Berita

situ gintung

On The Spot

Digerogoti Apartemen dan Pemukiman Kumuh

Melihat dari Dekat Kondisi Situ di Jakarta
SABTU, 08 OKTOBER 2011 | 07:51 WIB

RMOL. Pemerintah DKI Jakarta berencana membuat sejumlah situ untuk jadi tempat resapan air sekaligus mencegah banjir. Padahal, selama ini banyak situ di ibukota tak terawat. Banyak yang mengalami penyempitan dan pendangkalan. Bagaimana kondisi situ di Jakarta? Rakyat Merdeka mencoba melihatnya dari dekat. Berikut liputannya.

Dua bocah laki-laki duduk te­nang di atas bantaran dari papan tua. Keduanya menggenggam pan­cingan kayu, mencoba me­ngail ikan di Situ Ria Rio, Pulo­mas, Jakarta Timur.

Terik matahari tak dihiraukan. Tatapan kedua bocah berte­lan­jang dada fokus kepada tali pan­cing. Sepuluh menit berlalu, tali pancing bergetar.

Bocah yang mengenakan ce­lana merah tampak tertawa gi­rang. Buru-buru dia menarik pan­cing dari dalam air.

Tapi kegirangan itu hanya ber­ta­han sebentar. Sebab, ikan yang tersangkut di mata pancing bukan yang mereka harapkan. Setelah berhasil dilepas dari mata kail, ikan sapu-sapu itu lalu di lempar kembali ke tengah situ.

“Pengennya sih dapat ikan gabus. Eh, malah dapat ikan sa­pu-sapu. Kalau dapat sapu-sapu paling dibuang ke dalam air, ka­lau nggak di buang ke pinggiran,” ujar salah satu bocah tersebut.

 Begitulah salah satu potret di Situ Ria Rio. Warga masih ber­ha­rap bisa mengail ikan di situ yang berair keruh itu.

Situ Ria Rio termasuk situ be­sar di Jakarta. Letaknya di per­sim­pangan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Perintis Kemerdekaan.

Hijau pekat begitulah warna airnya. Di sepanjang pinggiran situ terlihat tumpukan plastic be­kas, potongan sayuran, sisa ma­ka­nan dan potongan-potongan kayu.

Tumpukan sampah ini men­jo­rok ke bagian danau dan mema­kan permukaan situ hingga lima meter. Kondisi ini diperparah ke­biasaan warga yang suka mem­buang sampah di pinggiran situ.

Dalam pengamatan Rakyat Mer­deka, warga Pedongkelan yang tinggal di sekitar situ me­mang dengan sengaja  membuang sampah ke pinggir situ. Tak ada rasa bersalah sedikit pun. Bung­kusan-bungkusan sampah terse­but dicampakkan begitu saja.

Melihat kondisinya, sekilas Situ Ria Rio ini tak ubahnya ko­lam comberan raksasa. Hal itu ter­gambar dari kondisi ling­ku­ngan­nya yang kotor dan kumuh. Aromanya pun sungguh tak se­dap. Bau busuk tak bisa dihin­darkan lagi menusuk ke dalam rongga hidung.

Tak berhenti sampai disitu. Luas situ ini dari tahun ke tahun te­rus mengalami penyusutan. Dari awalnya 9 hektar kini tak sam­pai separuhnya yang tersisa. Pesatnya pembangunan di sekitar situ, turut andil mengurangi luasnya.

Problem lainnya, danau ini pun mengalami pendangkalan. Apa­lagi, semenjak kali dari pacuan kuda Pulomas dialirkan ke tempat ini. Air got yang mengucuri situ itu membawa berbagai material yang membuatnya makin cetek.

Air yang datang adalah bua­ngan dari perumahan warga dan pabrik yang posisinya terletak di sebelah utara situ.

Pemandangan di situ yang juga disebut Situ Pedongkelan ini pun kian tak enak dilihat mata. Kakus dari kayu yang berderet di tepian situ adalah penyebab lain. Di si­ni­lah, warga yang tinggal di ru­mah-rumah papan dan semi per­manen buang hajat.

Dindingnya dari papan mau­pun tripleks bekas. Kakus ini tan­pa atap. Terlihat seorang pria se­dang buang hajat sambil merokok.

Lahan sempit di pinggiran situ juga dimanfaatkan oleh warga untuk beternak ayam, bebek, dan burung dara. Kandang-kandang yang terbuat dari kayu dan bambu berdiri di sepanjang pinggiran situ yang ditinggali warga. Koto­ran dari unggas peliharaan me­nam­bah kumuh kawasan itu.

Keadaan ini berbeda dengan 15 silam tahun silam. Salim (60), se­orang warga yang tinggal di per­mukiman pinggiran danau me­nu­turkan, saat itu kondisi situ ini ma­sih terbilang asri. Bahkan, tem­­pat Situ Ria Rio sempat men­jadi tem­pat wisata yang digemari warga Jakarta sekitar tahun 70-an.

“Dulu di sini ramai sekali. Ada tempat bermain seperti dokar, be­bekan air dan dijadikan tempat pe­mandian. Dulu sempat terkenal Taman Ria Rio. Dulu airnya ma­sih bersih banget, ikan aja ke­lia­tan di bawah. Sekarang tinggal ikan gabus ama sapu-sapu,” ujar pria berdarah Betawi tulen ini.

Bahkan, kata, Salim, di ping­giran Situ Ria Rio pernah berdiri rumah makan. Setiap orang yang datang ke tempat ini selalu me­nyempatkan diri melepas lelah ke tempat itu.

“Dulu rumah makan Lembur Ku­ring  letaknya di seberang sana. Dulu ramai orang yang ma­kan di situ. Semenjak situ men­jadi kotor dan tak terawat, tempat wisata dan rumah makan pun akhirnya tutup,” katanya menun­juk ke lahan kosong yang kini ditumbuhi semak belukar. Lokasi bekas rumah makan itu berada di bagian situ yang menghadap ke Jalan Ahmad Yani.

Kondisi situ mulai berubah setelah bermunculan penghuni liar yang membangun gubuk di se­panjang situ. Pelan dan pasti, ke­ha­diran mereka beserta anju­ngan buang hajatnya berhasil me­ngusir rumah makan dan air yang bening itu. Alhasil, kini yang ter­sisa hanyalah tumpukan sampah, anjungan buang hajat, dan air yang hitam pekat.

“Dulu belum ada rumah warga, masih terhitunglah. Mulai tahun 1970 saya pindah ke sini sampai 1980 airnya masih bersih banget. Saya dulu masih mandi ke situ, ibu-ibu juga mencuci pakaian di pinggiran situ,” ujarnya menge­nang kembali kisah itu.

Sadikin (66), warga Pedong­ke­lan lainnya bercerita, sekitar ta­hun 80-an Situ Ria-Rio meru­pa­kan sebuah danau besar dan in­dah. Membentang luas dengan air yang sangat bening.

Di tempat ini­lah Sadikin muda kerap duduk memancing. Mulai dari ikan mu­jair, betok, lele, belut dan ular sa­wah masih mudah ditemui di situ ini.

“Bahkan dulu ada mitos, di danau itu ada buaya putih. Buaya itu yang jagain situ ini. Dulu biar banyak yang mandi di sini, tapi nggak ada yang berani macam-macam,” katanya.

 Di sebelah utara Situ Ria Rio, lanjut Sadikin, di tengah-tengah pacuan kuda ada juga terdapat danau dengan ukuran lebih kecil. Air bening dihiasi rerumputan yang tumbuh berdiri di sela-sela air. Siang menjelang sore, banyak anak umur delapan tahunan ber­main. Mulai yang sekedar bere­nang hingga mencari udang.

