ilustrasi/ist
ilustrasi/ist
RMOL.Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy mengakui tengah menangani kasus pemerasan yang diduga dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Takalar, Sulawesi Selatan Rakhmat Harianto.
Kajari Takalar Rakhmat HaÂrianto dan Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Takalar, Tuwo dilaÂporkan ke Jaksa Agung karena memeras seseorang yang diduga terlibat perkara korupsi. KeÂduaÂnya juga dilaporkan karena meÂlaÂkukan intimidasi, menekan, meÂmaki, menakut-nakuti, meÂnganÂcam dan menyerang pribadi serÂta kehormatan keluarga seseorang.
Ketika dikonfirmasi, Jaksa Agung Muda Pengawasan MarÂwan Effendy menyatakan dirinya kesal sekali karena masih saja ada jaksa yang memeras. “Jaksa Agung memerintahkan agar kaÂsus yang sedang ditangani Kajari Takalar itu segera diambil alih KeÂjaksaan Tinggi. Kajari dan Kasi Pidum Kejari Takalar sudah menjalani pemeriksaan fungÂsioÂnal. Jabatan fungsional mereka suÂdah dinonaktifkan,†ujar MarÂwan kepada Rakyat Merdeka.
Lebih lanjut, Marwan mengaÂtaÂkan, Jaksa Agung sudah mengeÂluarkan Surat Peringatan kepada dua jaksa tersebut. “Saat ini telah ditunjuk Pelaksana Tugas Kajari Takalar, menggantikan Kajari itu. Kajarinya juga sudah ditarik ke KeÂjaksaan Tinggi,†ujar bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus ini.
Lantaran Rakhmat dan Tuwo masih dalam proses pengawasan dan pemeriksaan, Marwan belum bisa memastikan, hukuman apa yang bakal dijatuhkan kepada dua jaksa itu. “Kalau perlu seberat-beÂratnya. Tapi, saya belum bisa pasÂtikan akan diberi sanksi apa, sebab masih dalam proses,†kata dia.
Marwan membenarkan, RakhÂmat berupaya memeras seseorang di Takalar. Rachmat mengancam akan menjadikan orang itu seÂbaÂgai tersangka kalau tidak diÂberikan uang sebesar Rp 500 juta. “Kalau diberikan, katanya tidak akan dijadikan tersangka. Kacau yang begini ini,†tandasnya.
Upaya pemerasan itu, bermula saat seseorang bernama Rommy Hartono Theos meminjamkan Rp 160 juta kepada sahabat kaÂribnya yang bernama William pada 2009 untuk modal usaha. Uang itu diÂguÂnakan William unÂtuk membuat kapal.
Selanjutnya, pada 25 NoÂvemÂber 2011, William bersama seÂseÂorang bernama Sirajuddin Andi Ismail diduga melakukan korupsi proyek pengadaan kapal penyeÂbeÂrangan (bus air) sebanyak 2 unit pada DiÂnas Perhubungan Kabupaten Takalar. Proyek terseÂbut bernilai Rp 1,5 miliar. Kasus ini ditangani Kejaksaan Negeri Takalar.
Rommy kemudian mendapat panggilan dari Kejari Takalar unÂtuk diperiksa terkait kasus peÂngadaan dua unit kapal tersebut. “Klien kami tak tahu menahu meÂngenai pengadaan kapal itu, tak mengenal Sirajuddin, tak pernah berÂhubungan dengan Dinas PerÂhuÂbungan dan tak mengerti meÂngaÂpa dipanggil. Dia hanya tahu meminjamkan uang kepada saÂhaÂbatnya, William, yang katanya akan dipakai sebagai modal usaÂha,†ujar kuasa hukum Rommy, Anang Yuliardi Chaidir ketika dihubungi.
Kendati begitu, lanjut Anang, RomÂmy bersedia datang untuk mengÂhormati kejaksaan, guna memÂberikan keterangan. “Tapi, awal kedatangan klien kami iniÂlah yang menjadi awal pemeÂrasan, intimidasi dan makian KaÂjari TaÂkaÂlar Rakhmat Harianto,†ujarnya.
Menurut Anang, Rommy dikait-kaitkan ikut terlibat kasus pengadaan dua buah kapal terseÂbut. Untuk pengamanan, RakhÂmat meminta uang Rp 100 juta keÂpada Rommy. “Tetapi klien kami tidak menanggapinya,†ujar Anang.
Karena tidak memenuhi perÂminÂtaan Rakhmat, Rommy pun seÂring ditelepon dan dimaki-maki. Bahkan, lanjut Anang, kata-kata kasar dan tidak senonoh kerap disampaikan Rakhmat kepada Rommy.
Pada 13 Desember 2011, RakhÂmat menelepon Rommy dan meÂnyuruh untuk datang diperiksa jam 9 pagi. Tapi, Rommy baru diteÂÂmui Rakhmat pukul 4 sore. Rommy kemudian merekam perÂbinÂcangan dan intimidasi yang disampaikan Rakhmat keÂpaÂdanya.
“Pada hari itu, Rakhmat kemÂbali memeras klien kami sebesar Rp 500 juta. Klien kami diintiÂmiÂdasi. Rommy sudah tak tahan, dia merekam semua pertemuan itu. Rekamannya sudah disamÂpaikan ke Kejaksaan Agung,†ujar Anang. MeÂnurut dia, RomÂmy juga suÂdah diÂperiksa tim dari Kejaksaan Agung terkait laporan terÂsebut. “Tim dari Kejagung suÂdah mÂeÂmeÂÂrikÂsa klien saya,†ujarnya.
Tak Semua yang Dilaporkan Terbukti Salah
Reka Ulang
Menjelang pergantian tahun, Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy menyampaikan, jajarannya sudah memroses riÂbuan laporan pelanggaran jaksa dari seluruh Indonesia.
Hingga Desember 2011, papar Marwan, hanya 889 laporan yang tersisa, itu pun masih dikerjakan. “Sampai Desember ini, semua laporan yang masuk sudah kami proses. Yang belum selesai itu kebanyakan dari daerah, masih kami proses,†ujarnya.
Marwan menjelaskan, pada DeÂÂÂsember 2010, pihaknya menÂdaÂÂpat tanggung jawab meneÂrusÂkan peÂnyelesaian tunggakan 910 laporan pelanggaran jaksa. SeÂdangÂkan selama 2011, Jamwas menÂdaÂpatÂkan 1.550 laporan lagi. “Yang suÂdah terselesaikan proÂsesÂnya seÂbaÂnyak 1.571 laporan, sisanya 889 masih kami kebut,†ujarnya.
Hingga akhir tahun ini, kata MarÂwan, pihaknya sudah menÂjaÂtuhÂkan sanksi terhadap 227 terlaÂpor. “Setelah kami proses, tidak seÂmua terbukti bersalah. Yang terÂbukti membuat kesalahan, suÂdah kami berikan sanksi. Sanksi itu tergantung jenis pelangÂgaÂrannya,†ucap dia.
Kejaksaan Agung mengÂklÂaÂsiÂfiÂkaÂsikan pelanggaran dalam emÂpat jenis, yaitu perbuatan inÂdiÂsipÂliner, penyalahgunaan weÂweÂnang, urusan perdata dan perÂbuaÂtan tercela lainnya.
Para jaksa dan staf tata usaha (TU) kejaksaan yang terbukti meÂlakukan pelanggaran, menÂdaÂpatÂkan sanksi atau hukuman sesuai jenis pelanggaran yang dilaÂkuÂkanÂnya. Jenis sanksi yang diberiÂkan, dibagi tiga kategori, yaitu huÂkuman tingkat ringan, hukuÂman tingkat sedang dan hukuman tingkat berat.
Marwan menjelaskan, untuk jenis perbuatan indisipliner jaksa dan staf TU hingga 19 Desember 2011 sebanyak 36 kasus, dan yang sudah dijatuhkan sanksi seÂbaÂnyak 30 orang. Kemudian, peÂnyaÂlahgunaan wewenang sebaÂnyak 165 laporan, dan yang kena sanksi sebanyak 87 orang. PeÂlangÂgaran berupa perbuatan terÂceÂla lainnya sebanyak 26 kasus.
Lebih lanjut, Marwan meÂnÂjeÂlasÂkan mengenai jenis hukuman yang diberikan terhadap pelaku 227 kasus tersebut. Pelaku tinÂdakan indisipliner diberikan huÂkuÂman ringan, yakni sebanyak 30 orang. “Diberikan sanksi karena maÂsalah indisipliner seperti terÂlambat, absensi atau kehadiran dan lain-lain.â€
Untuk jenis pelanggaran peÂnyalahgunaan wewenang, ada 165 kasus, yang sudah dijatuhkan sanksi sebanyak 87 orang.
Nah, untuk jenis pelanggaran deÂngan hukuman berat, KejakÂsaÂan Agung menghukum pelaku 110 kasus, dengan rincian: pemÂberÂhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS sebanyak 19 orang, pemÂberÂhenÂtian dengan tidak hormat seÂbagai PNS sebanyak 20 orang, peÂnurunan pangkat setingkat lebih rendah sebanyak 28 orang, pembebasan jabatan fungsional jaksa sebanyak 10 orang dan pemÂbebasan dari jabatan strukÂtuÂral sebanyak 33 orang.
Sedangkan Komisi PemberanÂtaÂsan Korupsi pada tahun 2011 meÂnangkap dua jaksa, yakni Dwi Seno Widjanarko dan Sistoyo. Dwi Seno ditangkap KPK sesaat setelah bertransaksi memeras peÂjaÂbat BRI Cabang Juanda, CiÂpuÂtat, Tangerang Selatan. Dwi seÂbaÂgai pegawai negeri telah melaÂkukan perbuatan yang dengan maksud menguntungkan diri senÂdiri secara melawan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang memberikan sesuatu.
Dwi telah divonis pidana penÂjara 1 tahun 6 bulan dikurangi maÂsa tahanan, denda Rp 20.000.000 subsidair 2 bulan kuÂrungan dan membayar biaya perkara Rp 10.000. Sedangkan jaksa SisÂtoyo ditangkap petugas KPK bersama dua pengusaha, Edward M Bunjamin dan Anton Bambang pada Senin petang (21/11/2011) di halaman Kejari Cibinong.
Masih Berkutat Pada Sanksi Administratif
Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar sangat prihatin melihat dan mendengar banyak aparat penegak hukum terbelit kasus. “Pemerasan yang dilakuÂkan jaksa sangat menciderai peÂnegakan hukum kita,†katanya.
Menurut Dasrul, kejahatan yang dilakukan jaksa di seluruh Indonesia sudah sangat sisteÂmik. “Sebab, sanksi yang dibeÂriÂkan kepada para jaksa nakal tidak jelas,†ujar anggota DPR dari Partai Demokrat ini.
Lantaran itu, dia meminta Jaksa Agung Basrief Arief memÂberikan tindakan tegas bagi jaksa bermasalah. “Jaksa Agung harus memberikan puÂnishÂment yang tegas. Berikan tindakan-tindakan konkret terÂhadap jaksa nakal, jangan berÂlama-lama prosesnya dan jaÂngan seputar masalah etis saja,†ujar Dasrul.
Pengawasan internal KejakÂsaÂan Agung, menurut Dasrul, sangat berkenaan dengan kebiÂjaÂkan Jaksa Agung. PengaÂwaÂsan internal menjadi kurang berÂgigi, sebab ada kesamaan rasa seÂbagai sesama satu korps. “SuÂlit berharap ketegasan dari daÂlam,†ujarnya.
Jika memang jaksa-jaksa di Indonesia sudah sebagian besar bobrok, lanjut dia, maka tidak masalah apabila ada kebijakan yang drastis untuk memecat para jaksa nakal itu. “Di MeÂxiÂco, mereka berani memecat 900 polisi. Nah, di kita, kalau jakÂsaÂnya massif bobrok, ya pecat saja. Toh, negara kita masih meÂÂmiliki putra putri bangsa yang tiÂdak bermental bobrok dan berÂpotensi untuk direkrut. Mencari dan merekrut seribu jaksa tidak sulit di negara kita,†ujarnya.
Sekali lagi Dasrul mengiÂngatÂkan, Jaksa Agung jangan terÂjeÂbak hanya memberikan sanksi yang sifatnya administratif bagi jaksa nakal.
“Harus dihukum teÂgas. Kalau hanya hukuman diÂsiplin, tidak akan jera. Mungkin dengan diÂpecat dan dihukum secara piÂdana, itu lebih berguna mÂenimÂbulÂkan efek jera,†ujarnya.
Sarankan Hukumannya Dua Kali Lipat
Sandi Ebenezer, Majelis PBHI
Perilaku jaksa nakal kian menjadi. Meskipun ada upaya penangkapan jaksa korup oleh KPK, namun perbuatan jaksa nakal tetap saja marak. Karena itu, KPK didesak agar juga fokus membersihkan jaksa-jaksa nakal.
“Jaksa nakal itu tidak akan jera, sebab sudah sangat massif terjadi. Mestinya KPK fokus melakukan pembersihan di kejaksaan dan kepolisian,†saran Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sandi Ebenezer Situngkir.
Menurut Sandi, walaupun Indonesia memasuki era peÂneÂgakan hukum, namun perilaku aparat penegak hukumnya tak kian bagus. “Perilaku jaksa jusÂtru lebih bagus pada masa Orde Baru. Indikatornya, sekarang ini ada indikasi permainan muÂlai dari jaksa bawahan sampai atasan. Kalau dulu, yang berani cuma atasannya,†ujarnya.
Dalam perkara dugaan peÂmeÂrasan oleh Kepala Kejaksaan NeÂgeri Takalar Rakhmat HaÂrianto, Sandi mendesak semua pihak menelisik permainan yang terjadi di dalamnya.
“DuÂgaan pemerasan di Kejari Takalar harus dilihat, apakah yang bersangkutan menangani sendiri perkara tersebut atau tidak,†ujarnya. Apabila meÂmang ada jaksa pengganti daÂlam penanganan perkara terÂsebut, lanjut dia, maka keÂmungÂkinannya terlibat pun besar.
Selanjutnya, Sandi menilai, upaya penjeraan berupa penÂjaÂtuhan hukuman oleh kejaksaan terhadap jaksa nakal, tidak efekÂÂtif. Cenderung ala kadarÂnya. Karenanya, perilaku jaksa kian menggila. Hukuman berat patut diberikan kepada jaksa-jaksa nakal.
“Idealnya, jangan hanya diÂberikan tindakan administrasi keÂpada pelakunya. Harus di-CiÂrus-kan. Hukumannya pun haÂrusnya dua kali lipat dari maÂsyaÂrakat biasa,†ujar Sandi. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32
Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59