ilustrasi/ist
ilustrasi/ist
RMOL.Hampir tiga bulan mengusut kasus pencurian pulsa, polisi tak kunjung menemukan tersangka skandal tersebut.
Untuk membongkar sindikat yang doyan menyedot pulsa peÂlanggan ini, kepolisian telah meÂmeriksa sedikitnya 29 saksi. Saksi-saksi itu antara lain, tujuh orang dari PT Telkomsel, dua dari content provider dan satu orang dari teleperformance outÂsourÂcing Telkomsel.
Saksi lain yang dikorek keteÂrangannya berasal dari pihak pelapor, keluarga pelapor, dari YaÂyasan Lembaga Konsumen InÂdonesia (YLKI), seorang warÂtaÂwan Jak-TV serta tiga saksi ahli. Tiga saksi ahli itu yakni, dari SubÂdit Perijinan dan Pengumpulan DiÂrektorat Pengumpulan dan PeÂngolahan Sumber Dana Bantuan SoÂsial Kemensos, dari Badan Regulasi Telekomunikasi IndoÂnesia (BRTI) dan dari Satuan Cybercrime Polri.
Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum) Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar meÂnyatakan, kepolisian tidak bisa terÂburu-buru menyimpulkan kaÂsus ini. Soalnya, lanjut Boy, diÂperÂlukan analisis yang mendalam untuk menentukan siapa yang patut diduga bersalah dalam kasus ini.
Belum adanya penetapan status tersangka, menurut Boy, bukan berÂarti kepolisian takut menindak piÂhak-pihak yang diduga bersalah daÂlam perkara pencurian pulsa konÂsumen tersebut. “Kami masih meÂlakukan pengumpulan barang bukti,†alasan bekas Kepala Bidang Humas (Kabidhumas) Polda Metro Jaya ini.
Pengumpulan barang bukti dan pemeriksaan saksi-saksi tersebut, lanjut Boy, sampai kemarin masih berlanjut. Akan tetapi, dia enggan memberikan rincian seputar hasil pemeriksaan saksi-saksi itu. Dia beralasan, substansi pemeriksaan saksi-saksi meruÂpakan kompetensi penyidik. Tapi, Boy yakin, penyelidikan kasus ini berjalan sesuai koridor yang ada.
Apalagi, ingat Boy, penangaÂnan kasus tersebut dipantau seÂcara ketat oleh Panitia Kerja (Panja) Mafia Pulsa di DPR. “Rekomendasi Panja menjadi masukan bagi para penyidik untuk mengusut kasus ini sampai tuntas,†kata dia.
Namun, Ketua Panja Mafia Pulsa Tantowi Yahya sepertinya sudah tidak sabar melihat polisi belum juga menetapkan tersangÂka kasus ini. Dia meminta kepoÂlisian segera menindak para peÂlaku pencurian pulsa itu. Tantowi menduga, sindikat pencurian pulsa melibatkan beberapa keÂlompok, termasuk operator telekomunikasi.
Menanggapi hal tersebut, Boy menyatakan, kepolisian sudah mengantongi modus operandi pencurian pulsa ini. Menurut dia, modus pencurian pulsa yang diduga dilakukan content proviÂder, termasuk kejahatan teknologi yang terbilang baru. Lantaran itu, dia beralasan, kepolisian tidak bisa gegabah menentukan siapa saja yang patut ditetapkan seÂbagai tersangka kasus ini.
Saat ini, menurut Boy, tim dari Satuan Cyber Crime Polri masih mengumpulkan bukti-bukti tentang penyalahgunaan di sektor tersebut.
Selain mengkonfrontir keteÂrangan saksi-saksi dan meÂngumÂpulkan barang bukti, kepolisian mengingatkan pengguna telepon seluler agar selalu waspada menanggapi berbagai penawaran melalui layanan pesan singkat atau SMS.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Sutarman juga menyamÂpaikan, kasus pencurian pulsa termasuk kategori tindak pidana. LanÂtaran itu, dia memastikan bahÂwa anak buahnya tengah memÂproses kasus ini. “Semua pihak yang diduga terkait perÂsoalan ini sudah kami mintai keterangan,†ujarnya.
Akan tetapi, tambah Sutarman, kepolisian masih perlu waktu ekstra untuk menentukan siapa saja yang layak menjadi terÂsangÂka kasus tersebut. “Prosesnya jalan terus,†kata bekas Kapolda Metro Jaya ini.
Dilaporkan Konsumen 4 Oktober 2011
Reka Ulang
Kasus pencurian pulsa, pertaÂma kali dilaporkan konsumen berÂnama Feri Kuntoro. Dia meÂngaÂdu ke Markas Polda Metro JaÂya pada 4 Oktober 2011.
Feri merasa sangat dirugikan kaÂÂrena harus membayar tagihan pasÂÂca bayar hingga ratusan ribu ruÂÂpiah setelah registrasi undian berÂÂhadiah melalui SMS premium ke nomor 9133. Registrasi itu terÂnyata menjerat Feri. Dia sering meÂÂnerima pesan pendek berupa inÂÂformasi seputar artis dan nada deÂring. Setiap kali menerima peÂsan pendek dari nomor tersebut, pulsa Feri terpotong tanpa perÂsetujuan.
Feri mengaku telah berusaha meÂnghentikan layanan SMS deÂngan mengetik unreg dan meÂngirimkannya ke nomor tersebut. Akan tetapi, usahanya itu selalu gaÂgal dan ia hanya mendapat jaÂwaban “Maaf, sistem sedang berÂmasalah, silakan ulangi lagiâ€.
Lantaran terus-menerus menÂdaÂpatkan jawaban senada, Feri keÂmudian mengadukan masalah ini ke Grapari di Gambir, Jakarta PuÂsat. Namun, kata dia, jawaban peÂtugas di sana kurang meÂmuaskan. Akhirnya, Feri melaÂporkan kasus tersebut ke Markas Polda Metro Jaya.
Ironisnya, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq yang ikut meÂnangani kasus pencurian pulsa ini, namanya dicatut untuk meÂmeras pihak salah satu content proÂvider (CP). Uang itu, kata si peÂmeras, agar nama pihak CP itu tidak disebut-sebut dalam Panja Mafia Pulsa DPR.
Mahfudz menambahkan, jika benar ada pemerasan oleh Jihan, maka nama baiknya bisa terceÂmar. “Kalau ketemu, saya suruh yang namanya Jihan itu untuk meÂminta maaf, kembalikan uangÂnya. Kalau memang benar meÂmeras, saya akan laporkan dia ke polisi. Saya sedang cari tahu, siapa Jihan itu,†kata anggota DPR dari Fraksi PKS itu pada 6 Desember lalu.
Aksi pemerasan tersebut diÂungÂÂkapkan Haryo Wir, salah seÂorang anggota asosiasi content proÂvider. Dia menyebutkan bahÂwa seÂseorang yang mengaku berÂnama Mahfudz Siddiq meÂminÂta uang Rp 75 juta. Uang ini, dimaksudkan agar Panja Mafia Pulsa tidak mempermasalahkan keÂberadaan content provider tersebut.
Mahfudz menambahkan, orang yang mengaku dirinya itu mÂeÂminta uang sebanyak Rp 75 juta kaÂrena ada keperluan.
“Dia memberikan nomor reÂkening atas nama Jihan, di salah satu bank. Kalau sudah dikirim, katanya aman. Nah, si Jihan ini yang lagi kami cari siapa,†kata Mahfudz.
Aspek Politis Sering Diperlukan
Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa meÂngÂingatkan kepolisian agar tidak mengabaikan rekomendasi PaÂnitia Kerja (Panja) Mafia Pulsa unÂtuk menetapkan, siapa saja terÂsangka kasus pencurian pulÂsa konsumen ini.
Sebab, menurut Desmon, asÂpek politis dalam proses peÂnegakan hukum, seringkali diÂperlukan untuk menyingkap dan menangani suatu perkara samÂpai tuntas.
Desmon pun menegaskan, pada prinsipnya, pembentukan Panja Mafia Pulsa dipiÂcu adaÂnya kelemahan dalam meÂninÂdaklanjuti perkara tersebut. ApaÂlagi, dia meyakini, kasus maÂfia pulsa berdampak langÂsung terhadap masyarakat luas. “Jumlah kerugian yang besar serÂta melibatkan berbagai unsur maÂsyarakat, membuat DPR meÂrasa perlu ikut ambil bagian meÂnyelesaikan persoalan ini,†ujarnya.
Dia menambahkan, reÂkoÂmenÂdasi Panja Mafia Pulsa DPR yang disampaikan kepada keÂpolisian, didapat melalui proÂses beragam. Ada pengÂhimÂpunan keterangan saksi-saksi, ada pula yang didapat lewat inÂvestigasi.
Nah, kata Desmon, semua reÂkoÂmendasi yang bersifat politis terÂsebut, mesti diformulasi keÂpolisian menjadi bahan peÂnyeÂlidikan dan penyidikan. Dari situ, dia menegaskan, ujung peÂnÂanganan perkara ini harus menjadi jelas. “Kepolisian tidak perÂlu ragu-ragu untuk meÂnetapkan status tersangka atau sebaliknya,†tandas politisi dari Partai Gerindra ini.
Tapi, dia menambahkan, kehati-hatian polisi menentukan arah penyelidikan dan penyiÂdiÂkan kasus ini, bisa dibaca bahwa korps baju coklat itu tidak serampangan. Berlarutnya penetapan status tersangka kasus ini, menurutnya, bisa jadi dipicu masih minimnya alat bukti.
“Dengan begitu, koordiÂnasi kepolisian dengan Panja perlu ditingkatkan,†ujarnya.
Rekomendasi Politis Kerap Jadi Ganjalan
Asfinawati, Bekas Ketua YLBHI
Bekas Ketua YLBHI AsfiÂnawati mengingatkan keÂpoÂlisian agar penetapan status terÂsangka kasus mafia pulsa, tidak diÂjadikan bargaining pihak-piÂhak tertentu.
Artinya, penetapan staÂtus tersangka harus berÂlanÂdaskan bukti dan dasar hukum yang jelas. Bukan dilatari keÂpenÂtingan politis tertentu.
“Idealnya, penetapan status tersangka dilatari dua alat bukti. Jika sudah ada dua alat bukti yang cukup, penetapan status tersangka tidak perlu diulur-ulur,†tegasnya.
Dia menilai, ditilik dari proÂses pengusutan di kepolisian, kasus ini tampaknya sudah ditangani secara proporsional. Saksi-saksi yang dimintai keterangan sudah cukup baÂnyak, lanjut Asfinawati, meÂnunjukkan bahwa kepolisian puÂnya komitmen untuk meÂnyeÂlesaikan kasus ini.
Akan tetapi, Asfinawati menambahkan, saat ini tinggal keÂberanian polisi untuk meÂnentukan sikap. “Apakah seÂgera menentukan tersangka kaÂsus ini, atau justru sebaliknya,†kata dia.
Menurut Asfinawati, disadari atau tidak, rekomendasi politik dari DPR kerap menjadi ganÂjalan. Seringkali, pertimbangan penyidik dalam memutuskan perkara jadi terpengaruh rekoÂmenÂdasi politis tersebut. “SeÂharusnya ini tidak boleh terjadi. Soalnya, penyidik punya komÂpetensi penuh untuk menenÂtukan arah penyidikan,†tanÂdasnya.
Jangan sampai, kata AsÂfiÂnawati, kewenangan penuh penyidik dalam mengusut suatu perkara menjadi terÂpengaruh tenÂdensi politik. Jika itu yang terjadi, dia khawatir, penguÂsutan perkara hukum menjadi manÂdek karena terÂkesan meÂmihak kepentingan tertentu. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32
Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59