Berita

WAWANCARA

Belanda Masih Perlakukan Indonesia seperti "Anak Haram"

SELASA, 29 NOVEMBER 2011 | 09:59 WIB | LAPORAN:

PENGADILAN Sipil Negeri Belanda memutuskan pemerintah negara itu bersalah dalam peristiwa pembantaian di Rawagede, 9 Desember 1947 silam. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar ganti rugi termasuk kepada korban dan janda korban yang masih hidup hingga kini.

Tanggal 9 Desember mendatang, kasus berhubung dengan putusan pengadilan sipil Belanda di Den Haag yang memenangkan sebagian tuntutan beberapa janda dari Desa Rawagede, dan berkenaan dengan akan digelarnya acara peringatan 64 tahun peristiwa pembantaian penduduk Rawagede pada tanggal 9 Desember mendatang di Rengasdengklok, Jawa Barat, Rakyat Merdeka Online berkesempatan mewawancarai Ketua KNPMBI (Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia) dan KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda) Batara Hutagalung, Selasa (29/11).

Berikut ini wawancara selengkapnya.

Anda adalah Ketua Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan juga Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Apa maksud/tujuan didirikannya dua organisasi tersebut.

Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) didirikan pada 8 Maret 2002 oleh 10 organisasi. Lingkup kegiatan KNPMBI sangat luas, yaitu semua yang sehubungan dengan MARTABAT BANGSA, tidak terbatas untuk masalah dengan Belanda saja. Untuk menindaklanjuti hal-hal yang sehubungan dengan Belanda, pada 5 Mei 2005, bertempat di Gedung Joang ’45, para aktivis KNPMBI meresmikan wadah baru, yaitu Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Pengurusnya indentik dengan pengurus KNPMBI. Sebagian terbesar kegiatan KNPMBI dan KUKB diselenggarakan di Gedung Joang ’45.

Mengapa memilih Gedung Joang '45?

Sebagaimana kita ketahui, Gedung Joang ‘45 sejak akhir Agustus 1945 merupakan salah satu pusat pergerakan pemuda. Pada 18 Desember 2005, dalam kunjungan ke Belanda, saya meresmikan KUKB Cabang Belanda, dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua serta Charles Suryandi sebagai Sekretaris. Tahun 2006, KUKB Cabang Belanda menjadi Yayasan KUKB. Bapak Abdul Irsan SH., anggota Dewan Penasihat KUKB, yang juga mantan Duta Besar RI untuk Belanda, memberi sumbangan 1000 US $ untuk biaya mendirikan Yayasan KUKB, dan untuk membayar pengacara di Belanda yang akan mewakili para janda korban Rawagede menuntut pemerintah Belanda di pengadilan di Belanda.

Bisa Anda jelaskan kegiatan KUKB?

Tujuan utama KNPMBI dan KUKB adalah menuntut pemerintah Belanda untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, pada 20 Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan KNPMBI, KUKB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk, pertama, mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Kedua, meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1950.

Sedangkan tuntutan untuk memberikan kompensasi kepada para korban agresi militer Belanda adalah tuntutan tambahan atas dua tuntutan utama tersebut. Tuntutan ini tidak terbatas pada korban di Rawagede, melainkan seluruh korban agresi militer Belanda antara tahun 1945-1950.

Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai permasalahan yang ada antara bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda, sejak tahun 2002, KNPMBI dan kemudian KUKB menyelenggarakan berbagai seminar, diskusi dan bahkan beberapa kali KNPMBI/KUKB melakukan unjuk rasa di kedutaan Belanda di Jakarta. Sejak tahun 2005, kami juga selalu mengikutsertakan para janda dan korban yang selamat dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

Bersama Ketua Dewan Penasihat KNPMBI/KUKB, Mulyo Wibisono SH., MSc, saya tiga kali ke Belanda dan bertemu dengan beberapa anggota parlemen Belanda serta tokoh-tokoh masyarakat Belanda yang bersimpati kepada Indonesia untuk melobi mereka agar memberi dukungan terhadap tuntutan kami. Pendekatan ini ternyata berhasil. Mereka memberi dukungan, baik dalam membawakan permasalahan ini ke sidang pleno di parlemen Belanda, maupun menyampaikan pernyataan-pernyataan tertulis yang dimuat di media-media ternama di Belanda, seperti NRC Handelsblad.

Apa arti penting putusan pengadilan sipil Belanda di Den Haag yang memenangkan sebagian tuntutan beberapa janda dari desa Rawagede?

Pada 14 September 2011, tampaknya banyak kalangan di Indonesia dan di Belanda yang terkejut membaca atau mendengar berita mengenai putusan pengadilan sipil di Den Haag, yang memenangkan sebagian tuntutan beberapa janda dari Desa Rawagede terhadap pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda diputuskan bersalah dan bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana pada waktu itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa tersebut tanpa proses. Oleh karena itu pengadilan memutuskan, pemerintah Belanda harus memberi kompensasi kepada 9 janda korban yang masih hidup dan kepada Sa’ih bin Sarkam, seorang korban yang selamat terakhir dari pembantaian tersebut.

Sangat disayangkan, bahwa pemerintah Belanda kelihatannya sengaja mengulur waktu dan menunggu sampai semua penuntut meninggal, karena berdasarkan putusan pengadilan, kompensasi hanya diberikan kepada janda korban yang masih hidup dan tidak berlaku bagi ahli waris. Dari 9 orang yang menuntut, tiga orang telah meninggal, termasuk Sa’ih bin Sakam, meninggal dunia pada 7 Mei 2011 dalam usia 88 tahun.

Hal terpenting pertama, yang harus dibaca dalam putusan ini adalah: Pemerintah Belanda dinyatakan bersalah atas pembantaian penduduk sipil! Mengenai jumlahnya, tidaklah signifikan, apakah itu “hanya” sekitar 200 orang menurut versi Belanda, atau 431, menurut catatan pihak Indonesia, karena putusannya akan tetap sama, apakah membantai 200 orang atau 431 orang.

Demikian juga untuk yang akan datang, apabila kita mengajukan tuntutan atas pembantaian penduduk sipil di Sulawesi Selatan, yang dilakukan oleh Westerling dan anak-buahnya.

Jumlahnya juga tidak perlu diperdebatkan, apakah 40.000 seperti versi Indonesia, ataukah “hanya” 3.000 seperti dalam laporan resmi pemerintah Belanda tahun 1969, yang dinamakan De Excessennota, karena walaupun “hanya” 3000 orang, itu tetap pembantaian massal penduduk sipil yang melanggar konvensi Jenewa, yaitu perlindungan terhadap penduduk sipil dalam suatu peperangan. Hal terpenting kedua adalah, bahwa terbukti, untuk peristiwa pembantaian penduduk sipil di masa perang, tidak ada kadaluarsanya. Setelah lebih dari 60 tahun, masih tetap dapat dibuka kembali. Juga walaupun pemerintah Indonesia tidak mau memperjuangkan hak-hak dan kepentingan rakyatnya, keluarga korban secara individual masih tetap dapat menggugat.

Sebagai contoh, pada bulan Oktober 2009, seorang mantan tentara Jerman, Heinrich Boere yang berusia 88 tahun, ditangkap dan dimajukan ke pengadilan.

Pada bulan Februari 2010 dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, karena terbukti pada tahun 1944, berarti 66 tahun sebelumnya, telah membunuh tiga penduduk sipil di Belanda, Fritz Bicknese, Teunis de Groot dan Frans-Willem Kuster. Selain Heinrich Boere, juga tahun 2009 Ivan Nikolayevich Demjanjuk (John Demjanjuk), 89 tahun, dimajukan ke pengadilan atas tuntutan  ikut membantu pembantaian terhadap 29.000 tahanan di penjara di Treblinka dan Sobibor yang dilakukan oleh tentara Jerman. Pada waktu itu, Demjanuk antara tahun 1942-1943 bertugas sebagai pengawas di penjara-penjara tersebut.

Namun putusan pengadilan di Belanda ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa tentara Belanda pada waktu itu dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap warganya sendiri dan bukan terhadap warga Indonesia, karena baik pemerintah maupun pengadilan Belanda tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, oleh karena itu, sampai tahun 1949 bagi pemerintah Belanda, Indonesia tetap merupakan bagian dari Belanda. Dalam pertimbangan putusannya pengadilan sipil di Belanda menyebut hal ini sebagai “fakta".

Tapi kemerdekaan Indonesia kan telah diploklamirkan Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Pendapat Anda?

Sejarah mencatat, pada 27 Desember 1949, sebagai hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), didirikan Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia merupakan satu dari 16 negara bagian RIS. Namun kemudian satu persatu dari 15 negara bagian tersebut dibubarkan atau membubarkan diri, dan pada 16 Agustus 1950 RIS dibubarkan.

Pada 17 Agustus 1950, Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945. Namun pemerintah Belanda tidak mau mengakui hal ini. Bagi pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan RI tetap 27 Desember 1949, yang dianggap Belanda sebagai “hadiah” dari Belanda.  

Di Indonesia tidak banyak yang mengetahui, bahwa hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap menolak untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945.  

Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima (aanvarding) proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis, alias hanya de facto. Pernyataan ini seharusnya mengejutkan pemerintah dan rakyat Indonesia, karena pernyataan ini mengungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak eksis sama sekali, dan baru mulai tangal 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda “menerima eksistensi” Republik Indonesia.

Dengan hanya diterima eksistensinya namun tidak diakui legalitasnya, maka pemerintah Belanda menganggap NKRI adalah “Anak Haram.”  

Bagaimana pandangan Anda tentang apa yang disebut aksi polisional ke I dan ke-II yang dilakukan oleh Belanda?

Di sinilah letak inti permasalahan bagi pemerintah Belanda. Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945, maka dengan demikian, yang dinamakan “aksi polisional” oleh Belanda, adalah agresi militer terhadap suatu negara merdeka dan berdaulat! Pemerintah Indonesia dapat mengajukan tuntutan pampasan perang, seperti terhadap Jepang. Selain itu tentara Belanda menjadi penjahat perang. Hal inilah yang paling ditakuti oleh para veteran Belanda.

Menurut para aktivis KNPMBI/KUKB, masalah pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, adalah masalah harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Dengan tidak diakuinya proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Pemerintah Belanda, berarti Pemerintah Belanda sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Apabila membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka ini merupakan pengkhianatan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan pilar utama bangsa Indonesia, dan menyia-nyiakan pengorbanan ratusan ribu rakyat Indonesia yang gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Alasan pemerintah Belanda ketika melancarkan “aksi polisional” adalah untuk membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang, guna memulihkan kembali “law and order.” Dengan membiarkan sikap pemerintah Belanda, maka berarti tetap membiarkan pandangan, bahwa para pejuang dan pahlawan Indonesia yang dimakamkan di berbagai Taman Makam Pahlawan di Indonesia, adalah para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang.

Apa kegiatan KNPMBI selanjutnya?  

Kami akan mengumpulkan data-data mengenai berbagai peristiwa kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945-1950, terutama pembantaian di Sulawesi Selatan dan Kranggan, dekat Temanggung.

Dalam kesempatan ini, kami menghimbau tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk membantu dalam pengumpulan data-data tersebut, untuk kemudian dibawa ke Belanda, seperti yang telah kami lakukan dengan Rawagede. Ini memerlukan waktu dan dana yang sangat besar. Silakan masing-masing daerah membentuk tim pencari data dan fakta.

Tujuan utama kegiatan KNPMBI dan KUKB adalah menuntut pemerintah Belanda untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. oleh karena itu, fokus kegiatan tetap pada tuntutan utama ini. Kami telah bertemu dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen TNI. (Purn.) Tubagus Hasanuddin, yang secara pribadi mendukung tuntutan kami. Juga kami telah bertemu dengan Direktur Jenderal Bidang Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negri RI, A.M. Fachir, dan telah menyampaikan surat resmi untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa. Namun hingga saat ini, kami belum menerima jawabannya.[guh]


Populer

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bahlil: Jangan Uji NYali, Kita Nothing To Lose

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:44

Bukan AI Tapi Non-Human

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:43

Usai Dicopot Ketua Golkar Sumut, Ijeck Belum Komunikasi dengan Doli

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:12

Exynos 2600 Dirilis, Chip Smartphone 2nm Pertama di Dunia

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:52

Akui Kecewa Dicopot dari Ketua DPD Golkar Sumut, Ijeck: Mau Apalagi? Kita Terima

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:42

Bahlil Sentil Senior Golkar: Jangan Terlalu Lama Merasa Jadi Ketua Umum

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:22

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Sekretaris Golkar Sumut Mundur, Ijeck Apresiasi Kesetiaan Kader

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:06

Dana Asing Banjiri RI Rp240 Miliar Selama Sepekan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:01

Garda Satu dan Pemkab Tangerang Luncurkan SPPG Tipar Raya Jambe

Sabtu, 20 Desember 2025 | 13:38

Selengkapnya