RMOL. Kemelut fiskal negara pinggiran Eropa tak urung membuat nilai tukar di seluruh penjuru dunia bergerak liar, rupiah juga terkena imbasnya. Dunia usaha bisa dibuat pusing akibat ketidakpastian ini hingga harus berkenalan dengan instrumen lindungi nilai (hedging). Tulisan ini akan sedikit mengulasnya.
Di pasar domestik, penjualan saham dan SUN oleh asing akhir-akhir ini, mendorong kejatuhan indeks cukup dalam. Rupiah hasil likuidasi dikonversikan ke valas melalui pembelian USD di pasar spot hingga rupiah mengalami tekanan depresiasi cukup kuat. Pergerakan nilai tukar, saham, dan SUN, membentuk pola yang seragam antar negara (across the board) antara pilihan aset emerging market (risk on) atau aset USD sebagai safe haven (risk off). Fluktuasi dan ketidakpastian menjadi ciri yang melekat pada pergerakan harga aset keuangan.
Ketidakpastian kursBagi perusahaan domestik yang bergerak di sektor riil, fluktuasi tersebut
menyulitkan kalkulasi bisnis. Untuk mengurangi risiko ketidakpastian, perlu
kesadaran oleh dunia usaha mengenai pentingnya instrumen lindung nilai (
hedging) untuk melindungi kewajiban dalam valas. Kesamaan pandang mengenai transaksi tersebut diperlukan oleh beberapa lembaga pendukung seperti auditor, aparat hukum, dan sisi pencatatan akunting.
Sejalan meningkatnya pemahaman terhadap instrumen lindung nilai (hedging), stigma transaksi derivatif mulai berkurang. Kesadaran mulai tumbuh sejalan peningkatan transaksi secara bertahap. Sebagai contoh untuk menghindari harga USD yang semakin mahal, importir dapat membeli USD forward (berjangka) untuk pembayaran impor yang akan jatuh waktu.
Di sisi lain, eksportir dapat berperan sebagai penjual USD dari devisa ekspor yang dijual secara berjangka (
forward). Penjual forward dapat pula bank atau pihak lain yang berani menyerap risiko nilai tukar kedepan. Sisi regulasi saat ini memitigasi transaksi derivatif yang dimanfaatkan sebagai sebagai instrumen spekulatif.
Transaksi derivatif tertinggal Dibandingkan negara emerging market lain, perkembangan transaksi derivatif di pasar domestik masih cenderung tertinggal. Pelaku pasar cenderung tidak menggunakan instrumen lindung nilai, melainkan dengan menyesuaikan aset dan kewajiban valas dalam neraca. Penyebab transaksi derivatif kurang berkembang utamanya adalah pandangan auditor, perangkat hukum, dan pencatatan akunting yang umumnya melihat sisi spekulatif transaksi derivatif.
Dari sisi pricing, premi forward bermanfaat mengindikasikan ekspektasi pelaku pasar dalam melihat arah kurs kedepan. Semakin tinggi ekspektasi harga USD, semakin tinggi premi forward dibebankan oleh penjual, demikian pula sebaliknya. Faktor likuiditas ikut menjadi pemicu mahalnya premi forward khususnya pada saat terjadi kelangkaan penjual USD forward.
Berkembangnya transaksi hedging secara sehat diperlukan dunia usaha untuk mengurangi risiko kurs. Kemampuan perusahaan dalam mengakses transaksi hedging diharapkanmeningkatkan daya tahan perusahaan domestik terhadap gejolak nilai tukar. Dalam hal ini, efisiensi perbankan diperlukan agar dunia usaha dapat mengakses instrumen hedging dengan biaya premi yang kompetitif.
*) Analis Keuangan Bank Indonesia