“Biasanya sore-sore pas pulang masing-masing bawa sekantung plastik udang bening kecil-kecil. Kalau Situ Ria Rio, pengun­jung­nya selain keluarga banyak juga muda mudi. Mereka biasanya pa­caran di pinggiran situ,” ujarnya mengenang kembali kisah itu.

Namun, kini danau kecil itu su­dah hilang tak berbekas. Berganti dengan gedung yang menjulang tinggi. Apartemen mewah dan ga­gah yaitu Apartemen Pasadenia. Kini, keindahan itu hanya tinggal cerita. Yang tersisa hanya Situ Ria Rio yang semakin mengkeret.

Danau Ria Rio merupakan sa­lah satu situ di Jakarta yang ber­nasib buruk. Bila dibiarkan, tentu nasibnya tidak jauh dengan yang terjadi pada situ di Kelapa Gading Barat, Rawa Terate, Jatinegara, Ulujami, Cilandak Timur, dan Ci­landak Barat.

Situ di enam tempat itu kini ha­nya menyisakan kenangan. Tanah yang cekung itu kini berubah men­jadi lahan kebun dan berdiri ba­ngu­nan tempat tinggal warga.

Bangun Jalan di Sekeliling Danau

Cegah Warga Dirikan Hunian

Pemerintah Provinsi (Pem­prov) DKI Jakarta akan mem­bangun 13 danau buatan (situ) yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Penambahan da­nau itu dilakukan secara ber­tahap dimulai pada 2012.

Ke-13 lokasi yang akan di­tam­bah di antaranya di Brigif Jagakarsa seluas 11 hektar, Bin­taro seluas 3 hektar, Lebak Bu­lus seluas 3 hektar, dan Marunda seluas 56 hektar. Saat ini untuk pembebasan lahan masih dalam proses pembahasan.

“Kita sedang proses pem­be­ba­san. Pembangunannya juga dilakukan secara bertahap,” ujar Kepala Bidang Pengelolaan Sum­ber Daya Alam Dinas Pe­ker­jaan Umum (DPU) DKI Jakarta, Fakhrurrazi. Namun, ia enggan menyebut be­saran ang­garan yang dibutuhkan untuk pembangunan danau buatan.

Menurut Fakhrurrazi, selain menambah danau buatan, pada 2012 mendatang, Dinas Peker­jaan Umum juga akan me­nga­ju­kan anggaran untuk penerti­ban dan pengerukan di sekitar da­nau. Ke depan, di sekeliling danau juga akan dibangun jalan untuk mencegah warga men­dirikan bangunan.

Ia mengakui, masyarakat Ja­karta nampaknya masih belum menyadari pentingnya keber­a­daan danau sebagai daerah resapan air.

Dari 26 danau yang ada di ibu kota, hanya lima yang keadaan­nya masih baik. Yakni Situ Ba­ba­kan, Situ Mangga Bolong, Situ Rawa Dongkal, Situ Kelapa Dua Wetan, Situ Cilang­kap. Se­mentara, yang mengalami keru­sakan di antaranya, Situ Rawa Ba­dung, dan Sunter Hulu.

Ia mencontohkan di Situ Rawa Badung. Dulu, situ ini me­miliki luas mencapai lima hektar. Kini berkurang sekitar 30 persen.

Penyempitan juga terjadi pada Situ Sunter Hulu. Situ yang masih digunakan untuk olahraga air ini dulu memiliki luas hingga 11 hektar.

Pemerintah DKI mencoba me­ngembalikan luas Situ Sun­ter. Saat ini baru dibebaskan sekitar delapan hektar. Dari luas itu baru enam hektar yang digali. “Se­lama ini tidak ada situ di Jakarta yang hilang tetapi kon­disinya tidak sesuai,” tandas Fakhrurrazi.

“Hanya sekitar 20 persen saja situ yang dalam kondisi baik. Sementara lainnya dalam ke­adaan kurang sempurna. Ada juga beberapa situ yang belum sempurna dari segi luasnya,” tambahnya.

Secara umum sebagian besar kondisi danau di Jakarta ber­ma­sa­lah dengan sampah. Fakh­rur­razi mengaku kesulitan men­ce­gah perilaku warga yang mem­buang sampah ke danau. Se­dangkan untuk perawatan ter­kendala dana.

“Bahkan Dinas Pekerjaan Umum tidak memiliki anggaran rutin untuk perawatan danau. Memang ada tapi itupun sekitar 3-5 tahun sekali,” bebernya.  Se­lain itu pihaknya juga akan me­lakukan penataan fungsi saluran air dan meneruskan p­e­ny­e­le­sai­an pembangunan Kanal Ban­jir Timur (KBT).

3 Situ Diuruk Untuk Kompleks Perumahan

Bukan hanya DKI Jakarta yang sulit mempertahankan dan merawat situ-situ yang ada di wilayahnya. Kabupaten Bekasi pun memiliki problematika yang sama.     

Sebanyak sembilan dari 13 situ di wilayah itu mengalami pe­nyusutan lahan seluas 24,5 hektar. Sementara tiga di anta­ra­nya diketahui telah beralih fungsi menjadi lahan perumahan.

Hal itu dikatakan oleh Direk­tur Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Barisan Informan dan Investigasi Korupsi (Bidik) Kabupaten Bekasi, Gunawan kepada wartawan.

Dari total 13 situ di Kabupa­ten Bekasi, kata dia, sedikitnya sembilan situ dengan total luas lahan mencapai 51,2 hektar telah mengalami penyusutan se­luas 24,5 hektar. Sedangkan situ yang beralih fungsi menjadi ka­wa­san perumahan adalah Situ Cibe­reum, Situ Rawa Been, Situ Ceper.

“Akhir-akhir ini kegiatan penambangan pasir Situ Ceper, yang berlokasi di Kampung Ce­per, Desa Sukasari, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Be­kasi, menjadi perhatian ma­sya­rakat secara serius. Sebab, sa­ngat berisiko merusak ling­ku­ngan,” katanya.

Berbagai dampak yang saat ini mulai timbul dari kegiatan itu, kata dia, antara lain keru­sa­kan lingkungan hidup, kebi­si­ngan, rusaknya infrastruktur ja­lan lingkungan, kekeringan, ban­jir, dan tidak tertutup ke­mungkinan menimbulkan kon­flik sosial. “Situasi tersebut di­biarkan oleh pihak terkait tanpa dilakukan upaya revitalisasi tempat,” katanya.

Faktor utama penyebab per­masalahan tersebut, kata dia, adalah perubahan tata guna la­han di sekitar situ dari per­un­tu­kan kawasan hijau lindung men­jadi permukiman, perdagangan dan penambangan, serta ma­suknya bahan-bahan dari tempat pembuangan sampah, dan unsur yang mempercepat pertum­buhan gulma air.

“Ketidakjelasan kewenangan dan tanggung jawab penge­lo­la­an situ menyebabkan pelak­sa­na­an rehabilitas situ menghadapi kendala sosial dan administratif, penguasaan lahan oleh kelom­pok-kelompok masyarakat ter­tentu, dan pemberian izin pe­ngu­sahaan situ,” katanya.

Dikatakan Gunawan, situ yang mengalami sedimentasi sebanyak 42 persen, sementara konversi menjadi sawah/kebun/ladang, permukiman, perkan­to­ran dan fasiltas umum sebanyak 34,9 persen, tempat pem­bua­ngan sampah/limbah sebanyak 2,4 persen, ’blooming’ gulma air sebanyak 5 persen, dan ga­lian pasir sebanyak 15,7 persen.

“Pendangkalan situ menga­ki­batkan berkurangnya volume tam­pung air sehingga mening­katkan potensi banjir, be­r­pe­nga­ruh terhadap siklus hidrologi dan perubahan iklim, dan nilai es­tetikanya.”   [rm]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya