Berita

Boy Rafli Amar

X-Files

Tersangka Kasus Kemenkes Tetap Saja Satu Orang

Ditangani Bareskrim Polri Sejak Awal 2010
SENIN, 09 JANUARI 2012 | 08:58 WIB

RMOL. Ditangani Bareskrim Mabes Polri sejak awal tahun 2010, kasus korupsi  di Kementerian Kesehatan tidak kunjung mengalami kemajuan.

Keseriusan Polri yang me­min­ta kepada KPK agar tetap di­beri kewenangan mengendus je­jak Nazaruddin dalam kasus ko­rupsi di Kemenkes ini, patut di­pertanyakan. Apalagi, hingga awal Januari 2012, Bareskrim baru bisa me­ne­tapkan satu ter­sang­ka kasus yang diduga me­libatkan perusahaan Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat ini.

Satu tersangka itu adalah Ke­pala Sub Bagian Program dan Ang­garan Sekretariat Badan Pe­ngembangan dan Pem­berdayaan Sumber Daya Manusia Ke­men­te­rian Kesehatan Syamsul Bahri. Dia diduga menyelewengkan ten­der pengadaan alat bantu belajar mengajar pendidikan dokter spe­sialis di rumah sakit pendidikan dan rujukan di Badan

Pengembangan dan Pember­da­ya­an Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Kemenkes tahun ang­garan 2009, senilai Rp 15 miliar.

Padahal, Kejaksaan Agung yang menangani kasus korupsi Ke­menkes belakangan, justru le­bih dahulu menetapkan tiga ter­sangka, antara lain Syamsul Bahri itu. Bedanya, Kejaksaan Agung menangani kasus Kemen­terian Kesehatan tahun anggaran 2010. Sedangkan Polri me­na­ngani kasus Kemenkes tahun anggaran 2009.

Tapi, Kepala Bareskrim Polri Komjen Sutarman mengaku, pe­ngu­sutan kasus tersebut masih ber­jalan di Bareskrim. Kendati be­gitu, dia menolak mem­be­ber­kan dugaan keterlibatan perusaan Nazaruddin dalam proyek di Ke­menterian Kesehatan tahun ang­garan 2009 itu. “Prosesnya masih berlanjut,” kata bekas Kepala Polda Metro Jaya ini.

Sementara itu, sumber di ling­kungan Tipikor Bareskrim Polri menginformasikan, untuk me­nun­taskan kasus tersebut, Ba­res­krim berkoordinasi dengan p­e­nyidik tipikor polda-polda dalam mengorek keterangan saksi-saksi di sejumlah rumah sakit dae­rah. Sedikitnya, 17 pejabat rumah sa­kit di 12 daerah telah dimintai ke­terangan untuk menyingkap ka­sus tersebut.

Nah, sumber ini menam­bah­kan, Nazaruddin diduga memiliki beberapa perusahaan fiktif yang memenangkan tender proyek di Kementerian Kesehatan itu. Du­gaan keterlibatan Nazarud­din, menurutnya, diperoleh setelah penyidik mengorek keterangan saksi-saksi tersebut dan tersangka Syamsul Bahri.

Kepala Bidang Penerangan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar juga mengatakan, pengu­sutan kasus ini masih berjalan. Akan tetapi, senada dengan Ka­­­bareskrim, apa dan ba­gai­mana ke­terlibatan Nazaruddin, dia be­­lum bisa memastikan. Me­­nu­rut­­nya, hal tersebut ada­lah do­main penyidik.

Dia menambahkan, pengu­su­tan kasus ini di kepolisian tidak terkait kasus Kementerian Ke­se­hatan yang ditangani Kejaksaan Agung. Soalnya, kasus yang dita­ngani kepolisian merupakan per­kara pengadaan tahun 2009. Se­dangkan kasus yang ditangani Kejagung menyangkut anggaran proyek Kemenkes tahun 2010.

Sekalipun proyek yang diduga diselewengkan berbeda tahun anggaran, dia menyatakan, ker­ja­sama kepolisian dengan ke­jak­saan tetap dilaksanakan. Soal­nya, tersangka dua kasus itu me­nyeret nama yang sama, yakni Syamsul Bahri.

Boy menambahkan, suksesnya penanganan perkara tidak bisa diukur dari sedikit atau ba­nyak­nya tersangka. Penetapan status tersangka, harus diikuti bukti permulaan yang cukup. De­mikian halnya proses penahanan, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Sebagai catatan, Kejaksaan Agung yang menangani kasus ko­­rupsi Kemenkes belaka­ngan, justru lebih dahulu mene­tap­kan tiga tersangka, yakni Syam­sul Bahri, Widianto Aim dan Bantu Marpaung. Menurut Kepala Pu­sat Penerangan Hukum Ke­jak­saan Agung Noor Rochmad, ter­sangka Widianto merupakan Ke­tua Pengadaan Kepala Bagian Prog­ram dan Informasi Sekretaris Badan PPSDM tahun 2010.

Widianto diduga berperan mem­buat penetapan Harga Perki­raan Sendiri (HPS) yang tak se­suai tender pengadaan alat pen­di­dikan dokter rumah sakit. Se­dangkan, Syamsul Bahri, diduga terkait penyelewengan HPS da­lam tender proyek pengadaan alat pendidikan dokter rumah sa­kit di daerah yang dimenangkan Bantu Marpaung.

REKA ULANG

Kata Ito, Sempat Terhenti Karena Perkara Gayus

Kasus pengadaan alat bantu be­lajar mengajar pendidikan dokter di Kementerian Kesehatan, di­ta­ngani Polri sejak Kepala Ba­res­krim dijabat Komjen Ito Sumardi. Akan tetapi, hingga Kabareskrim dijabat Komjen Sutarman, tetap saja kasus ini tidak mengalami kemajuan.

Menurut Ito, kasus ini mulai ditangani sejak 2010 berdasarkan temuan penyidik maupun laporan masyarakat. Penyelidikan kasus itu, kata dia, sempat terhenti lan­ta­ran seluruh penyidik Direktorat III Tipikor Bareskrim fokus ke pe­nanganan kasus pajak Gayus Tam­bunan.

“Waktu itu konsen­trasi sam­­pai lima bulanan. Se­te­lah se­le­sai, kami lanjutkan proses pe­nye­li­dikan,” katanya pada 4 Juli 2011.

Semula, kasus ini juga dita­nga­ni Komisi Pemberantasan Ko­rupsi. Belakangan, KPK mem­per­silakan Polri mengusut kasus ter­sebut. “Siapa pun yang me­na­nga­ni, yang penting masalahnya di­tangani. Untuk kasus Ke­men­kes, kami masih koordinasi de­ngan KPK,” kata Kepala Ba­res­krim Polri Sutarman.

Setelah dapat kepastian dari KPK untuk menangani perkara korupsi di Kementerian Kese­ha­tan, Bareskrim Polri melanjutkan penyelidikan dengan memeriksa kepala rumah sakit di 30 provinsi.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri saat itu Irjen Anton Bachrul Alam, selain mengorek kete­ra­ngan saksi-saksi, pengusutan ka­sus ini merujuk pada dokumen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Perkara di Kemenkes yang ditangani Bareskrim adalah ka­sus korupsi pengadaan alat ban­tu pendidikan bagi dokter spe­sialis pada 17 rumah sakit daerah di 12 provinsi pada tahun 2009, dengan kerugian negara sekitar Rp 15 miliar.

Sedangkan Kejaksaan Agung, menangani kasus serupa untuk tahun anggaran 2010. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus Andhi Nirwanto, hal tersebut bukanlah masalah. Katanya, Ke­jagung berkoordinasi dengan Ma­bes Polri terkait penanganan per­kara dugaan korupsi pengadaan alat pendidikan dokter di Ke­men­kes ini. “Penuntutan perkara itu akan digabung dengan tersangka yang ditangani Mabes Polri, yakni Syamsul Bahri,” ujarnya.

Andhi menambahkan, berkas penuntutan akan digabung se­te­lah dinyatakan lengkap atau P21 serta tersangka dan barang bukti diserahkan ke kejaksaan.

Dia juga mengatakan, Kejak­sa­an Agung dan Polri telah se­pa­kat soal penggabungan berkas dan penuntutan ini. “Digabung ter­hadap yang tersangkanya sama. Di sana kan baru satu ter­sangka, sementara di sini sudah ada tiga tersangka, jadi nanti kita gabung. Tidak ada masalah,” ujarnya.

Dengan penggabungan berkas, maka dakwaan dan persidangan tersangka Syamsul Bahri akan dilakukan secara kumulatif.

Tidak Ada Alasan Minimalisir Pelaku

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR 

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding meminta Polri, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak meminimalisir pelaku kasus korupsi di Kementerian Kesehatan.

Dia menegaskan, pelaku utama atau intelektual dader kasus ini, harus diungkap secara gamblang kepada masyarakat. Tidak ada alasan untuk memi­ni­malisir pelaku.

“Tak ada ala­san bagi Polri, Kejagung dan KPK untuk tidak me­nin­dak­lanjuti dugaan pe­nyelewengan anggaran negara ini secara utuh,” ujarnya.

Lantaran itu, Syarifuddin men­­desak Polri, Kejaksaan Agung dan KPK agar meme­rik­sa siapa pun yang diduga ter­li­bat kasus ini secara pro­por­sio­nal. Jangan sampai pula, kata­nya, pelaku uta­ma kasus ini lo­los. Artinya, penanganan kasus korupsi me­nyentuh pelaku kecil saja.

“Kita memantau semua pe­nanganan perkara korupsi. Jangan sampai yang jadi ter­sangka sebatas pejabat pembuat komitmen proyek,” tandas ang­gota DPR dari Partai Hanura ini.

Dia pun mengingatkan Polri, Kejaksaan Agung dan KPK agar pengusutan perkara-per­ka­ra yang diduga menyeret Na­za­ruddin jangan sampai man­deg. Jika ada intervensi dari pihak ter­tentu kepada penegak hu­kum, menurut Syarifuddin, Ko­misi III DPR tidak akan tinggal diam.

Setiap intervensi kepada pe­nyidik Polri, Kejaksaan Agung dan KPK, lanjut Syarifuddin, hendaknya disampaikan kepada Komisi III DPR. Sebagai mitra kerja lembaga penegak hukum, katanya, Komisi III siap mem­bantu penegak hukum untuk menyelesaikan masalah hukum.

Kemudian, koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam menangani kasus korupsi yang sama, mesti ditingkatkan agar kesan berebut menangani kasus korupsi bisa dihindarkan.

Dia menilai, sikap Kejaksaan Agung yang akan meng­ga­bung­kan berkas perkara atas nama tersangka Syamsul Bahri seba­gai hal positif. Dengan begitu, ha­sil kerja penyidik kepolisian menjadi tidak sia-sia. Namun, dia mengingatkan agar pena­nga­­nan kasus Kemenkes tidak berhenti sampai di sini.

Kedepankan Unsur Yuridis Bukan Politis

Bambang Widodo Umar, Pengamat Kepolisian

Pengamat kepolisian Bam­­­bang Widodo Umar juga me­ngi­ngatkan, substansi perkara-per­kara dugaan korupsi yang me­nyeret Nazaruddin, bekas Ben­dahara Umum Partai De­mok­rat harus diusut secara tuntas.

Pensiunan polisi berpangkat Kombes (Purn) ini meminta agar pengusutan kasus tersebut mengedepankan unsur hukum, bukan unsur politis.

“Kepolisian hendaknya tetap mengedepankan unsur yuridis. Polri tidak boleh menjadi alat politik pihak tertentu,” tandas Bambang.

Dia menggarisbawahi, jika benar Nazaruddin terlibat kasus korupsi di Kementerian Kese­ha­tan dan lain-lain, hal itu hen­daknya bisa segera diungkap. Jadi, kata Bambang, Polri, Ke­jaksaan Agung dan KPK tidak bo­leh menjadikan dugaan-dugaan keterlibatan Nazaruddin untuk mendongkrak popularitas semata.

Sebaiknya, lanjut Bambang, apa yang sudah disampaikan kepada publik diikuti dengan bukti-bukti. Unsur pembuktian atas dugaan-dugaan tersebut sa­ngat ditunggu masyarakat. “Jadi, bukan digembar-gemb­or­kan. Justru dibuktikan dengan kerja keras,” tandas dia.

Jika penegak hukum masih menggunakan pola gembar-gembor, dia meyakini, lembaga penegak hukum bisa dengan mudah diboncengi kepentingan politik pihak tertentu.

Padahal, jika bicara ideal, lembaga penegak hukum harus mampu independen. Bebas dari kepentingan politik serta senan­tiasa menempatkan faktor yuri­dis pada garda terdepan.

Lan­taran itu, dosen Pasca Sar­ja­na Fakultas Ilmu Kepo­li­si­an Universitas Indonesia ini men­­desak agar profesio­nalis­me penegak hukum kembali ditata sesuai pedoman ideal yang ada.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya