Berita

Sutoyo Siswomihardjo

On The Spot

Bunga Kamboja Itu Mekar di Rumah Sutoyo Siswomihardjo

Berkunjung Ke Kediaman Pahlawan Revolusi
SELASA, 04 OKTOBER 2011 | 04:21 WIB

RMOL. Bunga Kamboja mekar di halaman rumah bernomor 17 di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Kembang yang kerap dikaitkan dengan kematian ini merekah menjelang 30 September, seolah ikut mewarnai suasana berkabung.

Rumah itu merupakan kediam­an Brigjen Jenderal Sutoyo Sis­womihardjo, Inspektur Ke­ha­kiman Angkatan Darat. Tepat pa­da tanggal itu, empat puluh enam tahun silam, Sutoyo diculik pa­sukan Tjakrabirawa dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Sutoyo gugur di tempat itu. Ja­sadnya lalu dimasukkan ke sumur tua bersama lima jenderal dan se­orang perwira pertama Angkatan Darat. Mereka yang jadi korban Ge­rakan 30 September dite­tap­kan sebagai Pahlawan Revolusi. Mereka pun memperoleh ke­naikan pangkat anumerta, seting­kat lebih tinggi.

Rakyat Merdeka berkunjung ke kediaman Sutoyo. Rumah ini ma­sih ditempati keluarga almarhum. Suasananya tampak sepi, tak ada terlihat aktivitas di sini.

Sebuah bel tersedia di balik pintu gerbang masuk. Bel di­pencet. Tidak berapa lama keluar pria setengah baya. Ia berjalan pelan ke arah gerbang.

Pria yang mengaku bernama Nari ini mengatakan, rumah ini di­tempati anak kedua Sutoyo, Na­ni Nurachman. Anak pertama Su­toyo, Agus Widjojo tinggal di Cikeas.

Agus mengikuti jejak ayahnya berkarier di militer. Jabatan ter­akhir Kepala Staf Teritorial TNI dengan pangkat letnan jenderal. Se­mentara Nani memilih ber­kiprah di dunia pendidikan. Ia dosen di Universitas Atmajaya, Jakarta.

“Penghuni rumah tidak ada, sedang kerja,” kata Nari tanpa mem­bukakan pintu. Pria yang mengenakan kaos berkerah ini menyarankan, bila ingin bertemu dengan keluarga Sutoyo sebaik­nya datang hari Sabtu atau Ming­gu. Biasanya, hari libur itu Nani menghabiskan waktu di rumah.    

Menurut Nari, bentuk rumah ini sudah berubah. Empat tahun lalu, keluarga Sutoyo melakukan renovasi. Hampir sebagian besar bangunan diperbaiki agar terlihat rapi dan bersih. “Kalau yang dulu kan model lama, terlihat kusam,” katanya.

Pemerintah DKI Jakarta me­ma­sukkan rumah Sutoyo sebagai cagar budaya golongan B. Bagian luar bangunan tidak boleh diutak-atik. Tata ruang boleh diubah asal tak mengubah struktur bangunan. Penambahan bangunan diper­bolehkan.

Nari mengungkapkan, hampir setiap tahun anak-anak Sutoyo mem­peringati peristiwa pen­cu­likan dan pembunuhan ayah me­reka. “Biasanya mereka mem­pe­ringati dengan mengibatkan ben­dera setengah tiangg,” bebernya.

Rumah yang didiami keluarga Sutoyo tergolong sederhana di­ban­dingkan rumah di kanan dan kiri­nya yang rata-rata ber­lan­t­ai dua dengan arsitektur mo­dern. Ru­mah yang berdiri di atas lahan 400 meter persegi hanya berlantai satu.

Rumah Sutoyo yang sudah direnovasi ini mempunyai ger­bang masuk di sebelah kanan de­ngan lebar tiga meter. Pintu ger­bang dari besi warna putih se­tinggi satu meter dengan ujung run­cing itu dalam keadaan ter­tutup. Dilihat dari modelnya, bentuk gerbang model lawas. Hanya catnya telah diperbarui.

Di samping kanan pintu masuk terdapat tiang stinggi 1,5 meter warna putih. Di tiang ini dipa­sangi angka “17” berukuran kecil dari bahan kuningan sebagai penanda nomor rumah.

Di samping kiri pintu masuk dibangun pagar setinggi 1,5 me­ter dengan panjang 10 meter. Pa­gar tidak terlihat karena ditutupi dengan tanaman yang menutup seluruh pagar.

Di belakang pintu masuk ter­dapat carport yang hanya mampu memuat satu mobil. Kondisinya kosong. Di atas carport dipasang ka­nopi dari genteng untuk menjaga kendaraan dari sengatan matahari dan guyuran air hujan.

Di samping kiri carport ter­da­pat halaman yang penuh dengan pe­pohonan yang rindang seh­ing­ga mem­buat rumah terlihat asri dan adem. Salah satu pohon yang tum­buh di sini adah pohon Kam­boja.

Masuk lebih dalam terdapat garasi mobil dalam keadaan ter­tutup. Di sebelah kanan garasi terdapat pintu masuk ke dalam rumah.

Tak diketahui bagaimana ben­tuk dalam rumah, apakah juga telah diubah atau tidak. Kerai dari yang dipasang di bagian depan menghalangi pandangan.

Belum Pernah Direnovasi Sejak 1965

Masih di kawasan Menteng, te­patnya di Jalan Prambanan No­mor 8 terlihat bangunan model kuno yang telah dicat ulang.

Lingkungan di sini cukup rin­dang dengan pohon-pohon besar tumbuh di pinggir jalan. Panas sinar matahari siang kemarin, tak terasa karena terhalang dedaunan pohon.

Siapa sangka di kawasan pe­mu­kiman yang tenang ini pernah terjadi peristiwa berdarah. Mayor Jen­deral Mas Tirtodarmo Har­yo­no dibunuh pasukan Tjak­ra­bi­rawa yang menyatroni rumahnya pada 1 Oktober 1965 dinihari.

Di rumah bernomor 8 di Jalan Pram­banan inilah MT Haryono tinggal. Hingga kini rumah itu ditempati keluarganya.

Saat Rakyat Merdeka datang, kon­disi rumah sepi. Untuk masuk ke dalam rumah harus melewati ger­bang di bagian kanan pagar. Ger­bang dalam keadaan tertutup, na­mun bisa dibuka karena tidak terkunci.

Di balik gerbang terdapat car­port yang dinaungi atap dari poly­carbonate. Carport menga­rah­kan ke teras rumah. Di tiang teras dipasang bel. Rakyat Merdeka lalu menekan bel sekali. Tak ter­lihat ada orang yang keluar.

Setelah dua kali ditekan ba­rulah seorang wanita keluar dari dalam rumah. “Maaf mau ketemu siapa?” tanyanya. Saat disam­pai­kan hendak bertemu keluarga MT Haryono, ia mengatakan peng­huni rumah sedang kerja. “Pu­langnya malam hari,” kata pe­rem­­puan yang memperkenal diri bernama Yati ini.

Yati mengatakan, sepe­ngeta­huan­nya rumah ini belum pernah direnovasi. Agar tak terlihat ku­sam, rumah dicat ulang.

Rumah MT Haryono mem­punyai luas 700 meter persegi de­ngan cat warna putih yang terlihat mengkilap. Gerbang masuk ke dalam rumah berada di sebelah kanan dan kiri.

Gerbang masuk sebelah kiri dipergunakan untuk keluar ma­suk mobil karena mempunyai ukuran yang cukup lebar. Se­dang­kan gerbang sebelah kanan untuk keluar masuk penghuni rumah.

Kedua pintu gerbang terbuat besi setinggi satu meter warna pu­tih dalam keadaan tertutup. Di­atas pagar terdapat besi yang di­run­cingkan.

Halamam rumah terletak di sebelah kanan gerbang. Pohon-po­hon besar tumbuh di sini mem­buat rumah itu teduh. Di teras rumah tersedia kursi lengkap dengan meja kayu untuk santai maupun menerima tamu.

Sebuah bangunan berlantai dua menempel di bagian kanan. Ben­tuk­nya juga lawas. Di bagian de­pan bangunan terdapat atap dari beton.

Perlu 20 Tahun Hilangkan Trauma

Debu pekat yang sangat meng­ganggu pernapasan ketika men­dekati rumah Mayor Jen­deral Donald Isaac Panjaitan di Jalan Hasanuddin Nomor 53, Me­lawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Pasalnya di depan rumah me­gah setinggi dua lantai sedang dibangun jalan layang non tol dari Jalan Antasari menuju Blok-M.

Rumah DI Panjaitan berdiri megah di antara komplek per­kan­toran. Di rumah berukuran 1.000 meter persegi ditutupi de­ngan pagar yang terbuat dari besi setinggi dua meter.

Gerbang masuk berada disini kanan dan kiri dengan lebar em­pat meter. Bagian atas pagar di­runcingkan. Mobil keluar ma­suk lewat gerbang sebelah kiri.

Gerbang itu dibangun sedikit menjorok ke dalam. Pintu ger­bang dilapisi dengan polycar­bonate warna hitam sehingga bagian dalam rumah tidak ter­lihat dari luar.

Gerbang masuk sebelah kiri dan kanan terdapat pagar rumah setinggi dua meter. Di balik pagar ditanami bamboo. Ting­ginya mencapai enam meter sehingga menutupi pandangan ke dalam.

Di sisi kiri gerbang masuk ditempatkan bel untuk mem­be­ritahu ada tamu di luar rumah. Sedangkan di tiang sebelah ka­nan ditempel batu warna hitam yang huruf “P”. Alamat rumah ini juga dicantumkan di ba­wahnya.

Bel dipencet namun tidak ada respons dari dalam rumah. Se­puluh menit lamanya me­nung­gu baru seorang wanita terlihat membuka penutup pagar yang berada di sela-sela gerbang.

Perempuan bernama Sri ini menyampaikan bahwa peng­hu­ni rumah tidak ada. “Mereka sedang kerja dan baru pulang malam hari,” katanya.

Menurut dia, untuk bertemu dengan anak-anak DI Panjaitan harus ada janji terlebih dahulu. “Kalau nggak ada janji sulit ketemu mereka, soalnya mereka sibuk,” katanya.

Sri mengatakan, seluruh anak DI Panjaitan sampai saat ini masih tinggal di rumah ini. “Is­trinya sudah meninggal dua ta­hun lalu,” katanya.

Dalam pertemuan anak para jenderal pahlawan revolusi dan anak tokoh PKI di Gedung MPR, 1 Oktober 2010, Cathe­rine Panjaitan, putri Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, mengaku butuh waktu 20 tahun untuk bisa menghilangkan rasa traumanya yang mendalam akibat kematian sang ayah di depan matanya.

Bahkan, ia enggan menonton film G/30/S yang dulunya selalu diputar di layar kaca pada tang­gal 30 September. “Saya tidak pernah menonton film itu ka­rena tidak mau ulangi (ingat­an) dalam film itu. Saya melihat dari jauh bagaimana ayah saya ditembak,” kisah Catherine.

Namun Catherine meminta semua pihak saling memaafkan dan memandang semuanya dari segi kemanusiaan. “Kalau orang tua kita berbuat salah, jangan teruskan sampai ke anak cucu kita. Biarlah saya mengalah, sa­ya meminta maaf kepada pu­tera-putera yang dulu diang­gap lawan,” katanya.   [rm]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya