RMOL. Bermodalkan kaca mata menyelam dan selang, seorang penambang nyebur ke laut di kawasan Sungailiat, Bangka Belitung.
Selang dihubungkan ke komÂpresor yang memompakan udara terus menerus. Dengan alat bantu napas ini, penambang bertahan di bawah air sampai berjam-jam.
Bahaya keracunan gas karÂbonÂdioksida (CO) maupun dekomÂpreÂsi tak menciutkan nyali. PeÂnamÂbang terus mengaduk-aduk dasar laut demi segenggam pasir timah. Aktivitas penambangan liar (illegal mining) seperti ini sudah berlangsung belasan tahun. Disebut liar, lantaran tak meÂngantongi izin.
“Inilah Bangka. Kalau kata orang di Bangka ini di bawah kaki kita duit. Di bawah badan kita duit. Apa artinya? Kita berÂdiri di bawah ada timah. Kita tiÂdur di bawah ada timah,†ucap Mahdi (40), satu dari puluhan peÂnambang liar di daerah SungaiÂliat, Bangka Belitung.
Mahdi dan dua rekannya setiap hari melakukan pekerjaan itu dari pagi sampai sore hari. Penuh riÂsiko dan itu disadari berbahaya.
“Kita tukar pikiran saja, kata orang illegal. Kita ini kayak orang kawin siri. Menurut agama sah, menurut pemerintah tidak sah kan. Katanya illegal, tapi kan kita nggak nyolong. Kalau kita kerja kan semua ada risikonya, baik di darat, di laut dan di udaÂra,†terang Mahdi.
Pendapat itu diangguki penamÂbang liar lainnya, Samsiar. Ia menganggap kebutuhan hidup di Bangka relatif tinggi. Dengan meÂnambang timah, Samsiar bisa menghidupi keluarga dan memÂbaÂngun rumah yang nyaman.
“Kalau dulu itu susah, kerja seÂraÂbutan. Kan anak sekarang suÂdah besar-besar. Kadang kerja, kaÂdang nggak. Kalau jadi supir, dapat berapa sehari? Cuma Rp 30 ribu. Semenjak ada TI (tambang ilegal) ini berubah hidup. Rumah aja dulu pakai kayu, sekarang pakai beton, biarpun kecil.â€
Lain lagi komentar Rifky. LeÂlaki tanggung itu bilang, kebaÂnyaÂkan masyarakat di bumi LasÂkar Pelangi ini berdalih peÂnamÂbangan tanpa izin itu sah. MaÂsyaÂrarakat menganggap PT Timah—perusahaan negara yang mendaÂpat konsesi melakukan penamÂbaÂngan di Bangka—tak berÂkonÂtrÂiÂbuÂsi terhadap urusan ‘perut’ mereka.
Ini diperparah lagi dengan isu yang diembuskan bahwa perusÂaÂhaan itulah yang merusak lingÂkuÂngan di sini karena aktivitas penambangannya.
“Apakah masyarakat tidak melihat para penambang, peÂnamÂpung timah ilegal yang hanya bisa memperkaya diri sendiri tanÂpa melihat dampak ke depan unÂtuk anak cucu kita nanti. Terus teÂrang, saya ‘anak timah’. Dari muÂlai SMA dibayarin sampai lulus, dikasih buku,†tutur Rifky.
Dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata digambarkan kesiÂbukan masyarakat berangkat ke area penambangan saat pagi hari. Kondisi ini tak jauh berbeda di lapangan. Begitu banyak penÂdÂuÂduk yang menjalani pekerjaan seÂbagai penambang, sehingga puÂsat-pusat kota di Bangka dan BeÂlitung terlihat lengang pada jam kerja. Praktis, tidak banyak keÂgiatan perkantoran di Babel.
Jalanan yang luas dan mulus tampak lengang. Kalau pun ada keÂramaian, lebih terpusat pada ruang-ruang belajar dan publik, seÂperti sekolahan. Lebih dari 50 perÂsen masyarakat Babel mengÂganÂtungkan hidup dari menambang.
Karena hanya mengandalkan timah sebagai sandaran hidup, maÂsyarakat berlomba untuk mengkavling wilayah penamÂbangan. Bahkan sebagian tidak peduli bahwa area yang mereka tamÂbang merupakan lahan PT Timah.
Selain menyerobot lahan dan merusak lingkungan, penamÂbaÂngan liar mengganggu bisnis peÂruÂsahaan negara itu. Padahal, PT Timah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) di Babel.
