Berita

Greenpeace

On The Spot

Markas Greenpeace Dipasang Pemindai dan Kamera CCTV

Muncul Desakan Mengevaluasi LSM Asing
JUMAT, 28 OKTOBER 2011 | 05:43 WIB

RMOL.Berbekal sapu lidi di tangan, seorang pria menyapu pekarangan sebuah bangunan di Jalan Kemang Utara Nomor 16B1, Jakarta Selatan. Daun-daun kering yang berguguran memenuhi lantai coneblok dikumpulkan ke dalam tong sampah.

Ketika Rakyat Merdeka me­nanyakan apakah benar di tempat ini LSM asing yang bergerak di­bidang lingkungan hidup Green­peace berkantor, pria itu de­ngan lugas membenarkannya di sertai anggukan kepala. “Si­lahkan ma­suk Mas. Ada satpam yang jaga di dalam,” ujarnya ramah.

Jika tidak memperhatikan de­ngan jeli, siapa saja yang pertama kali datang ke tempat ini akan sedikit pangling. Sebab, tak ter­li­hat tanda mencolok yang me­nan­dakan bangunan di kawasan elite ini merupakan markas Greenpeace.

Hanya terlihat sebuah plang kecil berukuran 100 x 50 cm di bagian kanan gerbang sebagai tanda. Plang bertuliskan “Green­peace, Southeast Asia Indonesia  Office” diletakkan di atas pagar. keberadaan plang ini sedikit ter­sa­markan rimbunnya dedaunan yang hampir menutupinya.

Seperti diketahui, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ber­janji akan menindak Green­peace Indonesia. Pasalnya Green­peace menerima kucuran dana asing tanpa seizin pemerintah Indonesia.

Greenpeace Indonesia meneri­ma dana miliaran rupiah dari Greenpeace Asia Tenggara. Infor­masi penerimaan dana ini di­umumkan dalam laporan ke­uangan Greenpeace di dua harian media massa nasional beberapa waktu lalu.

Selain menerima dana itu, Green­peace Indonesia juga ter­bukti mengangkangi hukum In­donesia. Pasalnya, LSM yang bermarkas di Belanda ini tidak terdaftar di Kesbangpol Pemprov DKI Jakarta maupun Kesbangpol Kemendagri.

Tak ayal, tuntutan berbagai pihak agar pemerintah mem­beku­kan atau menutup kantor Green­peace di Indonesia pun se­makin menguat.

Kantor Greenpeace sekilas me­mang tak terlihat seperti sebuah kantor. Bentuk bangunannya se­perti rumah mewah. Terdiri dari dua lantai, rumah ini diberi cat putih. Bangunannya yang kokoh, membuat rumah ini terlihat sedikit megah.

Hanya disediakan satu gerbang sebagai akses masuk. Me­nge­ta­hui kedatangan tamu, satpam yang berjaga di baliknya lang­sung dengan sigap membukakan gerbang.

Memasuki gerbang, di sisi kiri bagian dalam pekarangan kantor Greenpeace terpakir pulu­han se­peda motor. Motor-motor ini me­rupakan milik staf Green­peace. Agar tak terkena terik ma­tahari, di bagian atas tempat par­kir di­pasang atap fiber.

Di bagian teras pintu utama, ditempatkan satu meja sebagai tempat jaga satpam. Tak sem­ba­ra­ngan orang dibiarkan mema­su­ki gedung ini. Satpam yang ber­jaga di samping pintu pun lang­sung ‘menginterogasi’ setiap tamu yang datang.

Satpam akan melontarkan se­jumlah pertanyaan. Apa ke­pen­tingan berkunjung ke tempat ini. Lalu apakah sudah membuat janji. Pertanyaan berikutnya, janji dengan siapa. Bila tak jelas ke­perluannya, satpam bisa menolak tamu memasuki tempat ini.

Bila dianggap keperluannya jelas atau sudah memiliki janji, satpam akan meminta tamu me­ngisi buku tamu.

Selain dijaga satpam, untuk memasuki gedung ini harus me­miliki acces card atau kartu ak­ses. Di samping pintu masuk me­mang terlihat alat pembuka pintu.

Agar pintu bisa terbuka, para pegawai Greenpeace terlebih dahulu menekan kode tertentu lalu menempelkan sidik jari di pemindai. Bila kode cocok dan sidik jarinya terdaftar, pintu bisa terbuka.

 Setelah diminta meninggalkan KTP dan diganti dengan ID card tamu, satpam mempersilahkan Rak­yat Merdeka masuk. Mele­wati pintu, di sisi kiri terdapat meja resepsionis. Tempat ini di­desain dari anyaman bambu mi­rip pendopo. Beberapa ukiran kayu juga di gantung pada tiang-tiangnya. Di baliknya duduk seorang wanita.

Di bagian depan diletakkan satu set sofa rotan dipadu dengan bantalan busa. Bagi tamu yang sudah mendapat izin masuk, disuruh menunggu di tempat ini.

Tak jauh dari kursi tamu, ber­diri kokoh lemari kayu berwarna coklat. Sekilas fungsinya seba­gai pembatas antara ruang lobby dengan ruangan lainnya. Lemari ini tampak dipenuhi plakat dan peng­hargaan yang di­terima Green­­peace dari berbagai lembaga.

 Pada bagian dinding juga tampak dihiasi bingkai-bingkai foto. Foto ini mengambarkan sua­sana alam yang menjadi kon­sen­trasi Greenpeace.

Untuk sekelas kantor LSM, pe­ngamanan kantor Greenpeace ter­bilang cukup ketat. Tak hanya di­jaga satpam dan dilengkapi kartu akses, di bagian pojok atas lobby juga dipasangi kamera CCTV untuk memantau situasi di situ. Juga gerak-gerik tamu.

Jika diperhatikan, lantai satu tempat ini dibagi-bagi ke dalam beberapa ruangan. Di bagian te­ngah juga tampak sekat-sekat dari anyaman bambu yang menjadi tempat para pegawai Greenpeace bekerja.

Dari lantai dua, sayup-sayup terd­engar suara pria berbahasa asing. Dari lafalnya pria ini me­ngumamkan bahasa Inggris. Tak jelas apa yang sedang dibi­ca­ra­kan, tapi sepertinya memang se­dang ada rapat.

Saat Rakyat Merdeka me­ngunjungi tempat ini, suasananya terlihat tenang. Tak terlihat akti­vitas yang terlalu mencolok. Ha­nya ada satu dua penghuni ge­dung ini yang terlihat mondar-man­dir ke meja resepsionis. Tak sampai mengobrol lama, mereka kembali masuk ke ruangannya masing-masing.

Aktivitas kedatangan tamu ke tempat ini juga terbilang sepi. Be­berapa jam di tempat ini, ha­nya terlihat dua tamu yang ber­kun­jung. Itupun hanya sebatas kurir yang mengantarkan surat dan paket.

Juru Kampanye Media Green­peace  Indonesia, Hikmat Soeria­tanuwijaya menuturkan, suasana di kantor ini sepi karena hampir 70 persen aktivis sedang bekerja di lapangan. Mayoritas kegiatan Greenpeace adalah penelitian, riset, dan pencarian bukti-bukti penyalahgunaan hutan.

“Demo 10 menit aja kita riset­nya bisa satu tahun lebih. Butuh data dan validitas yang kuat. Se­ben­arnya, staf ada sekitar 40 orang. Kalau sama aktivisnya bisa sampai ratusan menyebar di mana-mana,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Ketika disinggung mengenai gedung tempat Greenpeace ber­kantor, Hikmat mengungkapkan, statusnya masih mengontrak. Greenpeace menempati rumah ini sudah hampir setahun setelah pindah dari Jalan Cimandiri, Ci­kini, Jakarta Pusat.

“Uang yang kita gunakan buat kampanye dan operasional ini uang rakyat, jadi nggak bisa sembarangan. Jadi maklum saja kalau kita masih ngontrak. Cuma yang jelas di bawah pasaran, ka­rena pemiliknya pendukung Green­peace juga. Paling tidak harganya nggak kayak orang,” ujarnya sembari tertawa.

Menanggapi desakan agar Greenpeace dibekukan, Hikmat menilai, itu merupakan salah satu risiko yang harus dihadapi LSM ini dalam upaya menyelamatkan hutan Indonesia dari kerusakan. Sikap Greenpeace yang kritis, lanjutnya, dianggap segelintir orang sebagai sebuah ancaman.

“Siapa yang diuntungkan dari kerusakan hutan? Kalau dilihat hanya segelintir perusahaan maha kaya yang berkolaborasi dengan oknum kekuatan politik yang menikmati. Oknum perusak hutan saat ini bukan industri yang ecek-ecek. Mereka bahkan kong­lomerat Indonesia,” tandasnya.

Harapan Greenpeace agar ok­num-oknum tersebut berhenti me­rusak hutan dan mulai ber­operasi secara ramah lingkungan bisa berubah menjadi serangan balik. Salah satunya melakukan perlawanan dengan melakukan kampanye negatif terhadap Green peace.

“Tujuannya ada dua. Pertama, membuat nama Greenpeace buruk di mata masyarakat. Ke­dua, untuk mengalihkan isu ka­re­na kita selalu vokal menyua­ra­kan perusakan-perusakan hutan. Sehingga, oknum-oknum terse­but bisa kembali dengan leluasa me­rusak hutan,” ujarnya.

Bagi Hikmat, serangan balik dari oknum-oknum perusak hu­tan terhadap Greenpeace sebagai sesuatu yang wajar. Namun, hal itu tidak sedikitpun membuat Greenpeace gentar dalam me­ngampanyekan penyelamatan hutan dan lingkungan.

“Biar masyarakat yang menilai mana benar dan yang salah. Kita akan tetap berkampanye sampai hutan yang masih tersisa sela­mat,” ujarnya.

Bermula dari Pelayaran Kapal Phyllis Cormack

Di tahun 1971, sekelompok aktivis berlayar dari Vancouver, Kanada dengan kapal nelayan tua. Tujuan mereka Amchitka, pulau kecil di lepas pantai Alaska.

Mereka hendak menjadi saksi atas kerusakan yang terjadi akibat percobaan nuklir yang dilakukan Amerika di tempat itu.

Amchitka adalah tempat perlin­d­ungan terakhir bagi sekitar 3.000 berang-berang. Juga ha­bitat bagi burung elang kepala botak dan satwa liar lainnya.

Aksi perjalanan para aktivis itu dengan kapal Phyllis Cormack mendapat banyak perhatian pub­lik. Amerika pun didesak untuk menghentikan uji coba nuklir di pulau itu. Desakan berhasil, pada tahun itu juga uji coba diakhiri. Pulau itu lalu ditetapkan sebagai suaka alam.

Setelah itu, para aktivis memu­tuskan untuk membentuk orga­nisasi yang diberi nama Green­peace. Organisasi bertujuan untuk mengampanyekan isu-isu lingkungan. Selama ini, para ak­tivis Green­peace tak takut ber­konfrontasi de­ngan pihak-pihak yang dianggap mencemarkan dan merusak lingkungan.

Mereka tak gentar melakukan penghadangan kapal-kapal yang mengangkut komoditas yang di­peroleh dari merusak hutan. Tak sedikit aktivis kelompok pecinta lingkungan ini tak ditangkap.

Kini, Greenpeace telah men­jadi organisasi internasional dan mengklaim memiliki 2,8 juta pend­ukung di seluruh dunia. Or­ganisasi ini bermarkas di Ams­terdam, Belanda dan memiliki kantor regional di 41 negara.

Greenpeace Asia Tenggara di­ben­tuk karena melihat keru­sakaan lingkungan yang cukup besar selama 30 dekade terakhir. Kerusakan ini seiring tumbuhnya perekonomian dan industri negara-negara Asia Tenggara.

Sumber daya alam yang me­limpah dan buruh yang murah, membuat banyak perusahaan multinasional ekspansi ke sini. Mereka turut andil dalam ke­ru­sakan lingkungan di Asia Tenggara.

Kerusakan lingkungan sulit direm karena  kurangnya kesa­da­ran masyarakat. Juga  lemahnya mekanisme demokrasi untuk memperkuat masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan.

Beberapa kegiatan yang dila­kukan Greenpeace di Asis Teng­gara adalah menghentikan import limbah berbahaya, menentang pengiriman radioaktif, berkam­pa­nye melawan terhadap pem­bi­na­saan hutan, melobi pemerintah mengenai isu-isu energi ber­ke­lanjutan dan menyoroti bahaya limbah pembakaran.

Negara yang jadi fokus utama Greenpeace di Asia Tenggara adalah Indonesia dan Filipina.

Haram Makan Duit Pemerintah

Hikmat menjelaskan, Green­peace merupakan organisasi glo­bal. Namun di masing-ma­sing negara dikelola secara in­dependen. Mulai dari ak­ti­vi­s­nya, donatur, hingga hutan yang diselamatkan adalah milik orang Indonesia.

“Alhamdulillah ada sekitar 30 ribu yang jadi donatur kita. Pengelolaan keuangannya in­dependen. Karena kita men­jun­jung tinggi akuntabilitas, hasil audit kita itu selalu kita pub­lish,” ucap Hikmat.

Tudingan bahwa Greenpeace Indonesia menerima bantuan dana dari asing dan tidak pernah dilaporkan ke pemerintah, di­ni­lainya sebagai salah satu sen­ja­ta untuk memojokkan Greenpeace.

Hikmat mengklaim, hingga hari ini Greenpeace merupakan satu-satunya LSM yang paling transparan di dunia.

“Semua tuduhan itu tidak be­nar. Bahkan kita juga pernah dituduh menerima dana judi. Ke­­napa kita tidak khawatir de­ngan tuduhan itu? Karena kita memegang satu nilai dasar se­lama 40 tahun Greenpeace tidak mau menerima dana dari pe­merintah dan perusahaan mana pun,” tandasnya.

“Sebagai pengguna dana pub­lik, transparansi dan akun­tabilitas paling utama bagi kita. Kalau kita tidak transparan atau tidak akuntabel, penyumbang bisa kapok nyumbang,” lan­jutnya.

Bukan Ormas, Tak Mendaftar ke Kemendagri

Juru Bicara Kemen­teri­an Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek me­nyebutkan bahwa Greenpeace me­langgar UU Nomor 8 Tahun 1985 dan tidak transparan me­ngenai sumber dana.

Selain itu, Greenpeace juga dinilai belum memiliki niat baik untuk mendafarkan diri ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta.

“Kita masuk ke Indonesia tahun 2005 tahun 2006 dapat badan hukum. Kampanye kita kan utamanya bisa dilihat ada­lah terus mendesak pemerintah dan industri untuk taat hukum. Masak kita yang setiap hari ber­koar-koar mendesak agar patuh terhadap hukum malah tidak taat hukum,” ujar Hikmat.

Menurut dia, segala persyara­tan untuk memperoleh legalitas sudah dipenuhi Greenpeace. Hanya saat mendaftar, Green­peace diarahkan untuk men­daftar ke Kementerian Hukum dan HAM.

“Kalau dulu dibilang ke Ke­m­endagri kita pasti daftar ke sana. Kita pasti kesana. Ter­nyata baru-baru ini mencuat Greenpeace juga harus daftar di Kemendagri, tidak cukup di Ke­menkumham. Kita ngambil­nya positif aja. Kalau harus ya akan kita laksanakan,” ujarnya.

Hikmat mengatakan, persya­r­atan ini membuat Greenpeace dan beberapa LSM ke­bin­gu­ngan. “Dalam aturan di Ke­men­terian Hukum dan HAM, or­ga­nisasi seperti kita nggak perlu daftar di Kesbangpol Daerah,” ujarnya.

Greenpeace, terang dia, ada­lah semacam perkumpulan dan yayasan. Sehingga seharusnya pendaftarannya cukup di Ke­menkumham.

“Kami bukan ormas. Kalau ormas yang berwenang itu Ke­mendagri. Jadi sedikit tumpang tindih. Makanya kita akan min­ta petunjuk ke Kemenkumham dan Kemendagri. Kita sih prin­sip­nya sih, mana yang harus akan kita lakukan,” tutupnya.  

Hikmat mengaku, pihaknya sudah melakukan audiensi de­ngan Kementerian Dalam Ne­geri (Kemendagri) pada per­tengahan Oktober lalu. Ke­da­tan­gan mereka pun disambut Mendagri Gamawan Fauzi dan beberapa anak buahnya.

“Pada intinya Kemendagri mendukung kampanye Green­peace, kampanye penyelamatan lingkungan. Mereka memberi petunjuk coba ditelaah dan di­ikuti aturan-aturan hukum yang berlaku. Kita ini masih akan te­rus bersinggungan dengan Men­dagri, dan mereka berjanji akan membantu kita untuk me­menuhi aspek-aspek legalitas yang di­per­lukan,” jelasnya. [rm]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya