RMOL. 28 peserta aksi jahit mulut yang datang dari Riau masih bertahan di depan Gedung DPR, Jakarta, meski kondisinya satu persatu ambruk. Mereka tak putus asa sebelum tuntutannya dikabulkan.
Panas matahari yang sangat menyengat membangunkan tiÂdurÂnya. Dengan kondisi tubuh yang lemah, Tahyan mencoba meÂraih air mineral yang tergeÂletak di sampingnya.
Botol pun berada digengÂgaÂmanÂnya. Namun, pria berusia 30 tahun ini tidak bisa minum deÂngan leluasa karena mulutnya terÂkunci rapat dengan benang.
Sebuah sedotan dimasukkan ke dalam botol dan disedotnya peÂlan-pelan air tersebut melalui sela-sela mulut . Beberapa teguk air masuk ke mulutnya.
Usai minum, warga Pulau PaÂdang, Meranti, Riau ini tidak meÂngeluarkan sepatah katapun dan memilih tidur kembali di tenda yang berada di depan gerÂbang maÂsuk Gedung DPR Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
“Dia sudah enam hari nggak makan nasi. Jadi tubuhnya sudah sangat lemah.†kata Mukti, salah soerang warga Pulau Padang yang tergabung dalam Forum KoÂmunikasia Masyarakat PeÂnyeÂlamat Pulau Padang (FKMP3).
Tahyan tidak sendirian, ada satu warga lagi yang melakukan aksi jahit mulut dan terbaring leÂmah disampingnya.
Mukti, mengatakan, Tahyan baru keluar dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Selasa pagi (27/12), karena menÂderita kritis setelah beberapa tiÂdak makan nasi.
Pria 37 tahun ini menjelaskan, warga yang melakukan aksi jahit mulut ada 28 orang. Namun saat ini hanya dua orang yang ada diÂtenda karena dalam kondisi leÂmah, sedangkan sisanya sedang menggelar demonstrasi di Kantor Kementerian Kehutanan (KeÂmenhut).
Mukti menambahkan, warga yang melakukan aksi jahit mulut akan terus bertambah bila tunÂtutan tidak segera dipenuhi oleh Kementerian Kehutanan.
“BahÂkan 76 warga Pulau PaÂdang yang datang ke Jakarta seÂmuanya akan melakukan aksi jaÂhit mulut hingÂga tuntutan terÂpenuhi,†katanya.
Pria berkumis ini menegaskan, tuntatan warga Pulau Padang adalah dicabutnya Surat KeÂpuÂtuÂsan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 327 tahun 2009 tentang perijinan Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada PT RAPP di KaÂbuÂpaten Meranti, Propinsi Riau, atau meninjau ulang surat Surat KeÂputusan (SK) Menteri KeÂhuÂtanan tersebut.
Hal ini dilakukan, karena berÂdampak buruk bagi lingkungan seÂkitar. Mukti menjelaskan, PuÂlau Padang mempunyai luas 110 ribu hektare, dari jumlah terseÂbut seluas 41 ribu hektare diÂguÂÂnaÂkan PT RAPP untuk Hutan TaÂnaman Industri.
Bila dibiarkan, dalam waktu tiÂdak lama lagi Pulau Padang akan terendam air laut karena laÂhan gambutnya ditebang habis. “Padahal gambut selama ini diÂgunakan untuk menangkal terÂjaÂngan air laut,†katanya.
Mukti menambahkan, pengoÂpeÂrasian PT RAPP di Pulau PaÂdang tidak mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar. “PeÂruÂsaÂhaan hanya mendapat izin dari pihak aparatur desa, sementara penduduk tidak diberi tahu sama sekali,†katanya.
Mukti mengatakan, PT RAPP telah beroperasi selama enam buÂlan di Pulau Padang dan telah membuat kanal-kanal besar, serta mess karyawan untuk kelancaran proses produksi.
Dia khawatir operasi pabrik daÂlam waktu lama akan meÂnganggu perekonomian warga Pulau PaÂdang. Warga akan semakin sulit mencari kayu bakar, membuka lahan perkebunan dan pemuÂkiÂman masyarakat.
Pria empat orang anak ini meÂnuÂturkan, alasan warga Pulau PaÂdang datang ke Jakarta, karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan saat melakukan aksi jahit mulut di kantor Kabupaten Meranti dan di gedung DPRD MeÂÂranti. Mereka selalu beralasan bahwa semua perizinan kehÂuÂtaÂnan yang mengeluarkan adalah Menteri Kehutanan.
“Berbekal jawaban yang tidak memuaskan itu akhirnya kami sepakat datang langsung ke JaÂkarta,†katanya.
Kepergian warga Pulau Padang ke Jakarta juga tidak mudah, warÂga Pulau Padang harus naik kapal laut selama dua hari menuju KeÂpuÂlauan Riau. Setelah itu 73 warÂga menggunakan bus selama emÂpat hari hingga sampai ibu kota ini. Sedangkan tiga warga meÂmilih menggunakan pesawat.
Sampai di Jakarta Jumat (16/12) kemudian membuat tenda plastik dengan bahan seadanya di depan gerbang masuk DPR untuk tempat tinggal. “Namun malamÂnya ada perwakilan ormas yang menyumbang terpal besar yang bisa dibuat tenda,†katanya.
Langkah selanjutnya, hari Senin (19/12) delapan warga meÂlakukan aksi jahit mulut yang diÂlaÂkukan sendiri, selanjutnya SeÂlasa (20/12) sebanyak 10 warga melakukan aksi jahit mulut yang dibantu tim medis dari salah satu parpol besar.
Tidak cukup sampai di situ, Rabu (21/12) sebanyak 10 orang lagi juga melakukan aksi serupa yang juga dibantu tim medis. “Jadi sampai saat ini sudah ada 28 orang yang melakukan aksi itu.†katanya.
Mereka yang melakukan aksi jahit mulut tidak ada yang makan, hanya minum suplemen penamÂbah stamina. Karena tidak ada asupan makanan, kata Mukti, KaÂmis (22/12) tujuh orang sempat mendapat perawatan di RSCM karena mengalami cidera perut. “Tapi saat ini mereka sudah keÂluar semua dan tetap melanjutkan aksi jahit mulut,†katanya.
Bupati Meranti Sesalkan Sikap Pemerintah Pusat
Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir menyesalkan sikap Kementerian Kehutanan yang meÂlempar persoalan perizinan Hutan Tanaman Indsutri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti.
Menurut Irwan, jika perizinan itu dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, maka pencabutannya dikembalikan kepada yang meÂngeÂluarkan izin, bukan justru meÂlemÂpar kepada pemerintah daerah.
“Sekarang pusat terkesan meÂngobok-obok pemerintah daerah dengan masyarakat dan dengan pemerintah Kabupaten. Kami saÂngat menyesalkan hal itu terjadi,’’ kata Irwan melalui KeÂpala Bagian Humas Kabupaten Meranti Yulizar.
Menurut Bupati, selama ini siÂkap yang ditunjukkan Pemkab KeÂpulauan Meranti terkait HTI suÂdah cukup jelas, yakni meminta meÂninjau ulang izin tersebut. BahÂkan Pemkab sudah dua kali diÂmasa Bupati Irwan saat ini meÂnyuÂrati Kemenhut dan satu kali di masa Penjabat Bupati SyamÂsuar lalu.
“Sekarang justru pusat meÂlempar lagi persoalan izin HTI ke Pemkab Kepulauan Meranti,’’ kata Bupati melalui Kabag HuÂmas Yulizar.
Menyikapi adanya hasil perÂteÂmuan Forum Komunikasi MaÂsyaÂrakat Penyelamat Pulau PaÂdang (FKMPPP) dengan pihak keÂmenterian pada 16 Desember lalu yang meminta Bupati KeÂpulauan Meranti untuk meÂngeÂluarkan rekomendasi pencabutan izin operasional PT RAPP di PuÂlau Padang, Bupati mengatakan bahwa hal itu adalah keputusan yang harus dipertanyakan kemÂbali, sebab terkesan Kemenhut meÂlemparkan persoalan itu keÂpada Pemkab kepulauan Meranti.
“Pusat terkesan cari aman. MeÂreka yang mengeluarkan izin, kita yang disuruh mereÂkomÂeÂnÂdaÂsiÂkan mencabut izin. Itukan doÂmain puÂsat,†katanya.
“Silahkan saja Menhut yang mencabut izin HTI di Pulau PaÂdang itu, kok malah melempar ke Pemkab Kepulauan Meranti. KaÂlau memang Menhut mencabut, peÂmerintah daerah sebagai pelakÂsanan kebijakan pusat akan menÂjalankannya,’’ tambah Bupati.
Mengenai poin pencabutan izin daÂlam notulensi pertemuan FKMPPP dengan Kemenhut itu haÂrus ada rekomendasi dari PemÂkab Kepulauan Meranti, lanjut BuÂpati itu bisa jadi bola liar terÂhadap Pemkab Kepulauan MeÂranÂti, karena diduga implikasi huÂkum yang ditimbulkan setelah itu, dikhawatirkan Pemkab KeÂpulauan Meranti justru menjadi tumbal konspirasi dari keputusan pusat tersebut.
Bila rekomendasi dari Bupati KeÂpulauan Meranti itu kuat dan berÂsifat final, seperti tidak ada imÂplikasi hukum yang ditimbÂulÂkan, pihaknya akan secepatnya meÂngeluarkan.
“Tapi kan tidak demikian, perlu ada kajian ilmiah alasan pencaÂbuÂtan, dan harus ada analisa huÂkumÂnya. Makanya kita sesalkan sikap Kemenhut itu mengÂganÂtung tak berÂtali dengan melempar bola paÂnas ini ke daerah,’’ kata Bupati.
Selain itu, Bupati Kepulauan MeÂranti juga menyayangkan adaÂnya aksi jahit mulut warga Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti di Jakarta. Masyarakat harus faham duduk persoalan yang ada, jangan sampai dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab, dan terÂkesan Pemkab Meranti lah yang salah dan bertanggung jawab atas semua ini.
“Izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) ini dikeluarkan Bupati Bengkalis. Anehnya pusat jusÂtru meÂlemparkan konflik HTI ini keÂpaÂda Pemkab MeÂranti,†ujarnya.
Mandi & Cuci Baju Di Kantor Menteri Zulkifli
Selama menginap di depan gerÂbang masuk DPR, Mukti, saÂlah soerang warga Pulau PaÂdang yang tergabung dalam FoÂrum Komunikasia MaÂsyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKMP3) mengaku, tidak ada aksi pengusiran yang dilakukan pihak kepolisian maupun PamÂdal DPR. “Mereka paling cuma mengusir secara lisan saja, tapi tidak kami peduÂlikan,†katanya.
Soal akomodasi selama di JaÂkarta, Mukti menuturkan, berÂasal dari patungan antar warga. Tidak hanya itu, beberapa warÂga Jakarta yang bersimpati deÂngan gerakan ini juga memÂbantu memberikan nasi bungkus.
Walapun masalah akomodasi terpenuhi, kata Mukti, ada perÂmaÂsalahan lain yang juga dihaÂdapinya, yaitu kesulitan untuk mandi atau mencuci baju kotor.
“Kolam di DPR sudah tidak boleh dibuat mandi. Akhirnya kami mandi dan nyuci di kamar mandi yang ada di komplek Kemenhut,†katanya.
Hampir sepuluh hari lebih melakukan aksi di Jakarta, kata Mukti pihaknya sudah melaÂkukan Âaudiensi dengan Ketua DPR Marzuki Alie dan dari Pihak Kementerian Kehutanan yang diwakili Sekjen.
“Namun jawaban mereka sama saja, akan mengevaluasi SK Menhut dan mengirim surat ke Bupati Meranti terkait perÂmasalahan ini,†katanya.
Tapi, warga Pulau Padang beÂlum puas dengan jawaban terÂsebut dan masih menunggu aksi nyata dari Menhut Zulkifli HaÂsan dengan mencabut SK terÂsebut. “Kalau tidak, kami akan tetap bertahan di Jakarta sampai kapanpun,†katanya.
Kondisi di depan pintu gerÂbang masuk gedung DPR di JaÂlan Gatot Subroto mirip pemuÂkiman kumuh. Beberapa tenda berukuran kecil dan besar diÂdiÂrikan untuk menampung warga Pulau Padang yang melakukan aksi di Jakarta.
Di antara tenda yang berdiri, terdapat tenda besar berukuran 6x15 meter. Di bagian atasnya terbuat dari terpal warna biru, seÂdangkan dinding-dindingnya ditutupi dengan beberapa spanÂduk panjang.
Untuk lantai mengunakan karpet plastic tipis. Di dalam tenÂda banyak baju bergeÂlanÂtuÂngan milik warga. Sementara tas-tas milik dikumpulkan menÂjadi satu ditengah-tengahnya.
Di tenda tersebut hanya ada lima warga yang sedang istiraÂhat, sedangkan sisanya sedang melakukan audiensi dengan Kementerian Kehutanan.
Di samping tenda besar dipaÂsang spanduk besar warna meÂrah yang bertuliskan, “Aksi jaÂhit mulut. Presiden atau Menhut Zulkifli Hasan harus mampu menyelamatkan Pulau Padang. Hentikan operasional PT RAPP di Pulau Padang. Cabut SK Menhut Nomor 327 tahun 2009 seÂkarang juga.
Mencabut Izin Perusahaan Harus Dari Bupati Setempat
Sekretaris Jenderal (SekÂjen) Kemenhut, Hadi Daryanto menyatakan, bahwa untuk menÂcabut izin perusahaan, diperÂluÂkan rekomendasi bupati setemÂpat, meskipun kewenangan memÂberi dan mencabut izin itu berada di Kemenhut.
Hadi mengaktan, warga PuÂlau Padang mempunyai tunÂtuÂtan yang tidak bisa ditawar, yaÂitu cabut izin. Tapi, ada proÂseÂÂdurÂnya dalam tata usaha neÂgara. Untuk mencabut, sama deÂngan memberi.
Harus ada rekomenÂdasi peÂmeÂrintah daerah, karena ini meÂmang terkait desenÂtraÂliÂsasi. “TiÂdak bisa tidak, dari buÂpati, mesÂkipun kewenangan unÂtuk memÂberi dan mencabut izin (itu) dari Menteri Kehutanan,†jelasnya.
Hadi menjelaskan, pihak KeÂmenhut sendiri sudah menemui demonstran dari Pulau Padang pada 16 Desember.
DitamÂbahÂkanÂnya, sudah ada kesepakatan bersama yang dibuat oleh para kepala desa, dan diketahui oleh bupati dan DPRD setempat.
“Sudah sepakat dengan buÂpati dan masyarakat, untuk meÂngidentifikasi areal kebun yang ditanami karet. Mereka kan taÂkut, kalau ada perusahaan, areal mereka tak bisa ditanami (lagi). Bukan karena mereka anti-peÂrusahaan. Itu yang seÂdang diliÂhat lagi,†katanya.
Marzuki Ajak Dialog Di Nusantara III
Kamis (22/12), Ketua DPR Marzuki Alie mendatangi peÂserta aksi jahit mulut dari warga Pulau Padang, Kepulauan MeÂranti, Riau.
Marzuki yang diÂdampingi anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Pieterson S. Zulkifili mengajak perwakilan warga Pulau PaÂdang berdialog di lantai tiga NuÂsantara III gedung DPR, Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut, Marzuki meminta Bupati KeÂpuÂlauan Meranti bersikap bijakÂsana dan berpihak kepada rakÂyat, agar rakyat tidak terlunta-lunta di Jakarta.
Marzuki berjanji akan meÂngirim surat kepada Menteri KeÂhutanan, Zulkifli Hasan dan Bupati Kepulauan Meranti, IrÂwan Nasir atas sengketa lahan di Pulau Padang, Meranti. MenÂhut akan diminta segera memÂbatalkan SK Menhut No.327 tahun 2009, sedangkan Irwan Nasir diminta mencabut izin operasional HTI PT Riau AnÂdalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Meranti.
Marzuki akan mengirim surat ke Bupati Kepulauan Meranti dengan tembusan ke Komisi IV yang terkait persoalan lahan. Karena melanggar hukum, SK 327 bertentangan dengan kepuÂtusan presiden.
“Saya akan tindak lanjuti, akan telepon Pak Zulkifli (MenÂÂhut) , saya akan buat suratÂnya. Kita tanyakan masalahnya nasib para petani yang digusur ini dan komisi terkait pertanian dan pertanahan yaitu Komisi IV DPR RI akan memanggil peÂjabat yang bersangkutan,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35
UPDATE
Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:39
Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:13
Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:49
Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:21
Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:00
Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:47
Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:30
Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:59
Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:38
Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:17