“Bisa dibayangkan, sekarang ini total produksi PT Timah kalah dari total timah yang ditambang oleh tambang inkonvensional,†keÂluh Direktur Utama PT Timah, Wachid Usman. Tambang inkonÂvenÂsional yang dimaksudnya adalah penambang yang tak meÂmiliki izin.
Menurut Wachid, para penamÂbang liar biasa beroperasi di wiÂlayah usaha pertambangan milik PT Timah, baik yang sudah diolah maupun lahan reklamasi.
Tak sulit untuk menemukan jejak penambang liar di lahan yang telah direklamasi. Para peÂnambang meninggalkan banyak lubang bekas penggalian.
“Namun akhirnya, PT Timah yang disalahkan, karena lubang-lubang menganga yang ditingÂgalÂkan para penambang ilegal beÂraÂda di wilayah pertambangan kami,†tutur Wachid.
Menjamurnya penambang ilegal karena difasilitasi smelter atau peleburan timah milik peÂngusaha-pengusaha yang tidak memiliki IUP.
“Para pengusaha ilegal akan menampung timah-timah dari para penambang liar dan menÂjualÂnya ke luar negeri. Total proÂduksi dari aktivitas itu kemudian melebihi jumlah yang dihasilkan PT Timah,†jelas Wachid.
Keluarnya timah Bangka meÂlaÂlui smelter itu sudah berÂlangÂsung menahun. Dampak dahÂsyatnya, kata Wachid, Indonesia tak bisa mengendalikan harga internasional walaupun menyupÂlai 50 persen timah dunia.
Negara-negara seperti MalayÂsia, Singapura dan Thailand yang seÂcara geografis bukanlah pengÂhasil timah justru berperan dalam menentukan harga timah dunia.
“Kita tak berdaya mengontrol timah di pasar internasional, kaÂrena terlalu banyak penyeÂlunÂduÂpan,†jelasnya.
Maraknya penyelundupan memunculkan kesepakatan para produsen timah di Bangka untuk menerbitkan kebijakan moraÂtorium ekspor.
Meski menuai kontroversi, moÂratorium dipertahankan sampai akhir tahun. Sebab tujuannya untuk menaikkan posisi tawar Indonesia di pasar timah interÂÂnasional.
Hentikan Ekspor Buat Kerek Harga
Untuk menekan penyelunÂduÂpan timah ke luar negeri, PT TiÂmah mengusulkan adanya ekspor satu pintu. Namun usulan itu langÂsung mendapat reaksi dari para pemilik smelter.
Para pengusaha yang seÂlama ini dianggap berperan besar daÂlam keluarnya timah dari Bangka Belitung secara tak sah itu menuduh usulan ini akal-akalan PT Timah untuk menguasai perÂÂdagangan timah.
Kepala Humas PT Timah, Wirtsa Firdaus mengatakan tudingan pengusaha smelter itu tidak meÂmiliki dasar. “Mengapa harus mencurigai PT Timah. Mereka seharusnya mencurigai negara teÂtangga, seperti MalayÂsia dan SiÂngapura yang terus memÂbanjiri paÂsar timah dunia dengan merek daÂgang mereka,†kata Wirtsa.
Menurutnya, gagasan untuk melakukan ekspor timah satu pintu berkembang begitu saja di kalangan produsen timah di Bangka Belitung. Para produsen itu juga sepakat untuk moraÂtorium ekspor.
“Dalam kesepakatan moraÂtoÂrium tersebut juga disepakati bahwa PT Timah yang terikat dengan sejumlah pembeli di luar negeri sebelum adanya moraÂtoÂrium tetap diperkenankan melaÂkuÂkan ekspor. Karena dianggap meÂnyangkut harkat dan martabat bangsa,†jelas Wirtsa.
Moratorium terbukti mampu mengerek kembali harga timah, sehingga berada pada kisaran yang lebih ekonomis. Karena terÂbukti mampu menginterÂvenÂsi harga timah di pasar interÂnaÂsioÂnal, moratorium diikuti usuÂlan membuat sistem yang perÂmanen guna mengatur suplai timah.
SeÂlain mengendalikan suplai, keÂhadiran sistem ekspor satu pintu ini bisa menjadi alternatif untuk meÂngikis penyelundupan dan eksÂpor balok timah berkadar rendah.
Selama ini, balok timah berÂkaÂdar rendah yang masuk ke negara tetangga, seperti Malaysia dan SiÂngapura diolah menjadi timah berÂstandar tinggi dan dijual deÂngan merek dagang mereka. Hal ini jelas sangat merugikan.
“Selain rendahnya royalti yang diperoleh negara karena balok timah berkadar rendah dan tak berÂmerek dihargai rendah. Juga membuat pasar kelebihan suplai timah,†tegas Wirtsa.
Melalui ekspor satu pintu, Indonesia yang tercatat sebagai produsen sekaligus eksportir tiÂmah terbesar di dunia, bisa meÂngendalikan harga di pasar timah internasional atau London Metal Exchange.
“Ini adalah ide bersama, dari sesama produsen timah. Tinggal dibahas bagaimana mekanisme untuk melaksanakannya. Jadi jangan asal tuding. Kan dengan satu pintu kita bisa mengenÂdaÂlikan suplai yang selama ini jadi biang kerok melorotnya harga timah,†tandas Wirtsa.
Berharap Menteri BUMN Turun Tangan
Penghentian sementara ekspor timah diberlakukan samÂpai akhir tahun. MoratoÂrium ini bertujuan supaya harga timah dunia kembali normal di angka 27.754 dolar AS per metrik ton.
Beberapa pihak menganggap moratorium ini akan menjadi blunder. Namun PT Timah yang menguasai produksi timah dalam negeri yakin moratorium solusi ampuh menormalkan lagi harga di pasar dunia.
“(Moratorium) ini kan seÂmentara sampai akhir tahun. Ini kan kesepakatan dan kami meÂnghormati kesepakatan itu,†ujar Direktur Utama Timah, Wachid Usman.
Menurut dia, ada dua jenis ekspor yang terkena moraÂtoÂrium, yaitu pembelian langsung dan perjanjian kontrak. Meski ada moratorium, WacÂhid meneÂgaskan pihaknya maÂsih melÂaÂkuÂkan ekspor untuk pemÂbeli yang sudah terikat kontrak.
“Timah masih mendapatkan kesempatan untuk melayani kontrak kepada pelanggan samÂpai akhir tahun ini sebesar deÂlaÂpan ribu ton,†tegasnya.
Dengan moratorium ini, stok di London Metal Exchange (LME) yang merupakan pasar tiÂmah dunia akan menurun. SeÂiring dengan menurunnya stok di LME, sebagai pemasok tiÂmah terbesar dunia, posisi IndoÂnesia akan sangat strategis, terutama dalam menentukan harga. Namun moratorium akan menjadi sia-sia, kalau penyeÂlunÂdupan timah ke luar negeri maÂsih merajalela.
Selain Indonesia, ada bebeÂraÂpa negara yang menyuplai tiÂmah dunia. Ironisnya, beberapa neÂgara penyuplai itu mendÂaÂpatÂkan timah dari para penambang Indonesia.
Kondisi inilah yang menjadi bahasan para produsen timah di Bangka Belitung, seÂhingÂga memunculkan gagasan melaÂkukan ekspor satu pintu.
Wachid menegaskan, penuÂruÂnan harga timah dipicu mengÂgilanya timah ilegal di pasar duÂnia, terutama dari Indonesia.
“Akhirnya suplai melebihi permintaan, sehingga prinsip dasar ekonomi berlaku yang mengakibatkan harga timah jatuh,†jelasnya.
Lantaran PT Timah adalah peÂrusahaan milik negara, WacÂhid berharap pemerintah ikut membantu mengatasi persoalan yang sekarang sedang dihadapi.
Dukungan dari pemerintah, terutama Menteri BUMN DahÂlan Iskan akan sangat memÂbantu PT Timah dalam meÂnyeÂlesaikan berbagai permasalahan yang dialaminya.
“Kita berharap, pemerintah ikut memikirkan bagaimana mengatasi masalah penyeÂlunÂdupan timah dan ilegal mining. Sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), PT Timah selama ini cukup akomodatif terÂÂhadap kepentingan warga Babel. Untuk itu perlu win-win solution untuk mengatasi ilegal mining,†kata Wachid. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35
UPDATE
Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:39
Jumat, 11 Oktober 2024 | 03:13
Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:49
Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:21
Jumat, 11 Oktober 2024 | 02:00
Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:47
Jumat, 11 Oktober 2024 | 01:30
Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:59
Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:38
Jumat, 11 Oktober 2024 | 00:17