kejaksaan Agung juga meÂnurunkan timnya untuk melaÂkuÂkan penggeledahan di kantor Ditjen Pajak. Upaya pengÂgeÂleÂdaÂhan itu dilakukan, untuk meÂngumÂpulkan sejumlah informasi yang diperlukan dalam pengusÂuÂtan kasus.
Pihak Kejaksaan Agung sudah pernah meminta agar diberikan seÂjumlah doÂkuÂmen. Namun, piÂhak Ditjen Pajak yang dimintai keÂterangan tak mau memÂbeÂrikannya.
“Jadi kami tidak bisa meÂnunggu lama, kami melakukan tindakan penyitaan dan penggÂeÂleÂdahan. Kami turunkan tim dan ternyata ditemukan dokumennya sudah dipindahkan dari kantor pusat ke kantor pelayanan Jakarta Barat,†kata Direktur Penyidikan Jampidsus, Arnold Angkouw di Kejaksaan Agung, Kamis, 3 NoÂvember 2011.
Dia menjelaskan, langkah pengÂgeledahan yang dilakukan peÂnyidik Kejagung itu sudah seÂsuai dengan Undang-Undang. KaÂrena tak ada itikad baik dari pihak direktorat. “Sesuai dengan undang-undang, jaksa memÂpuÂnyai wewenang melakukan pengÂgeledahan, menyita karena itu bagian pengumpulan alat bukti dan alat bukti itu yang kita pakai apakah ada pelanggaran pidaÂnaÂnya,†ujar Arnold.
Dalam pengadaan sitem inforÂmasi tersebut, diduga terjadi peÂnyimpangan dalam pengadaan peralatan Sistem Informasi MaÂnaÂjemen pada Ditjen Pajak tahun anggaran 2006. Berdasarkan audit BPK, dari nilai proyek total sebesar Rp 43 miliar, diduga terÂdapat penyelewengan dana sediÂkitinya sebesar Rp 12 miliar.
“Setelah dikumpulkan dokuÂmen-dokumen tersebut, baru kita datangkan auditor dari BPK kaÂrena mereka juga yang meÂneÂmukan kejanggalan tersebut,†kata Arnold.
REKA ULANG
Sebelumnya Ada Dua Tersangka
Awal November 2011, KejakÂsaan Agung sudah menetapkan dua tersangka dugaan korupsi pengadaan Sistem Informasi di Direktorat Jenderal (Ditjen) PaÂjak pada 2006.
Dua tersangka itu diduga meÂnyelewengkan penggunaan keÂuangan negara sekitar Rp 43 miÂliar. Mereka adalah Ketua PaÂnitia Proses Pengadaan Sistem InforÂmasi Manajamen Bahar dan PeÂjabat Pembuat Komitmen PuÂlung Sukarno. Kejaksaan Agung pun sudah menahan keÂdua terÂsangka.
Para tersangka dijerat pidana Pasal 2 atau 3 Undang-Undang NoÂmor 31 Tahun 1999, sebagaiÂmana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang PemÂbeÂranÂtasan Tindak Pidana Korupsi karena dinilai melanggar Kepres No 80 Tahun 2003 tentang PeÂdoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Saat pengusutan kasus ini, KeÂjaksaan Agung melakukan pengÂgeledahan di Kantor Ditjen Pajak, sebab pihak Ditjen Pajak tidak bersikap kooperatif.
Tim dari kejagung juga melaÂkuÂkan penggeledahan di dua buah rumah, yani rumah di Jalan Madrasah Gandaria, Jakarta SeÂlatan, dan rumah di Komplek CiÂnere, Depok, Jawa Barat. Kedua rumah itu adalah rumah terÂsangÂka Bahar.
Kasus tersebut berawal dari laporan dari Badan Pemeriksa KeÂÂuangan (BPK) yang menemukan adanya kejanggalan uang sebesar Rp 12 miliar dari total dana peÂngaÂdaan sistem informasi terseÂbut yang mencapai angka Rp 43 miliar.
BPK menilai bahwa ada alat-alat sistem informasi yang tidak ada wujudnya alias tidak ada baÂrangnya. Dari hasil audit BPK terÂsebut, Kejaksaan Agung meÂnaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan.
Setelah itu, Kapuspenkum KeÂjagung Noor Rochmad meÂnyaÂtakan, kasus tersebut belum berÂhenti sampai dua tersangka ini. Soalnya, penyidik masih meÂngemÂbangkan perkara tersebut. “Kami akan kaji lebih dalam supaya kasus ini menjadi terang benderang,†ujarnya.
Menanggapi kasus ini, Ditjen PaÂjak menyerahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. “Tentu kami prihatin. Tapi, kami sangat kooperatif dengan pihak berwaÂjib agar segera tuntas,†kata DiÂrektur Penyuluhan dan BiÂmÂbiÂngan PelaÂyaÂnan Hubungan MaÂsyarakat DitÂjen Pajak Dedi RuÂdaidi saat jumÂpa pers di Gedung Ditjen Pajak.
Dedi menyatakan, kasus ini murni bukan perkara perpajakan, tapi pengadaan barang. “Tidak sedikit pun kami resistance terhaÂdap proses hukum ini. Justru kami dukung, karena kami seÂdang berbenah,†ujarnya.
Direktur Eksekutif LSM IndoÂnesian Resource Studies (IRES) Marwan Batubara menilai, Ditjen Pajak mesti direformasi total unÂtuk menghilangkan reaksi negatif masyarakat kepada lembaga ini. Terlebih, katanya, setelah KejakÂsaÂan Agung meÂnetapkan dua peÂjabat Ditjen Pajak sebagai terÂsangka kasus pengadaan sistem informasi manajemen ini.
“Setelah kasus Gayus, tadinya saya berharap tidak ada lagi perÂkara korupsi di Ditjen Pajak. Ini tanda bahwa pengawasan di Ditjen Pajak lemah. Sebab, jika pengawasannya bagus, tentu kasus seperti ini tidak terjadi,†katanya.
Masyarakat Kita Sudah Cerdas
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meÂnilai, Kejaksaan Agung terÂkeÂsan menutup-nutupi penguÂmuÂman tersangka dugaan korupsi peÂngadaan Sistem Informasi DiÂrektorat Jenederal Pajak (SIDJP), itu aneh dan patut dicurigai.
“Lucu juga mereka, kok maÂlah menutupi nama atau idenÂtitas tersangka. Itu harus dibuka dong. Sebab, seseorang diteÂtapÂkan sebagai tersangka karena sudah ada alat bukti yang kuat,†ujar Andi Rio.
Politisi Golkar itu menilai, bila memang ada unsur keseÂngaÂjaan dalam upaya menutupi pengumuman tersangka itu, maka Kejaksaan Agung pantas dipertanyakan. “Apakah ada seÂsuatu di situ, mengapa tak diÂumumkan, ya itu patut diÂperÂtaÂnyakan,†ujarnya.
Andi Rio menyampaikan, jaksa penyidik yang menangani kasus itu hendaknya bekerja secara profesional. Penetapan staÂtus tersangka pun harus diÂsampaikan secara profesional.
“Kita ini jadi bingung dengan pola kerja penyidik seperti itu. Kapan akan benar negara huÂkum kita ini kalau masih saja ada tersangka yang ditutup-tuÂtupi. Masyarakat kita sudah cerÂdas, jangan dianggap bodoh. Sikap kejaksaan begitu ya harus dipertanyakan. Jaksa harus kerÂja profesional,†ujarnya.
Dia mengingatkan, publik jaÂngan dibuat curiga terus meÂneÂrus. Sebab, hal itu akan meruÂgiÂkÂan kejaksaan sendiri. “MaÂsyarakat bisa semakin tak perÂcaya dengan kerja mereka. SaatÂnya jaksa kita berubah makin proÂfesional,†ujarnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menahan dua peÂgaÂwai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan sistem informasi manajemen pada tahun 2006. Tapi, identitas mereka jelas, tak seperti tersangka baru itu.
“Kejagung menahan dua peÂgawai Ditjen Pajak yang seÂbeÂlumnya sudah ditetapkan seÂbaÂgai tersangka. Mereka ditahan,†ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rochmad, pada saat penahanan tersangka itu.
Kedua tersangka itu adalah KeÂtua Panitia Pengadaan SisÂtem Informasi Manajamen BaÂhar dan Pejabat Pembuat KoÂmitÂmen Pulung Sukarno.
“TerÂsangka Bahar ditahan di Rutan Salemba Cabang KejaÂgung dan Pulung ditahan di RuÂtan Saemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Mereka ditahan selama 20 hari ke depan untuk kepentingan peyidikan,†ujar Noor.
Untuk Apa Kejaksaan Tutupi Identitas Tersangka
Yenti Garnasih, Pengamat Hukum
Masyarakat berkeÂpenÂtiÂngan untuk mengetahui proses hukum yang dilakukan KeÂjakÂsaan Agung, termasuk dalam hal mengumumkan tersangka seÂbuah perkara korupsi.
Pengamat hukum dari UniÂversitas Trisakti Yenti Garnasih menilai, upaya meÂnyemÂbuÂnyiÂkan penetapan status tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Sistem Informasi di Ditjen PaÂjak itu tidak berdasar. Karena itu, kejaksaan harus meÂnguÂmumÂkan secara transparan proÂses yang mereka lakukan.
“Bagaimana publik bisa meÂngawal proses yang terjadi bila menyampaikan tersangka saja penuh dengan sikap menÂcuÂriÂgaÂkÂan. Kejaksaan harus transÂparan dong,†ujar Yenti.
Yenti menyampaikan, tidak akan ada efek negatif dalam pengumuman seseorang sebaÂgai tersangka asalkan memang sudah ada alat bukti yang kuat. “Tidak apa-apa. Harus diÂumumÂkan, sebab itu pun bisa meÂnimbulkan efek jera bagi orang lain,†ujarnya.
Apabila ada upaya dengan sengaja menutupi penetapan status tersangka, lanjut Yenti, maka tingkat kecurigaan maÂsyaÂrakat harus dinaikkan. “unÂtuk apa ditutupi, harus transÂparan,†katanya.
Dia pun meminta jaksa agar beÂkerja profesional, serta tidak meÂlakukan penyelewengan tuÂgas dan tanggung jawab. “Jika diÂtutupi, apakah mereka akan meng-SP3 kasus itu? Apakah ada permainan? Ini tentu akan menÂjadi pertanyaan masyaÂraÂkat, sebab masyarakat kita meÂngaÂwasi proses hukum,†ucapnya.
Proses yang transparan, serÂta profesional, lanjut Yenti, akan mampu mengeliminasi tinÂdaÂkan penyalahgunaan oleh jaksa. “Tindakan menerima suap, meÂlaÂkukan pemerasan atau meÂnyeÂlewengkan perkara akan bisa terhindarkan dengan transÂpaÂransi. Ya harus terbuka,†ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32
Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59