Berita

ilustrasi, Rumah S Parman

On The Spot

Rumah S Parman Dijual ke Purnawirawan AL

Berkunjung ke Kediaman Jenderal Korban G30S
MINGGU, 02 OKTOBER 2011 | 04:32 WIB

RMOL.Sebuah rumah bercat putih berdiri dengan gagahnya di Jalan Syamsu Rizal Nomor 32, Menteng, Jakarta Pusat. Dari bentuknya, bangunan berlantai dua ini masih bergaya lama. Meski demikian, rumah ini terlihat kokoh dan mentereng.

Sebelum berganti nama men­jadi Syamsu Rizal, jalan ini ber­nama Jalan Serang. Letaknya tak jauh dari Jalan Taman Suropati.

Tak banyak yang tahu bahwa ada peristiwa sejarah yang terjadi di rumah itu. Dulu, rumah ini di­tempati Mayor Jenderal S Par­man, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Empat puluh enam tahun lalu, Parman diculik oleh gerombolan tentara yang terlibat dalam Gera­kan 30 September 1965 dari rumah ini.

Ia akhirnya dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Mayatnya dimasukkan ke dalam sumur tua bersama beberapa jenderal Ang­katan Darat dan seorang perwira pertama yang ikut diculik ge­rakan itu.

Mereka yang jadi korban gera­kan ini akhirnya ditetapkan se­ba­gai Pahlawan Revolusi. Pangkat mereka pun dinaikkan setingkat lebih tinggi. Pangkat Parman men­jadi Letnan Jenderal Anumerta.

Kemarin, Rakyat Merdeka me­ngunjungi rumah yang dulu di­tem­pati S Parman. Pagar dan ger­bang rumah bernomor 32 terbi­lang bergaya lama. Pagar dan ger­bangnya dicat dengan perpaduan warna putih dan biru muda.

Lurus dari gerbang difungsikan seb­agai ruang garasi. Salah satu daun pintunya tampak terbuka. Terlihat sebuah mobil sedan ber­warna biru muda dengan plat mi­lik TNI AL terparkir di dalamnya.  

Di sisi kiri bagian depan ba­ngu­nan, difungsikan sebagai ta­man dan kolam ikan. Berbagai ta­naman hias tertata dan terawat de­ngan baik di halaman berukuran sedang ini. Meski pekarangannya tak terlalu besar tapi kondisinya cukup asri. Suara gemericik air yang terdengar dari kolam mem­beri sensasi yang menenangkan.

Suasananya memang terlihat sepi ketika mengunjungi tempat ini. Satu gerbang sebagai akses masuk ke pekarangan rumah juga terkunci rapat. Tak terlihat tanda-tanda aktivitas yang cukup berarti di tempat ini.

Rakyat Merdeka pun kemudian mengetuk gerbang untuk menarik perhatian penghuninya. Tak lama berselang, dari dalam garasi ke­luar seorang pria. Dari raut wa­jahnya dia kelihatan sangat muda.

Pria ini kemudian mengaku se­bagai penjaga rumah. Ketika di­singgung apakah benar rumah ini milik  Mayjen S Parman? Dia ha­nya terdiam sambil menunjukkan raut muka bingung.

“Ini rumah Mayjen Abdul Ha­kim, bukan rumah Mayjen S Par­man. Beliau purnawirawan jen­de­ral angkatan laut. Bapak sudah be­lasan tahun tinggal di sini,” ujarnya.

Dia kemudian meminta me­nunggu sekitar setengah jam un­tuk dipertemukan dengan sang ma­jikan. “Kalau mau nunggu se­bentar ya mas, soalnya bapak ma­sih tidur. Setengah jam lagi sudah bangun, nanti saya pang­gilkan,” ujarnya.

Setengah jam kemudian, Rak­yat Merdeka dipanggil pria ini un­tuk memasuki pekarangan ru­mah. Seorang pria berusia lanjut dengan mengenakan sarung kemudian terlihat menunggu di teras rumah.

Dia kemudian memberikan jabat tangan yang hangat sembari mempersilahkan duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu model lawas.

Abdul Hakim menegaskan, rumah ini bukan milik keluarga S Parman. Sudah berganti ke­pemilikan pada 1992. “Rumah ini saya beli dari putra S Parman, Letjen Suyono, orang Angkatan Darat,” katanya.

“Ketika saya beli pangkat be­liau masih Letkol (Letnan Ko­lonel). Kalau mau nanya-nanya mengenai S Parman, mending cari beliau di Angkatan Darat, karena beliau putranya,” ujarnya.

Setelah membeli rumah ini, Abdul Hakim membongkar ba­ngunan bekas tempat tinggal Mayjen S Parman. Bangunan lama dirubuhkan.

“Jadi bangunan lama dibong­kar habis, ini bangunan baru. Jadi saya mau cerita apa soal ba­ngu­nan yang lama. Prosesnya kan ha­rus ada izin, setelah dapat izin baru saya izinkan. Ketika itu pro­ses perizinannya nggak lama kok,” ujarnya.

Menurut dia, rumah Mayjen S Parman yang dibelinya bukan ber­status cagar budaya yang tak boleh diutak-atik.

“Dulu pas beli tidak ada status bangunan cagar budaya. Setahu saya rumah di Menteng ada tiga jenis yakni A, B, dan C,” ujarnya.

Ia lalu menjelaskan satu per satu tiga jenis bangunan itu.  Go­longan  A tidak boleh dibongkar. Golongan B hanya bisa diper­baiki tapi hanya bagian dalam bangunan saja. Bagian luar bangunan tidak boleh diutak-atik untuk menjaga keasliannya.

Terakhir, Golongan C yang bo­leh dibongkar dan diganti dengan bangunan baru. “Status rumah ini yang C,” terang Abdul Hakim.

Tapi, dalam situs Pemerintah DKI Jakarta, rumah ini termasuk kategori cagar budaya dengan Golongan B. Dalam situs itu juga di­sebutkan bahwa rumah ini di­bangun sekitar tahun 1930-1940 bersamaan dengan pengem­ba­ngan wilayah Menteng dan Gon­dangdia oleh Pemerintah Belanda.

Awalnya, rumah ini diperun­tuk­kan bagi pejabat maskapai swasta Belanda maupun Eropa. Pada tahun 1950-an dikelola Di­nas Perumahan Tentara. Be­la­ka­ngan, ditempati Mayjen S Parman.

Abdul Hakim tak ingat berapa harga rumah ini ketika mem­belinya dari keluarga S Parman. “Saya lupa berapa dulu har­ga­nya. Anda tahu kan harga rumah dan tanah di sekitar Menteng berapa. Yang pasti mahal kan,” katanya.

IMB Tak Keluar, Lahan Bekas Rumah Soeprapto Jadi Taman

Udara terasa begitu sejuk ke­tika menginjakkan kaki di pe­karangan sebuah rumah di Jalan Besuki, Menteng, Jakarta Pusat. Maklum saja berbagai jenis pohon tumbuh merata di setiap bagian rumah.

Daunnya yang rindang me­nu­tupi hampir setiap bagian pe­ka­rangan rumah ini. Sehingga, sua­sana sejuk begitu terasa ketika berada di tempat ini.

Pohon-pohon yang tumbuh cu­kup mudah untuk dikenali. Pohon palem dan pohon mangga tampak tumbuh merata di sepanjang pa­gar rumah ini. Dari ketinggiannya usia pohon-pohon tersebut se­pertinya sudah tua.

Sebagai akses masuk dise­dia­kan dua gerbang besi. Namun, ger­bang setinggi dua meter bercat putih itu tampak tertutup rapat. Dari luar tak banyak yang bisa dilihat. Hanya genteng berwarna coklat yang menjulang.

Di sinilah dulu letak rumah Ma­yor Jenderal Soeprapto, De­puti II Menteri Panglima Ang­katan Darat. Ia termasuk jenderal yang diculik dari rumahnya oleh Gerakan 30 September empat pu­luh enam tahun silam. Ia me­ninggal di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Tak sulit untuk menemukan Jalan Besuki. Posisinya tak jauh dari Taman Suropati. Cukup berjalan kaki sejauh 20 meter kita akan menemukan plang penanda Jalan Besuki.

Dalam catatan Rakyat Mer­deka, Mayjen Soeprapto me­nem­pati rumah bernomor 19 di Jalan Besuki. Menyusuri jalan ini, kami tak menemukan nomor itu.

Kami lalu berhenti di depan di rumah yang memiliki pekarangan cukup asri tersebut. Sebuah po­hon mangga besar dibalik pagar membuat suasana sedikit adem. Rumah itu bernomor 17.

Mengintip dari celah di antara gerbang rumah, terlihat beberapa pria terlihat sedang berkumpul di tempat ini. Seorang sedang ngaso di teras, dua lainnya sedang mencuci mobil.

Rakyat Merdeka pun mengetuk gerbang. Mendengar suara ketu­kan di gerbang, pria yang sedang membersihkan Kijang Innova menghentikan aktivitas. Ia lalu menghampiri gerbang. Pria ini kemudian membuka kaitan besi di bagian tengah gerbang.   

Ketika ditanya di mana posisi rumah bernomor 19, pria yang meng­gunakan kaos singlet putih ini sedikit bingung. “Rumah no­mor 17 dan 19 memang berada di sini. Rumah Letjen Suprapto dulunya kalau nggak salah di sini juga. Posisinya di sebelah sana, tapi sekarang sudah nggak ada lagi,” ujarnya.

Salah satu rekannya yang se­dang mencuci mobil di bagian da­lam juga ikut menghentikan akti­vitasnya. Pria itu kemudian meng­hampiri dan mengantikan te­mannya memberikan penjelasan.

Pria ini yang tak mau disebut­kan namanya ini menuturkan, ru­mah bernomor 19 kepunyaan Letjen Soeprapto sudah dibeli majikannya sekitar lima tahun lalu. “Memang benar dulu ru­mah Letjen Suprapto ada di sini, po­sisinya di sebelah sana. Persis di samping rumah ini posisi rumah itu,” ujarnya sembari menunjuk ke arah halaman yang lumayan luas.

Sangat disayangkan bangunan bersejarah itu tak bisa lagi dilihat. Rumah itu kini sudah dirubuh­kan. “Sebelum dibeli sama bos saya memang sudah nggak ada bangunannya,” ujarnya.

Ia mendengar cerita dari pe­tugas keamanan di situ, rumah Soeprapto dibeli seorang keturu­nan Tionghoa sepuluh tahun lalu. Setelah dibeli, semua bangunan rumah dirubuhkan. Pemilik baru hendak mendirikan bangunan baru di sini.

Pemerintah DKI Jakarta pun melayangkan teguran karena te­lah merubuhkan bangunan ber­se­jarah. Teguran ini diiringi dengan tidak dikeluarkannya surat izin mendirikan bangunan (IMB).

“Saya nggak ngerti, orang yang per­­tama kali beli tahu nggak ba­ngu­­nan ini cagar budaya atau nggak. Karena nggak dapat izin dari Pemda, akhirnya tanahnya dibiarin kosong bertahun-tahun,” ujarnya.

Setelah lima tahun dibiarkan ter­bengkalai, akhirnya tanah be­kas rumah Letjen Soeprapto di­jual kepada majikannya. Kini la­han kosong bekas rumah Letjen Soeprapto dijadikan sebagai taman.

“Pokoknya ketika dirubuhkan ngga ada sangkut pautnya sama bos saya. Pas dibeli memang se­ngaja nggak mau dibangun lagi, dijadikan taman aja sekarang,” ucapnya.

Ketika gerbang dibuka, terlihat se­banyak empat buah mobil ter­parkir di tempat ini. Dua mobil di­parkir di depan gerbang. Dua lainnya berada di bagian dalam atau depannya. Namun, lahan ko­song bekas rumah Letjen Soep­rapto tak terlihat.

Penasaran, Rakyat Merdeka ke­mudian mencoba mengintip ta­man yang dimaksud dari gerbang yang satunya. Namun, tak banyak yang bisa dilihat. Pandangan ter­halangi sebuah mobil yang di­parkir persis di balik gerbang ini.

Rumah Letjen Soeprapto ter­daf­tar sebagai bangunan yang dilindungi Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Bangunan tersebut tercatat se­bagai salah satu dari 129 bangu­nan cagar budaya yang harus di­jaga keberadaannya. Namun, apa mau dinyana rumah itu kini ting­gal kenangan saja. [rm]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya