RMOL. Di tengah buruknya dunia peradilan, masih ada hakim yang patut dibanggakan. Salah satunya, Albertina Ho. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan ini meroket setelah menyidangkan Gayus Halomoan Tambunan dan Jaksa Cirus Sinaga.
Namun bulan depan, AlberÂtiÂna tak lagi memegang palu di PN Jakarta Selatan. MahÂkaÂmah Agung (MA) meÂminÂdahÂkannya ke Bangka Belitung. BaÂnyak piÂhak menyaÂyangÂkan mutasi tersebut.
Sebab, Albertina dianggap seÂbaÂgai hakim yang moncer. KeÂtekunannya menguliti satu per satu kejahatan Gayus Tambunan menunjukkan bahwa dirinya buÂkan tipe hakim yang hanya meÂnunggu jaksa penuntut umum (JPU) membeberkan alat bukti.
Albertina dikenal sebagai haÂkim yang paling susah dimintai bocoran. Sebab, dia benar-benar merahasiakan putusan. Bahkan, dia rela sampai harus mengetik senÂdiri setiap putusan. Itu dilaÂkuÂÂkan agar pertimbangan maÂjelis haÂkim tidak bocor karena paniÂtera berÂsekongkol dengan mafia perkara.
Lantas, mengapa dia dimutasi? “Saya tak pernah memperÂmaÂsaÂlahkan mutasi. Kita ini kan hanya prajurit, harus nurut,†katanya saat ditemui di sela-sela agenda sidang di PN Jakarta Selatan pekan lalu.
Albertina memang enggan berpolemik terkait dengan mutasi yang harus dijalaninya. Dia perÂcaya bahwa semua keputusan MA adalah yang terbaik bagi organisasi. Yang dia pikirkan hanya sejumlah tanggungan kaÂsus yang mesti diselesaikan seÂbelum bertugas sebagai wakil keÂtua Pengadilan Negeri Sungailiat, Bangka Belitung.
Kasus-kasus itu, antara lain, peÂlecehan seksual dengan terdakÂwa Anand Khrisna, kasus pengÂgelapan dengan terdakwa Daniel Sinambella, dan kasus korupsi di PeÂngadilan Tipikor Jakarta deÂngan terdakwa jaksa Cirus SiÂnaÂga.
Albertina sangat berharap bisa menangani kasus tersebut sampai putusan. “Tapi, kalau diganti di tengah sidang, itu terserah ketua pengadilan,†katanya.
Sehari-hari, perempuan yang masih melajang tersebut tinggal di rumah dinas di Perumahan HaÂkim, Gang Sri Sulastri, Jalan AmÂpera. Tak sampai 1 kilometer ke arah selatan dari pengadilan temÂpat dirinya bertugas.
Karena jarak yang sangat dekat itu, hakim keÂlahiran Maluku Tenggara tersebut sangat jarang naik mobil pribadi saat berangkat tugas. Dia lebih suka naik angkot. Kadang-kadang, beberapa orang melihatnya berjalan kaki.
Tapi, tidak berarti Albertina tak memiliki mobil pribadi. Mereka yang biasa berurusan di PN JaÂkarta Selatan sudah mafhum bahÂwa mobil Nissan Livina yang diÂparkir di halaman pengadilan adaÂlah milik perempuan 51 tahun tersebut. Mobil silver itu biasanya diparkir di halaman depan kanÂtor pengadilan dan diapit dua traffic cone.
Rutinitas pengadil itu juga saÂngat simpel. Tiap akhir pekan, dia lebih suka pulang ke Jogjakarta. Ia memiliki rumah pribadi di sini. Jumat sore, biasanya dia sudah diÂjemput agar bisa terbang atau naik kereta ke Jogjakarta. TujuanÂnya, Sabtu pagi, dia sudah berÂakÂtivitas di rumah.
Karena itu, begitu dipindah ke Kota Sungailiat, Albertina sejatiÂnya kurang sreg. Bukan karena apa-apa, rute perjalanannya ke Kota Gudeg itu menjadi tidak simpel. Malahan cenderung ruÂwet. Sebab, dia harus ke Jakarta dulu untuk bisa naik kereta atau pesawat terbang ke Jogjakarta.
“Kalau pulang ke Jogjakarta, saya harus ke Jakarta dulu, baru meÂlanjutkan ke Jogja. Biaya puÂlang akan relatif lebih mahal. KaÂlau hanya dari Jakarta kan beda, langsung saja naik kereta atau pesawat,†ujarnya enteng.
Lulusan Fakultas Hukum UniÂversitas Gadjah Mada 1985 terÂsebut berusaha berbesar hati atas mutasi yang harus dijalani. Dia justru beranggapan bahwa keÂpinÂdahan ke Sungailiat itu meruÂpaÂkan blessing in disguise alias berÂkah yang tersembunyi.
Sebab, dia justru dijauhkan dari jangkauan para mafia perkara. Hal itu memÂbuat integritasnya seÂbagai hakim tetap terpelihara.
Berarti, di PN Jakarta Selatan baÂnyak godaan duit? “Anda ini, sudah tahu tanya. Saya pikir teÂman-teman wartawan itu lebih tahu daripada saya,†katanya lantas terkekeh.
Berapa biasanya tawaran duit untuk setiap kasus? “Pasti besar lah. Namanya juga Jakarta, pusat bisnis. Hidup di Jakarta itu biaya hidup tinggi,†imbuhnya.
Tapi, tidak berarti di SungaiÂliat tak ada mafia perkara. NaÂmun, Albertina bersyukur karena inteÂraksi dirinya dengan kasus-kasus korupsi yang rentan deÂngan mafia perkara akan semaÂkin jarang. Sebab, di Provinsi Bangka BeliÂtung tidak ada peÂngadilan khusus korupsi.
Bolak-balik dipindah tugas, AlÂbertina menganggap biasa. SeÂbelum di PN Jakarta Selatan, dia pernah bertugas di PN TeÂmangÂgung, Jawa Tengah (1996-2002), dan PN Cilacap, Jawa Tengah (2002-2005). Pada 2005-2009, dia bertugas ke Jakarta sebagai asisten koordinator MA merangÂkap sekretaris wakil ketua MA Bidang Yudisial.
“Jadi hakim di mana saja itu sama. Nggak ada bedanya. Ya, yang beda paling cuma apakah ruang sidangnya ada AC (air conÂditioning/pendingin ruaÂngan—red)—atau tidak. Panas atau dingin suasananya,†ungkapnya lantas tersenyum.
Sidangkan Kasus Dukun Santet, Diancam Disantet
Bukan tanpa sebab Albertina menjadi pribadi yang bersahaja. Sejak kecil, dia harus hidup manÂdiri, jauh dari orang tua, deÂngan pindah dari Dobo, Maluku TengÂgara, ke Kota Ambon. Tujuannya, dirinya tetap bisa bersekolah.
Di Ambon, Albertina tinggal di rumah saudaranya. Setiap seÂlesai sekolah, dia menjaga waÂrung kelontong milik sauÂdaraÂnya di pasar Ambon. Dia bahÂkan sempat menjadi pelayan waÂrung kopi untuk membiayai hidup dan sekolah.
Kendati lahir di Ambon, AlÂberÂtina belum pernah bertugas di tanah kelahirannya setelah jadi hakim. Dia justru lebih baÂnyak ditugaskan di Jawa Tengah.
Lulusan magister hukum dari Universitas Jenderal SoedirÂman, Purwokerto, itu sudah keÂnyang pengalaman menyiÂdangÂkan kasus yang bermuatan konÂflik masyarakat. Ia pernah meÂnyidangkan kasus-kasus pemÂbuÂnuhan orang-orang yang diÂanggap dukun santet.
Albertina mengakui, saat itu situasinya memburuk. Apalagi, sebagai hakim, banyak ancaman dan teror. Namun, dia tetap berÂfokus menyidangkan orang-orang yang secara sah dan meÂyakinkan menghilangkan nyaÂwa orang lain. Albertina sama sekali tak gentar meski diancam disantet. Para pelaku kasus itu pun dijatuhi hukuman.
“Saya percaya kepada Tuhan kaÂrena saya tidak punya kekuaÂtan apa-apa. Satu-satunya cara saya pasrah. Saya harus percaya pada pertolongan Tuhan,†ujarnya.
Dia memahami, mutasi diriÂnya memantik reaksi di maÂsyaÂrakat. Bahkan, sejumlah orang membuat dukungan di jejaring sosial Twitter dan Facebook unÂÂtuk menolak kebijakan tersebut. Albertina mengaku terharu. Tapi, bagaimanapun, itu adalah tugas yang harus dia jalani.
“Masyarakat punya hak untuk menilai dan berkomentar. Bagi saya, semua komentar dan kritik tersebut saya terima dengan seÂnang hati karena itu masukan. Kalau ada yang menyayangkan itu, saya terima kasih. Berarti, masih ada yang simpati kepada saya,†katanya. “Tapi, tidak berÂarti saya tidak senang atau keÂcewa lho ya,†imbuhnya meÂwanti-wanti. [rm]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
UPDATE
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15